Menuju konten utama

Riwayat Sepak Bola Maroko yang Tumbang dengan Gemilang di Qatar

Sejarah sepak bola Maroko tak bisa dipisahkan dari kerajaan. Peran mereka begitu besar termasuk dalam konotasi negatif.

Riwayat Sepak Bola Maroko yang Tumbang dengan Gemilang di Qatar
Achraf Hakimi dari Maroko, kanan, memberi isyarat ke arah wasit saat Theo Hernandez dari Prancis menahannya selama pertandingan sepak bola semifinal Piala Dunia antara Prancis dan Maroko di Stadion Al Bayt di Al Khor, Qatar, Rabu, 14 Desember 2022. (AP Photo/Thanassis Stavrakis)

tirto.id - Tahun 1970 adalah momentum besar bagi sepak bola Maroko. Negara Afrika yang beribu kota Rabat itu untuk pertama kalinya menembus kualifikasi Piala Dunia.

Pada tahap seleksi, pelatih timnas Blagoje Vidinić mendapat perintah untuk menurunkan pemain racikan kerajaan. Dengan kata lain, diintervensi. Tapi Vidinić menolak. “Hasilnya, tentu saja kami menang,” kenang Vidinić soal pertandingan melawan Aljazair tersebut.

Setahun kemudian Vidinić dipecat. Dia kemudian menangani Zaire (bernama demikian antara 1971 sampai 1997, sekarang Republik Demokratik Kongo).

Campur tangan kerajaan dalam sepak bola Maroko memang sangat kuat. Dan itu tidak bisa dilepaskan dari sang raja, Hassan II, yang memang sangat tertarik dengan olahraga satu ini.

Pada 1959, ketika masih berstatus pangeran, dia mendirikan klub sepak bola yang diberi nama Royal Football Club. Klub ini mendominasi liga lokal. Pada tahun yang sama sampai 1965, Hassan II juga menjadi presiden kehormatan Komite Olimpik Nasional Maroko.

Hassan II pun menggelar Royal Cup. Menurut analis sepak bola Moncef Lyazghi, “jalannya kejuaraan itu telah diatur sedemikian rupa oleh kabinet kerajaan.” Tahun 1996, Hassan II juga menyelenggarakan turnamen internasional yang diberi embel-embel namanya sendiri.

Kemudian lihatlah nama asosiasi mereka: Royal Moroccan Football Federation. Alih-alih menamakannya sebagai National Football Federation, El-Makhzen (sebutan bagi elite Kerajaan Maroko) memilih menyelipkan identitas kerajaan pada federasi sepak bola.

Singkatnya, secara umum kerajaan berperan sangat besar dalam menciptakan ekosistem bola, meski kadang berlebihan seperti sampai mengintervensi pelatih.

“Keluarga kerajaan mengambil peran aktif dalam manajemen olahraga. Pangeran Moulay Hassan (Hassan II), penerus dari pimpinan tentara negara, telah menduduki kursi beberapa federasi kerajaan sebagai presiden dari Komite Olimpik Maroko dan Pangeran Moulay Abdellah sebagai presiden dari Komite Tertinggi Olahraga,” toreh Hadj Mohammed Benjelloun yang berperan sebagai pelaksana tugas Presiden Komite Olimpik Maroko.

Di bawah komando kerajaan, Maroko menjelma jadi salah satu negara yang paling jago sepak bola di Afrika. Pada tahun 1976, mereka memenangkan Africa Cup di Addis Ababa, ibu kota Etiopia. Setelah lolos kualifikasi Piala Dunia 1976, Maroko juga kembali berlaga di Piala Dunia 1986, 1994, 1998, dan yang teranyar di tahun ini di Qatar.

Termasuk urusan sepak bola, pemerintahan Raja Hassan II dianggap sangat otoriter. Hassan dianggap sebagai simbol pembungkaman demokrasi. Diperkirakan ada ratusan korban penculikan, pembunuhan, dan penghilangan paksa dalam tahun-tahun kepemimpinannya.

Ketika suksesi ke Raja Mohammed VI di tahun 1999, situasi sedikit berubah, termasuk untuk urusan menendang bola.

Tidak ada lagi kementerian olahraga yang menangani seluruh perkara sepak bola sepanjang 2000 hingga 2007. Seluruh kebijakan dan keputusan dialihkan ke kantor perdana menteri. Hasilnya, Raja Mohammed VI tidak lagi jadi figur kunci sepak bola Maroko sebagaimana pendahulunya. Banyaknya tokoh militer di institusi sepak bola juga mulai digantikan oleh pengusaha.

Maroko mulai merapikan infrastruktur olahraganya setelah mendapatkan hasil buruk di Olimpiade Beijing 2008. Mereka hanya meraih 1 perak dan 1 perunggu dari cabang lari maraton pria dan lari 800 meter wanita. Pemerintah menggelontorkan dana 1.492 miliar dirham pada 2010 atau meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya.

Dengan uang ini Maroko membangun sarana olahraga yang inklusif demi mencari bakat terpendam dari anak-anak jalanan. Untuk urusan sepak bola, salah satu yang dibangun adalah Akademi Sepak Bola Raja Mohammed VI di Kota Sale.

Akademi ini berhasil menciptakan, salah satunya, penyerang Youssef En-Nesyri. Sebelum sukses di Liga Spanyol bersama Sevilla dengan raihan 27 gol dari 89 penampilan, ia melenturkan kaki di Akademi Sepak Bola Mohammed VI dari tahun 2011-2015. Orang inilah yang membungkam dan memulangkan Portugal dari Piala Dunia 2022 lewat tandukannya. Sundulan En-Nesyri sekaligus berhasil membawa The Atlas Lions menjadi negara Afrika pertama yang menembus babak semifinal Piala Dunia.

Sepak bola adalah salah satu kebanggaan warga Maroko. Bagi mereka, sepak bola adalah satu aktivitas paling murni yang bisa dinikmati dengan bebas.

Dalam artikel berjudul Sport Policies and Politics in North Africa (2012), Mahfoud Amara, dosen dari Universitas Loughborough di Inggris, menjelaskan rezim Hassan II begitu menguasai olahraga demi meredam potensi perlawanan dari generasi muda alias mengalihkan kemungkinan subversi dari warga.

Di tangan Mohammed VI, perlahan semua berubah. Sepak bola menjadi lebih bebas. Suporter fanatik--ultras--bermunculan di stadion dan menjadi salah satu simbol ekspresi terbesar warga.

Masuk dan bicara banyak di Piala Dunia tentu jadi impian mereka. Keinginan yang juga diamini oleh kerajaan.

Keputusan pemerintah untuk memberhentikan Vahid Halilhodžić tiga bulan sebelum Piala Dunia 2022 berbuah manis. Meski dikritik karena keputusan itu sangat cepat, tapi Maroko berhasil merangkul ulang Hakim Ziyech yang sebelumnya tak dibawa ke timnas karena berselisih paham dengan pelatih. Ziyech, kita tahu, adalah salah satu pemain kunci Maroko.

“Cerita kesuksesan Maroko di Piala Dunia mungkin adalah cerita terbaik sepanjang turnamen sejauh ini. Tapi itu bukanlah hasil dari kebetulan dan keberanian semata, tapi bagian dari kepakaran dan perencanaan matang,” tulis CNN.

Tumbang dengan Gemilang

Maroko adalah satu dari sekian banyak negara yang merasakan pemerintahan kolonial Prancis. Pendudukan berlangsung dari 1912 sampai 1956.

Selama masa-masa kelam itu migrasi orang Maroko ke Prancis terjadi secara konsisten. Sebagian dari mereka bukan berangkat atas keinginan sendiri, melainkan didorong oleh Prancis untuk jadi tentara di masa Perang Dunia Pertama.

Middle East Institute (MEI) mencatat ada sekitar 75 ribu warga Maroko yang hijrah ke Prancis awal 1900-an. Sebanyak 35 ribu menjadi pekerja tambang dan perkebunan, sedang 40 ribu lain mengabdi sebagai tentara. Setelah perang berhenti sementara, tersisa 20 ribu orang Maroko di Prancis.

Penyumbang imigran paling banyak di Prancis saat itu adalah Aljazair, jumlahnya 220 ribu. Prancis membutuhkan mereka sebagai tenaga kerja informal. Namun, karena di negara itu terjadi konflik internal dari 1954 sampai 1962, perhatian dialihkan ke Maroko. Jumlah warga Maroko yang berpindah ke Prancis sepanjang 1963-2000 tercatat mencapai 336.325 orang. Maroko menjadi penyumbang tenaga kerja Maghreb terbanyak nomor tiga di Prancis sebesar 229.712 jiwa.

Tak heran akhirnya banyak pesepak bola dari Maroko yang berlaga di luar negeri. Tidak sedikit pula dari mereka memang lahir dan besar di negara tempat dia atau orang tuanya pindah. Tercatat setidaknya 15 dari 26 pemain Timnas Maroko yang berlaga di Piala Dunia 2022 lahir di luar negeri. Ada empat dari Belanda dan Belgia, tiga dari Prancis, dua asal Spanyol, dan satu asal Kanada serta Italia.

Manajer Maroko, Walid Regragui, juga lahir dan besar di Prancis. Sepanjang karier sebagai pemain, Regragui berpindah-pindah mulai dari Racing Paris (1998-1999), Toulouse (1999-2001), hingga Ajaccio (2001-2004). Terakhir di tahun 2009 dia baru pulang ke kampung halamannya di Maroko untuk bermain di klub Moghreb Tetouan dan kemudian menjadi pelatih di kampung halaman orang tuanya.

Infografik Mozaik Maroko

Infografik Mozaik Maroko. tirto.id/Tino

Mimpi Maroko untuk mengalir sejauh mungkin di Piala Dunia akhirnya berhenti karena gempuran Kylian Mbappé, Olivier Giroud, Antoine Griezmann, dan Ousmane Dembélé. Mereka kalah 2-0 tanpa balas di laga semifinal. Mereka belum berhasil mengalahkan juara bertahan sekaligus negara yang menjajah.

Tapi Maroko tumbang dengan gemilang.

Sepanjang perjalanan di Piala Dunia, tim nasional beberapa negara Eropa yang “membesarkan” atlet-atlet sepak bola Maroko berhasil ditaklukkan. Mulai dari Belgia dengan skor 2-0; kemudian Spanyol melalui drama adu penalti dengan skor telak 3-0.

Maroko mungkin tidak sukses dalam usaha revolusioner melawan Prancis. Tapi mereka masih menghadapi Kroasia. Maroko punya kesempatan menorehkan sejarah sebagai tim Afrika pertama yang mendapat predikat peringkat ketiga dalam kompetisi Piala Dunia.

Maroko membuktikan bahwa negara semenjana dalam sepak bola tidak sekadar jadi pelengkap. Mereka punya kesempatan untuk melaju jauh di kompetisi sepak bola paling bergengsi di dunia.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Olahraga
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino