Menuju konten utama

"Robohnya" Pusat Dokumentasi Sastra Kami

Sejak 2016, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin ternyata tak disokong dana pemerintahan daerah DKI Jakarta. Di ruang penyimpanan arsip, pendingin tak berfungsi. Perawatan arsip dengan pengasapan pun absen sejak 4 tahun silam. Nasib arsip-arsipnya akan ditentukan dalam waktu dekat: apakah tetap milik yayasan mandiri, atau diserahkan pada pemerintah provinsi.

Pustakawan menata arsip di PDS HB Jassin, Jakarta. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Di kawasan Taman Ismail Marzuki itu, Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin—selanjutnya disebut PDS atau PDS HB Jassin—memang susah ditemukan. Ruangannya hanya berukuran seperempat dari Perpustakaan Umum DKI Jakarta tersebut letaknya tersembunyi di balik Planetarium Jakarta.

Empat puluh tahun lalu, lelaki yang dikenal sebagai paus sastra itu mulai menghimpun peta sejarah sastra Indonesia. Hingga kini, metode yang digunakan dalam pengarsipan masih tergolong purba. Para arsiparis di PDS HB Jassin masih mengelompokkan arsip berdasarkan kategori tertentu, lalu dibundel dalam map-map.

Besar-kecilnya aliran dana memengaruhi kembang-kempisnya peta dokumentasi kesusastraan Indonesia. Menurut Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Ariany Isnamurti, pada kurun 2003 hingga 2007 Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memberikan dana hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan pada PDS HB Jassin sebanyak Rp500 juta.

Selanjutnya, hingga 2009, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo masih mempertahankan nominal tersebut. Namun, pada 2010 anggaran turun drastis menjadi Rp165 juta. Tahun berikutnya Fauzi malah menyusutkan anggaran hingga angka terendah Rp50 juta.

Kala itu, nasib PDS HB Jassin sudah seperti telur di ujung tanduk. Untunglah ada inisiatif dari kalangan sastrawan, budayawan, akademisi, hingga mahasiswa untuk menggalang dana dengan tajuk "Koin Sastra". Gubernur yang biasa dipanggil Foke itu, menurut Ariany, merasa tertampar. Namun, ia tetap tak mampu menggelontorkan anggaran yang layak dari pemerintah daerah. Foke hanya bisa menyumbang dari kocek pribadinya.

Setahun setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo mengucurkan dana Rp1,2 miliar dari tahun 2013 hingga 2014.

“Tapi anggarannya menurun waktu Pak Ahok naik. Tahun 2015 hanya Rp 282 juta. Sedangkan sekarang malah tidak ada anggaran sama sekali,” ungkap Ariany Isnamurti kepada tirto.id di kantornya (26/8/2016).

Padahal, untuk merawat 6,1 ribu koleksi sastra tersebut, dana yang dibutuhkan minimal sebesar Rp1 miliar. Peruntukannya beragam, mulai dari biaya dokumentasi sebanyak Rp275 juta; juga pembelian buku, langganan surat kabar, dan majalah sebesar Rp250 juta. Dokumentasi kategori foto pengarang dan foto peristiwa sastra membutuhkan Rp100 juta. Sedangkan untuk peningkatan fasilitas komputasi dan internet perlu Rp95 juta.

Rutinitas pembuatan kliping pun membutuhkan dana tak sedikit: setahunnya mencapai Rp75 juta. Guna menghidupkan benda mati berupa arsip karya sastra, diperlukan pengadaan budaya apresiasi dalam penguatan jaringan yang membutuhkan dana sekitar Rp40 juta. Hal yang tak kalah pentingnya adalah perawatan buku berupa fumigasi (pengasapan dengan zat anti-jamur) sebesar Rp60 juta, perawatan fasilitas pendingin Rp50 juta, serta penjilidan Rp30 juta.

Selain pengarsipan, kegiatan PDS HB Jassin meliputi peluncuran buku sastra, pameran, diskusi, dan melayani pengunjung. Setiap hari rata-rata tak sampai 10 pengunjung yang datang. Kebanyakan justru peneliti atau sastrawan dari luar negeri. Masing-masing pengunjung hanya bisa membaca arsip di tempat atau membawa salinan fotokopinya.

Menurut Ariany, independensi PDS HB Jassin hingga kini terjaga. Pada masa Orde Baru, beberapa koleksi dilarang beredar. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer misalnya. Namun, kala itu HB Jassin tak peduli dan terus mendisitribusikan karya yang dilarang itu.

“Pak Jassin nggak suka cara itu [pelarangan karya sastra]. [Kami] harus simpan apapun karya itu, sebab pembuatannya melalui suatu proses panjang. Harus diapresiasi. Karena dalam sejarah nanti bisa diizinkan [beredar] kembali,” ujar Ariany.

Seiring waktu, nasib dokumen warisan sejarah PDS HB Jassin kian terpuruk. Di ruang penyimpanan, pendingin tak berfungsi selama 3 tahun. Sedangkan rutinitas merawat arsip dengan pengasapan atau fumigasi tak ada lagi sejak 4 tahun silam.

Upah yang diterima para pegawai pun kecil. Jabatan tertinggi dalam struktural PDS HB Jassin yang ditempati orang yang bekerja sejak 30 tahun silam, gajinya hanya Rp 2,5 juta. Sedangkan 10 orang lainnya lebih sedikit lagi.

Kepala Pengolahan Data PDS HB Jassin, Agung Trianggono misalnya. Ia sudah 23 tahun mendedikasikan diri merawat karya sastra, tetapi gajinya masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Saat ditanya berapa kini koleksi karya sastra di PDS HB Jassin, Agung terdiam sejenak sembari menengadahkan kepalanya ke langit-langit. Lalu dengan perlahan dia merinci: 12.000 majalah, 16.816 judul buku fiksi, 11.990 judul buku non fiksi, 457 judul buku referensi, 772 judul buku atau naskah drama, 750 map biografi pengarang, 15.552 kliping, 610 lembar foto pengarang, 571 judul makalah, 630 judul skripsi dan desertasi, 732 kaset rekaman suara, dan sekitar 15 buah kaset rekaman video.

“Harusnya pengasapan lewat fumigasi rutin 3 bulan sekali, tapi ini sudah 4 tahun tak ada lagi. Dari pemerintah pusat dan daerah tidak ada perhatian padahal pusat dokumentasi sastra hanya ada di sini,” keluh Agung.

Koleksi arsip yang dikelolanya bertambah terus. Ada sekitar 3 ribu kliping koran yang menumpuk karena ruang arsip penuh. Sedikit demi sedikit, majalah sastra didigitalisasi. Tak hanya arsip yang bersifat terbuka, HB Jassin juga mampu menembus surat-surat pribadi sastrawan Indonesia.

Barangkali Anda ingat korespondensi penyair Goenawan Mohamad dengan konsultan CCF (Congress for Cultural Freedom) Ivan Kats yang dikutip dalam tulisan Martin Suryajaya, lalu jadi perbincangan para peminat sastra dan sejarah pemikiran. Martin mendapatkan arsip surat menyurat itu di tempat ini.

Musabab Tak ada Dana

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta menyatakan pihaknya tidak menganggarkan bantuan untuk PDS HB Jassin sebab pihak yayasan terlambat mengajukan usulan.

"Kami sudah bilang anggaran harus diserahkan pada pertengahan tahun. Tapi mereka menyerahkan pada Desember, jadi terlambat dan 2016 ini tidak bisa dianggarkan," kata Tinia Budiati, Kepala BPAD DKI Jakarta, seperti dilansir situs resmi pemerintah DKI beritajakarta.com (27/8/2016).

Tinia juga menyatakan bahwa untuk APBD tahun depan, pihaknya juga telah meminta agar mereka segera menyerahkan anggaran yang diminta. Namun, usulan belum juga diajukan pihak yayasan, padahal pembahasan anggaran sudah akan dimulai. BPAD kemudian mengambil inisiatif menganggarkan pembelian koran dan majalah senilai Rp19 juta.

Ditanya perkara ini, Ariany menyatakan pihaknya sebelumnya mengajukan usulan bantuan dana pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DKI Jakarta), sebab sebelumnya selalu begitu. Ariany berpikir masalahnya selesai di situ. Tapi ternyata tidak.

“Ternyata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menganggap itu sudah dipindahkan di bawah BPAD. Ternyata BPAD juga belum menganggarkan. Waktu itu kami juga nggak tahu harus koordinasi juga dengan BPAD,” imbuhnya. “Kami baru memberikan usulan anggaran pada Januari ke BPAD.”

Kebingungan terjadi karena pihak Ariany belum mendapat kepastian apakah benar-benar dipindahkan, sebab PDS masih masih berbentuk yayasan. “Jadi, Januari [kami] baru tahu perpindahan tupoksi di bawah BPAD.” Saat ini, sudah ada perjanjian bahwa Gubernur Ahok akan membayar gaji karyawan hingga Desember.

Jika PDS diminta untuk dipindahkan di bawah BPAD, apakah arsip harus diserahkan pada BPAD?

“Iya, ini harus ada penjelasan apakah akan memberikan dokumennya kepada DKI Jakarta itu harus ada rapat yayasan. Rapat baru bisa awal September. Karena kan Pak Ajip Rosidi [ketua yayasan] di Magelang. [Keputusan] kami semua tergantung dia,” jawab Ariany.

Masalahnya, jika benar arsip harus diserahkan pada pihak DKI Jakarta, bisakah aparatur negara menjaga arsip-arsip itu sebaik yang sudah terselenggara selama ini? Sejarawan JJ Rizal menyatakan kesangsiannya.

“Dalam hal mengelola arsip dan buku, pemerintah daerah [DKI Jakarta] ini reputasinya kacau. Kalau caranya seperti itu kita bisa memberikan ke Malaysia yang berkali-kali menawar ‎dengan harga yang jauh lebih besar. Kita bisa kasih ke Singapura yang lebih besar. Kita pertahankan karena kata Bang Ali Sadikin, kota perlu yang seperti ini biar waras, biar sehat,” kata sejarawan JJ Rizal kepada tirto.id.

Baca juga artikel terkait HB JASSIN atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani