Menuju konten utama

Roberto Firmino Bukan False Nine Biasa

Bagaimana Roberto Firmino bisa jadi otak di balik setiap serangan berbahaya Liverpool?

Roberto Firmino Bukan False Nine Biasa
Roberto Firmino dari Liverpool memuji para pendukung di akhir pertandingan sepak bola Liga Primer Inggris antara Liverpool dan Chelsea di stadion Anfield di Liverpool, Inggris, Minggu, 14 April 2019. AP / Rui Vieira

tirto.id - Eight by Eight pernah mempunyai pengalaman menarik saat melakukan wawancara eksklusif dengan Roberto Firmino menjelang akhir musim 2018-2019. Lantaran Firmino sebelumnya nyaris tak pernah berurusan dengan media untuk keperluan serupa, majalah sepakbola asal New York itu sempat khawatir wawancara dengan sang pemain tidak akan berjalan lancar.

Firmino pada dasarnya adalah sosok pemalu yang tak suka membicarakan diri sendiri. Maka ada sedikit kekhawatiran: bagaimana ia akan mengatasi rasa gugup saat berpose di depan kamera atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Paolo Bandini yang bertugas melakukan sesi wawancara nanti?

Namun, asumsi Eight by Eight terhadap Firmino itu ternyata jauh panggang dari api. Alih-alih gugup, Firmino justru melahap setiap sesi foto dengan rancak. Dan sebelum Paolo Bandini sempat melontarkan pertanyaan, Firmino bahkan mampu menjelaskan perannya di Liverpool lewat cara sederhana.

"Sebelum ia duduk untuk memulai wawancara, Firmino mengambil teko di atas meja. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah menuangkan air ke gelas penerjemahnya. Lalu, ia mulai mengisi gelas semua orang, satu per satu, sebelum menuangkan air ke gelasnya sendiri," tulis Bandini.

Berbeda dari False Nine Kebanyakan

Firmino sukses menjadi pemain Brasil pertama yang mampu mencetak 50 gol di Premier League saat Liverpool menggasak tuan rumah Burnley 0-3 pada Sabtu, 31 Agustus 2019. Rekor itu terjadi pada menit ke-83, saat ia membidikkan bola ke sisi kanan gawang Nick Pope dari luar kotak penalti. Butuh 141 pertandingan bagi Firmino, sejak debutnya pada Agustus 2015 lalu, untuk mencapai rekor tersebut.

Sebagai seorang penyerang, catatan Firmino tersebut jelas masih kalah mentereng, misalnya, jika dibandingkan dengan catatan gol Mohamed Salah dan Sadio Mane, dua penyerang Liverpool lainnya. Salah sudah mencetak 57 gol di liga hanya dalam 78 pertandingan. Sedangkan Mane, yang telah bermain sebanyak 96 kali, mampu melesakkan 47 gol di liga.

Namun, sebelum Anda menghakimi penyerang asal Brasil tersebut secara sesat karena jumlah golnya yang tidak seberapa itu, Juergen Klopp ternyata mempunyai pandangan menarik soal Firmino. Kata Klop: “Firmino adalah pemain penting, seorang penghubung, penyelesai, petarung, dan pertahanan pertama bagi Liverpool.”

Pada Agustus 2018 lalu, dalam salah satu analisisnya di The Times, Tom Clarke menjelaskan bahwa, meskipun bermain sebagai pemain paling depan dalam skema 4-3-3 Liverpool, Firmino ternyata amat jarang menyentuh bola di kotak penalti lawan. Penyebabnya: penyerang asal Brasil itu lebih suka turun jauh ke belakang untuk membuka ruang, menjaga keseimbangan, atau menghubungkan setiap bangunan serangan timnya.

Pendapat Clarke itu kemudian dibuktikan lewat catatan statistik. Saat Liverpool bertanding melawan Crystal Palace dan Brighton Albion di Premier League 2018-2019 pada Agustus 2018, misalnya, Firmino hanya 11 kali menyentuh bola di dalam kotak penalti lawan. Padahal, secara keseluruhan Firmino menyentuh bola sebanyak 116 kali dalam dua pertandingan tersebut.

Pada umumnya, peran Firmino di lini depan Liverpool itu biasa disebut sebagai false nine. Akan tetapi, setelah ditelisik lebih jauh, Clarke ternyata menilai bahwa Firmino setidaknya mempunyai tiga kecenderungan berbeda dari false nine kebanyakan.

Pertama, Firmino mempunyai kualitas umpan yang tergolong buruk. Pada musim 2017-2018, sebagai contoh. Meskipun Firmino mampu mencatatkan 7 assist dan 57 peluang untuk Liverpool, tulis Clarke, “tingkat akurasi umpan Firmino di daerah sepertiga akhir hanya mencapai 64,5%, berada di peringkat ke-22 di antara penyerang Premier League lainnya, seperti Aguero (77,98%), Alvaro Morata (70,12%), serta Lacazette (67,54%).”

Kedua, daripada mengandalkan visi permainannya, Firmino juga cenderung menggunakan energi, pergerakan, serta kemampuannya dalam membaca situasi untuk menjembatani, mengkreasi, atau menuntaskan serangan timnya.

Yang terakhir, Firmino mempunyai kemampuan bertahan di atas rata-rata. Juga di musim 2017-2018, statsitik di Premier League setidaknya pernah mencatat: tampil sebanyak 37 kali, Firmino berhasil melakukan 65 tekel, melakukan 18 kali intersep, dan 139 kali melakukan ball-recovery.

Dari tiga kecenderungan tersebut, kecenderungan pertama barangkali bisa jadi alasan mengapa Firmino akan kesulitan berperan sebagai false nine. Kendati demikian, toh hal itu ternyata tak jadi masalah di Liverpool. Sebab, tidak seperti tim-tim yang mengandalkan false nine lainnya, Liverpool tak pernah bertele-tele dalam menyerang dan hampir selalu mengandalkan gegenpressing (usaha untuk merebut bola di daerah lawan secepat mungkin setelah kehilangan) sebagai pusat serangan timnya.

Lewat gegenpressing, Liverpool tak perlu melakukan serangan yang melibatkan seluruh pemainnya. Selain itu, karena lawan biasanya dalam keadaan tidak siap setelah kehilangan bola, gegenpressing juga memungkinkan Liverpool untuk melakukan serangan berbahaya. Maka, kemampuan Firmino dalam membaca situasi dan bertahan pun jadi tak kalah penting dengan akurasi umpan false nine kebanyakan.

Dalam salah satu analisisnya di ESPN, Michael Cox sempat memberikan contoh bagaimana sistem itu bekerja ketika Liverpool melawan Brighton. Ia menulis:

“Firmino membantu James Milner dan Sadio Mane untuk melakukan tekanan terhadap Yves Bissouma, gelandang Brighton. Milner yang berhasil mencuri bola lantas memberi umpan ke arah Mane. Bola kemudian sampai ke kaki Firmino. Dengan cepat, Firmino kemudian mengirimkan umpan sederhana yang mampu dikonversi Mohamed salah menjadi gol.”

Ketika Liverpool berhasil mengalahkan tuan rumah Bounermouth 0-4 pada Desember 2018, Firmino juga melakukan hal serupa. Gol kedua Liverpool pada pertandingan itu pun bermula dari pressing dan umpan sederhana Firmino ke arah Salah.

Yang menarik, dampak peran Firmino sebagai false nine terhadap sistem permainan Liverpool ternyata tidak berhenti di urusan gol belaka. Sebagai false nine, Firmino juga bisa tiba-tiba berada di kiri, kanan, tengah, atau bahkan menggantikan posisi Tren Alexander-Anord, saat full-back kanan Liverpool itu maju ke depan. Dari sana, selain membuat Liverpool tetap seimbang dan terhubung saat menyerang, Firmino pun bisa mengincar blind spot di daerah pertahanan lawan.

Untuk semua itu, seakan mengamini komentar Klopp, Cox kemudian mengambil kesimpulan: “Tanpa Firmino sebagai false nine, Liverpool akan terlihat kurang kohesif, kurang cair, dan kurang berbahaya saat berada di depan gawang lawan.”

Mengutamakan Tim

Seiring dengan penampilan Liverpool yang terus meyakinkan di bawah arahan Klopp, peran false nine ala Firmino mulai menuai apresiasi. Setidaknya apresiasi itu muncul dari Georginio Wijnaldum dan Unai Emery selaku manajer Arsenal.

Apresiasi Wijnaldum berawal ketika ia diperintah Klopp untuk memainkan peran Firmino saat Liverpool melawat ke markas Barcelona dalam pertandingan leg pertama semifinal Liga Champions 2018-2019. Kala itu, Wijnaldum harus bermain sebagai false nine karena Firmino mengalami cedera.

Namun, lantaran pemain asal Belanda tersebut tak terbiasa bermain di posisi itu, ia pusing bukan main. Liverpool akhirnya kalah 3-0 dari Barcelona, dan seudah pertandingan, Wijnaldum lantas mengatakan kepada Firmino:

“Bagaimana bisa kamu bermain di posisi itu? Sulit dipercaya. Benar-benar intens.”

Infografik Roberto Firmino

Infografik Roberto Firmino. tirto.id/Quita

Sementara itu, apresiasi Emery agak lain dari Wijnaldum. Saat Arsenal menjamu Tottenham Hotspur pada, Minggu, 1 Agustus 2019, Emery sengaja meniru pendekatan taktik dan formasi 4-3-3 yang biasa dipakai Liverpool. Ia menempatkan tiga gelandang petarung, dan memainkan Alexandre Lacazette sebagai fales nine, laiknya Firmino.

Di atas kertas, pendekatan itu memang terlihat berhasil. Arsenal menahan imbang Spurs 2-2 dan Lacazette mencetak satu gol mereka. Namun, saat dilihat secara mendalam, pendekatan Emery tersebut justru jadi blunder mematikan. Penyebabnya: Lacazette gagal memainkan peran false nine ala Firmino secara rancak.

Menurut Michael Cox, dalam analisisnya di The Athletic, Lacazette gagal mengubungkan lini tengah dan lini depan Arsenal. Akibatnya serangan Arsenal tampak tak kohesif dan tanpa variasi. Selain itu, Lacazette juga tak cakap dalam membaca situasi.

Lacazette, tulis Michael Cox, “bukan kreator alami dalam pendekatan seperti ini. Ia memang tahu ke arah mana seharusnya ia mengirim umpan – ke arah salah satu penyerang terluar Arsenal yang menusuk ke pertahanan. Namun, umpan-umpannya itu sering sia-sia... Ia tidak hanya mengumpan terlalu cepat, melainkan juga terlalu kuat.”

Lantas, mengapa peran Firmino itu sulit ditiru oleh pemain lainnya?

Sejak peran false nine muncul ke permukaan pada tahun 1930-an, false nine memang sudah sangat sulit untuk digunakan. Selain harus mempunyai sistem permainan sesuai, sebuah tim juga harus mempunyai pemain yang cocok untuk memerankannya.

Masalahnya, pemain-pemain seperti Matthias Sindelar, Nandor Hidegkuti, hingga Lionel Messi juga tidak muncul setiap tahun sekali. Dan masalah ini kian rumit ketika Roberto Firmino membuat false nine mengalami evolusi.

Jika peran false nine pada umumnya biasanya bisa menguntungkan pemerannya sebelum menguntungkan timnya, False nine ala Firmino berbeda: tim yang utama, dia belakangan. Sebab inilah Klopp lantas memuji habis peran anak buahnya tersebut. Dalam wawancaranya bersama Telegraph pada 2017, manajer asal Jerman tersebut mengatakan:

“Orang-orang mengatakan bahwa Firmino tidak mampu mencetak banyak gol. Apa? Meski tak mencetak gol, ia adalah pemain terbaik karena dia mampu membaca permain dengan baik dan selalu menguntungkan rekan-rekannya. Ia benar-benar luar biasa.”

Klopp juga menambahkan:

“Bagaimana seandainya ia mulai berpikir, ‘Oh, aku harus mencetak lebih banyak gol’ dan mulai melakukan tembakan dari berbagai sudut lapangan. Apakah dia masih bisa mengumpan secara cerdas dan masih terus berlari untuk membuka ruang?”

Baca juga artikel terkait LIVERPOOL atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Eddward S Kennedy