Menuju konten utama

Romo Magnis: Eliezer Alami Dilema Moral karena Perintah Sambo

Romo Magnis Suseno berpendapat tingkat kesalahan Eliezer bisa berkurang karena melakukan kejahatan didasari perintah atasannya, Ferdy Sambo.

Romo Magnis: Eliezer Alami Dilema Moral karena Perintah Sambo
Terdakwa Richard Eliezer (kiri) menjadi saksi dengan terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo, saat sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (13/12/2022). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

tirto.id - Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Franz Magnis Suseno melihat adanya dilema moral yang dialami Richard Eliezer saat akan menembak rekan kerjanya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Dilema moral itu, menurut Franz Magnis disebabkan adanya tekanan dari atasannya yaitu eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

"Suara hati [Eliezer] mengatakan apa pada saat itu, bisa saja dia bingung karena berhadapan dengan dua norma, yang satu mengatakan menembak mati orang tidak bisa dibenarkan, titik. Yang kedua dia juga diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah yang wajib ditaati supaya melakukannya, lalu dia harus mengikuti yang mana," kata Franz Magnis dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022).

Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis adalah tokoh agama Katolik sekaligus budayawan yang telah menerbitkan sejumlah buku seperti Kuasa dan Moral dan Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.

Romo Magnis kali ini menjadi saksi ahli meringankan yang diajukan Eliezer dan tim penasehat hukumnya.

Romo Magnis mengatakan bahwa dilema moral tidak hanya disebabkan perbedaan pangkat yang jauh dengan pemberi perintah, melainkan juga keterikatan dengan norma institusi seperti kepolisian yang mewajibkan untuk menaati instruksi atasan.

"Bagaimana kalau misalnya perintah diberikan dalam rangka militer dalam operasi militer atau dalam rangka kepolisian atau Brimob kalau mau di dalam situasi itu melaksanakan perintah adalah budaya yang ditanamkan di dalam orang-orangnya (yang tergabung dalam isntitusi tersebut). Kita di Indonesia tahu sering pakai istilah 'laksanakan', atau 'siap'," kata Romo Magnis.

Melihat kondisi tersebut, Romo Magnis berpendapat bahwa pelaksanaan perintah yang demikian dapat mengurangi kebersalahan jika ditinjau dari kaca mata etika.

"Itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan, saya berpendapat tentu orang mestinya tahu tidak bisa (membunuh orang) tetapi situasi bingung dalam budaya perintah laksanakan (di institusi Polri), berhadapan dengan atasan yang sangat tinggi, mungkin ditakuti," kata Romo Magnis.

Dalam kasus ini terdapat 5 terdakwa yang diduga merencanakan dan melakukan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Mereka adalah mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, Richard Eliezer, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal (RR), dan Kuat Ma'ruf.

Kelima terdakwa tersebut didakwa melanggar Pasal 340 subsidair Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 340 mengatur pidana terkait pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.

Baca juga artikel terkait SIDANG PEMBUNUHAN YOSUA atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto