Menuju konten utama

Robot Sudah Kerja di Restoran dan Hotel, Bagaimana Nasib Manusia?

Dari sejumlah sektor industri yang mulai dimasuki robot, makanan cepat saji tampaknya akan jadi yang paling awal bertransformasi.

Robot Sudah Kerja di Restoran dan Hotel, Bagaimana Nasib Manusia?
Robot-robot mengantarkan makanan restoran siap saji pesanan konsumen di sebuah restoran sekitar Harbin, Provinsi Heilongjiang, China (12/01/13). REUTERS/Sheng Li

tirto.id - Namanya ‘Hotel Aneh’, bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jepang, ia disebut ‘Henn-na Hotel’. Pada 2015 lalu, Ben Ferguson dari Motherboard mengunjungi hotel itu, yang ada di Nagasaki, Jepang.

Ia disambut robot serupa boneka berkepala besar, merah muda, dan tangan hijau berbulu. Kemudian dituntun robot dinosaurus untuk check-in di hotel itu. Tasnya bahkan diantarkan robot pengangkut tas yang jalannya lebih lama daripada jalan manusia.

Hotel itu dinamai demikian, karena dijalankan oleh hampir seratus persen robot. Bahkan, tak ada koki yang masak untuk para tamunya. Jika lapar, Ben tinggal pesan sendiri di sebuah mesin siap saji. Tahun ini, Alana Semuels dari The Atlantic yang mengunjungi Henn-na Hotel. Kini mereka ternyata sudah punya restoran.

Namun, tetap tak ada tenaga manusia. Kepala kokinya, robot bernama Andrew, spesialis memasak okonomiyaki—semacam panekuk khas Jepang. Robot lain menggoreng donat, memasukkan es krim dalam contong, dan ada yang membuatkan tonic dan gin untuk Alana.

Jepang memang tempat robot berkembang pesat. Hideo Sawada, CEO H.I.S, perusahaan yang menjalankan Henn-na Hotel dan Restoran bilang pada Ben, adanya fantasi orang-orang Jepang di masa muda mereka membuat robot jadi nyata di masa kini.

“Saat saya masih muda, ada banyak anime dan maga tentang robot, macam Astro Boy dan lainnya. Itu sebabnya Jepang berkembang dengan teknologi robotnya,” ungkap Sawada. Faktor lainnya adalah jumlah penduduk Jepang yang sedikit dan pendapatan negaranya yang meningkat.

“Menggunakan robot jauh lebih masuk akal untuk negara seperti Jepang, di mana mencari pekerja itu susah,” tambah Sawada dua tahun kemudian, pada Alana.

Namun nyatanya, ketertarikan para perusahaan mempekerjakan robot bukan cuma terjadi di Jepang. Disrupsi—alias pembaruan secara drastis yang mengubah pasar nyatanya juga terjadi di mana-mana.

Ketakutan manusia yang pekerjaannya digantikan robot sudah jadi perbincangan di media, ia lebih sering disebut sebagai fenomena otomatisasi. Perusahaan besar dari berbagai sektor tak takut mengumumkan inovasi mereka mempekerjakan robot.

Infografik robot masuk kios

Meski jumlah penduduknya tak sedikit, Amerika Serikat juga jadi salah satu negara yang industri makanan dan akomodasinya mengalami otomatisasi besar-besaran.

Berdasarkan laporan The Atlantic yang mengutip Michael Chui, partner McKinsey Global Institute, 54 persen pekerjaan manusia di restoran dan hotel AS bisa diotomatisasi oleh teknologi saat ini. Nyatanya, industri makanan cepat saji alias fast food, adalah yang pertama paling berkembang.

Hal ini dalam catatan Jon Walker dari Tech Emergence, disebabkan oleh meningkatnya harga upah minimum di Amerika. Pada tahun ini saja upah minimum naik di 19 negara bagian. Sementara, agar tetap laku, jasa makanan cepat saji harus tetap memberikan harga terjangkau.

“Lebih murah membeli lengan robot seharga 35 ribu Dolar AS, ketimbang menggaji karyawan yang dibayar 15 Dolar per jam untuk memasukkan kentang goreng ke dalam bungkus,” kata Ed Rensi, Mantan CEO McDonald Amerika pada Fox Business.

Jenama-jenama internasional memulai perencanaan otomatisasi mereka sejak beberapa tahun terakhir. Domino's, dalam catatan Tech Emergence, adalah yang paling terdepan. Perusahaan pizza cepat saji ini mengadopsi Artificial Intelligence (AI) untuk aplikasi pemesanan, memakai teknologi drone lengkap dengan GPS yang bisa terbang otomatis mengantar pizza.

Warga Whangaparaoa di Selandia Baru jadi yang pertama menikmatinya. Mereka juga pakai pizza trackers—untuk mengawasi sopir pengiriman pizzanya—yang mereka klaim mengurang 50 persen kemungkinan kecelakaan di jalan. Di Belanda dan Jerman, Domino's juga merencanakan akan mengoperasikan robot pengantar pizza untuk pesanan dalam radius satu mil.

Jenama besar lain, Cali Burger, sudah menggunakan Flippy—si robot pemasak burger—di cabang mereka di Pasadena, California, Maret lalu. Rencananya, pemakaian Flippy akan terus dilakukan sampai 2019 mendatang untuk 50 restoran mereka. Wendy's dan McDonald's bahkan merencanakan hal lebih ekstrem.

Seperti Henn-na di Jepang, kedua jenama besar ini akan menginstal kios yang bisa melayani pelanggan secara otomatis—dengan teknologi robot dan kecerdasan buatan (AI). Wendy's berencana memasangnya di seribu kios di Amerika akhir tahun ini. Sementara McDonald's diprediksi menghabiskan 50–60 ribu Dolar AS untuk hal yang sama. Mereka juga akan menginstal aplikasi pemesanan untuk dipasang pada 20 ribu kios.

Otomatisasi ini memang akan makan biaya besar di awal. Namun, mesin-mesin yang dipakai diyakini tidak akan makan biaya perawatan sebanyak membayarkan gaji karyawan manusia.

Di Jepang, Sawada bilang, “Butuh setahun dua tahun lah untuk balik modal. Tapi sejak Anda bisa mempekerjakan mereka (robot) selama 24 jam, dan mereka tak butuh tidur, pada akhirnya lebih efisien menggunakan robot.”

Lantas, bagaimana nasib pekerja manusia di industri ini? Akankah benar-benar habis digantikan robot? Temuan Alana tidak demikian.

“Teknologi (memang) meniadakan pekerjaan lama, tapi menciptakan pekerjaan baru,” tulisnya.

Ia mencontohkan Zume Pizza di California, punya pekerjaan baru untuk pekerja manusia. Freedom Carlson, salah satu karyawannya yang tak punya gelar sarjana kini bekerja sebagai administrator program kuliner.

Pekerjaannya menavigasi piranti lunak-penghitung gizi Zume Pizza. Dengan otomatisasi, perusahaan itu hanya membayarkan 10 persen dari biaya untuk tenaga kerja. Sementara perusahaan lainnya yang bekerja di bidang serupa akan mengeluarkan 25 persen untuk biaya yang sama. Gaji pekerja mereka juga jadi di atas upah rata-rata.

Bill Gates, sang miliarder pencipta Microsoft juga sudah memprediksi disrupsi tenaga kerja ini. Menurutnya, otomatisasi tidak akan bisa dihindari. Justru manusia harus bersiap dengan rencana membebankan pajak pada robot-robot yang dipakai perusahaan. Uang itu nantinya bisa dipakai untuk membantu manusia berpindah karier.

Dalam visi Gates, manusia masih dibutuhkan untuk terlibat pekerjaan yang membutuhkan empati dan simpati, seperti mengajar, mengasuh, merawat, dan sebagainya. Itu sebabnya, pekerjaan yang biasa mengandalkan tenaga bisa mulai dikerjakan otomatis oleh robot dan kecerdasan buatan.

“Tapi Anda tak bisa begitu saja mengesampingkan pajak penghasilan, karena dari sana sumber uang,” kata Gates dalam wawancaranya dengan Quartz.

Jika jenama besar macam Domino's, Wendy's, atau McDonald's berhasil mengotomatisasi kios-kiosnya di negara-negara percobaan seperti AS, bukan tak mungkin dalam waktu singkat hal serupa juga terjadi di sini.

Pertanyaannya, siapkah Anda?

Baca juga artikel terkait ROBOT atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra