tirto.id - Dolorosa Sinaga terkenang akan sebuah pameran patung kontemporer di Jakarta yang berlangsung saat dirinya masih menjadi mahasiswa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ—kini Institut Kesenian Jakarta. Ia lupa tahun berapa persisnya pameran itu digelar, tapi satu hal yang membuat acara itu melekat dalam ingatan Dolorosa adalah Rita Widagdo, satu-satunya perempuan yang menjadi peserta pameran tersebut.
“Karyanya mengejutkan saya,” kata Dolorosa, dalam Simposium Ekuilbrium Rupa: Patung, Arsetektur, dan Ruang Publik, Sabtu (23/10).
Di mata Dolorosa, pematung kenamaan yang karyanya terdapat di International Sculpture Park, Chianti, Italia, sosok Rita Widagdo adalah figur sejarah. Alasannya, Rita tercatat sebagai perempuan pertama yang membuat karya ruang publik di Jakarta, tepatnya di Bundaran Slipi.
Karya Rita yang dimaksud Dolorosa adalah “Dinamika dalam Gerak” (1973), sebuah patung abstrak setinggi 8 meter dengan olahan bentuk-bentuk geometris yang mengesankan harmoni antara kelembutan dan ketegasan. Menurut Sinar Harapan edisi 12 Mei 1973, “Dinamika dalam Gerak” adalah pemenang sebuah kompetisi yang diselenggarakan pemerintah DKI Jakarta sejak November 1972 hingga 1973. Adapun pemenang kedua dalam sayembara yang sama adalah “Tumbuhnya Sebuah Perkembangan”—karya yang juga lahir dari tangan Rita Widagdo.
Selain penanda kawasan, patung “Dinamika dalam Gerak” juga memberi keseimbangan bagi kawasan Bundaran Slipi yang disesaki kendaraan bermotor. Namun demi pembangunan jalan layang, Pemda DKI membongkar patung itu pada 1987.
“Karena ada perluasan jalan dan lain-lain, patung itu menjadi korban yang dihilangkan, tanpa ada tanggung jawab, dan saya sendiri tidak tahu di mana sekarang patung itu berada,” kata Dolorosa.
Rita Widagdo dikenal sebagai pematung populer yang paling banyak membuat karya ruang publik di Indonesia. Sejak 1970-an, ratusan karya Rita, baik patung maupun relief, tersebar dari Aceh hingga Papua, memberi sentuhan estetik bagi ruang publik dan perkantoran, pabrik dan universitas, juga hotel dan rumah tinggal.
Nurdian Ichsan, pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, menyebut bahwa bagi Rita Widagdo karya ruang publik dan arsitekturalnya berada dalam posisi yang sama penting dengan karya-karya personal. Dengan kata lain, sekalipun karya komisi alias pesanan, Rita selalu mengerjakannya dengan penuh kesungguhan.
“Sebetulnya, saya jauh lebih puas kalau bekerja dalam lingkungan yang ditentukan oleh orang lain. Saya ingin menemukan bentuk yang tadinya tidak bisa saya bayangkan. Saya diantar ke sesuatu di luar saya,” kata Rita dalam sebuah wawancara dengan Efix Mulyadi dan Putu Fajar Arcana di Kompas edisi Minggu 24 April 2005.
Sekadar contoh, karya Rita terpampang di pabrik Pupuk Sriwidjaja III, Palembang (1975), Asean Aceh Fertilizer, Lhokseumawe (1989), Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta (1989), Mahkamah Agung, Jakarta (1990), PT. Total Indonesia, Balikpapan (1998), Universitas Atmajaya, Jakarta (2001), Hang Nadim Airport, Batam (2001), dan yang paling monumental—tingginya 17,8 meter—Tugu Parameswara di gerbang utama Stadion Jakabaring. Patung yang disebut Rita sebagai "garis yang melengkung di langit" itu dibuat khusus untuk menyambut PON 2004 dan kini dikenal sebagai ikon baru Kota Palembang.
Dengan capaian demikian, Nurdian Ichsan menjelaskan mengapa sepanjang 50 tahun lebih berkarier sebagai seniman Rita Widagdo jarang sekali menggelar pemeran tunggal—di samping pembawaannya yang rendah hati dan tidak senang menonjolkan diri.
“Bu Rita seolah sudah puas memamerkan karyanya di ruang publik ketimbang di dalam galeri. Sejauh ini, Bu Rita hanya tiga kali menggelar pameran tunggal. Pertama, tahun 1970-an di Goethe, Jakarta, kemudian di Galeri Nasional pada 2005, dan terakhir sekarang ini di Selasar Sunaryo.”
Pameran terakhir itu bertajuk Ekuilibrium: Karya dan Pikiran Rita Widagdo, menampilkan 10 patung, 8 relief, 13 maket, serta catatan dan arsip yang merekam jejak kesenimanan Rita sejak tahun 1960-an. Dalam pameran langka yang berlangsung sejak 17 September hingga 24 Desember 2021 itu, Nurdian Ichsan bertindak sebagai kurator.
“Bersama Bale Project, riset yang dilakukan untuk pameran ini berlangsung dua tahun,” sambung Nurdian.
Setia pada Garis
Rita Widagdo lahir di Rottwelt, Jerman Barat, 26 November 1938, dengan nama Rita Wizmenn. Sulung dari lima bersaudara ini menempuh pendidikan di Sttatliche Akademie del Bildenden Kunste (SABK) Stuttgart, jurusan seni patung. Persentuhan Rita dengan seni patung dimulai dari kampung halamannya.
Di sana, sejumlah gereja tua berdiri dan salah satu kapelnya bahkan menyimpan koleksi seni patung yang sangat penting dari era Gotik. Di usia remaja, Rita sudah menyaksikan pameran patung kayu dan sempat menghabiskan liburan di rumah pamannya—seorang pematung—semata agar diberitahu hal ihwal seputar memahat kayu.
“Saya diajari tentang macam-macam kayu, serat kayu, jenis ukiran dan cara memegang alat pahat. Kemudian, paman memberi saya sepotong kayu untuk saya pahat. Saya terkejut karena semuanya berlangsung sangat cepat, tetapi saya mencobanya. Ketika saya memukul potongan kayu, bilahnya terbenam dengan mulus dan saya langsung diliputi perasaan yang paling menggembirakan. Saat itu, saya sangat senang karena belum pernah merasakan sesuatu yang sedemikian memuaskan. Sejak itu, saya tidak berhenti memahat,” beber Rita Widagdo kepada Barbara Hahijary dari Indonesiadesign.com.
Dalam skripsi di Fakultas Sastra Universitas Negeri Sebelas Maret, “Tinjauan Diskriptif Rita Widagdo sebagai Pematung” (1990), Juniaty Sinuraya menyebut Rita Widagdo punya kiprah kesenimanan yang mentereng sejak menjadi mahasiswa (1957-1965). Menjadi satu-satunya perempuan di dalam kelas tak membuatnya canggung bergaul dan beraktivitas. Di luar kampus, Rita tercatat sebagai anggota Wurteimbergische Kunstlerbund, sebuah lembaga seni yang didirikan dengan semangat mempererat hubungan antarseniman di Jerman Barat.
Pada periode itu pula patung Rita Wizmenn memenangi sebuah kejuaraan yang digelar oleh Akademie Wettbewerb Stturtgart. Selain itu, patung Rita juga dikoleksi oleh Staatsgalerie (galeri negara bagian) karena mutunya yang berkualitas.
Pada 1964, setahun sebelum lulus kuliah dan menyandang gelar Meisterschüler, Rita menikah dengan Widagdo, mahasiswa ITB yang tengah melanjutkan pendidikan desain interior di SABK Stuttgart.
“Setelah menyelesaikan proses belajar dari guru-guru yang sangat baik, terutama Prof. Hannes Neuner dan Prof. Otto Baum, saya perlu beberapa tahun untuk melepaskan diri dari pengaruhnya. Proses ini dipermudah dengan kepindahan saya pada tahun 1965 ke Indonesia, nampaknya jarak geografis telah membantunya,” ungkap Rita dalam “Yang Dicari Melalui Seni” (PDF).
Di Indonesia, Rita mengakui bahwa karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh hasil pengamatan atas dunia tumbuhan, serta kekayaan dan keanekaragaman vegetasi negeri ini. Karakter garis dan bentuk yang terdapat di alam menjadi titik tolak sekaligus inspirasi patung-patung Rita.
Mula-mula menekuni seni lukis, tapi bidang tersebut tidak memuaskan hatinya, setelah mapan sebagai pematung Rita justru malah lebih banyak mengeksplorasi garis ketimbang bentuk. Pilihan estetik ini terbilang menarik dan tidak lazim sebab dalam tradisi seni patung modern di Indonesia unsur bentuk selalu menjadi yang utama.
“Sejak zaman revolusi, terutama oleh pematung Seni Rakyat seperti Hendra Gunawan, seni patung selalu diawali dengan bentuk, bukan garis,” kata dosen dan pengamat seni rupa Aminudin TH Siregar.
Kelembutan yang Mencengangkan & Long Lifetime Achievment
Dalam berkarya, alih-alih menyalin realitas, Rita malah bertungkus lumus dengan entitas yang tidak selalu kelihatan secara indrawi, yakni esensi. Sebab itu, meski judul karya-karya Rita menyandar kepada sesuatu yang umum dan nyata, misal “Kuntum Melati”, wujud karya Rita tidaklah sama persis dengan gambaran umum mengenai kembang melati.
“Wujud baru yang terbentuk [dalam sebuah karya] harus mampu melepaskan diri dari ‘tuntutan representasional’ pada sesuatu yang pernah ada menjadi sesuatu yang mempunyai eksistensi sendiri,” ungkap Rita, seolah menyampaikan kredo berkeseniannya.
Lewat salah satu esainya dalam Satu Setengah Mata-mata (Oak, 2016), Nirwan Dewanto menjelaskan “Kuntum Melati” sebagai sebuah bidang bujur sangkar dari kuningan yang ‘tersobek’ rapi. Sobekan itu menggantung dan menggelombang di kedua mukanya, seakan kelopak abadi, memberi peluang bagi sang pucuk untuk menjulang ke angkasa.
“Tentulah bukan kembang itu sendiri yang hendak ditampilkan, melainkan bentuk yang mungkin terkandung atau tersembunyi olehnya, bentuk yang musykil sekalipun. Namun yang musykil ini menjadi yang rasional sebab si pematung ‘sekadar’ bermain dengan garis, sudut, bidang (yakni bidang datar dan bidang lengkung) yang dimungkinkan oleh bahan. Maka patung menjadi geometri yang hidup: wujud dwimatra pelat logam itu berkembang—atau berbunga—menjadi trimatra” (hal. 58).
Eksplorasi yang tak habis-habis terhadap garis dan keuletan mengolah material telah membawa Rita pada perjalanan kekaryaan dan pencapaian estetik yang sangat khas serta sulit. Menurut Bambang Sugiharto, karya-karya Rita selalu mengesankan adanya percakapan yang intens antara gejolak batin dengan sifat dasar material sehingga melahirkan karya-karya yang secara teknis sangat mencengangkan.
“Mematung, menaklukan logam, kan pekerjaan yang berat. Bu Rita berhasil menghadirkan kelembutan pada bahan-bahan keras (logam, kuningan, stainless steel, marmer, granit, dll) sehingga bahan dasar itu memancarkan kelembutan dan keanggunan, bahkan terasa sublim,” kata Bambang kepada Tirto.
Di sela-sela pameran Ekuilibrium, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) memberikan penghargaan Long Lifetime Achievment Award kepada Rita Widagdo tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-83, Sabtu (26/11).
Penghargaan yang pertama kali diberikan oleh SSAS itu didasarkan pada dedikasi dan kontribusi Rita Widagdo selama 50 tahun lebih menjadi pengajar dan seniman. Agung Hujatnika, salah seorang panelis, menyebut Rita layak diganjar Long Lifetime Achievment sebab pengaruhnya sangat luar biasa terhadap perkembangan seni patung di Indonesia, termasuk di ranah kurikulum pendidikan tinggi seni negeri ini.
Sejak mengajar di ITB pada 1966—Rita resmi menjadi WNI 14 tahun kemudian—ibu dua anak ini menginisiasi mata kuliah Nirmana, yakni pelajaran dasar bagi seluruh mahasiswa seni rupa sebelum memasuki penjurusan masing-masing: patung, kriya, desain, dst.
“Bu Rita mengajari mahasiswa dan calon seniman untuk menguasai perbendaharaan bahasa rupa: garis, bentuk, volume, tekstur, dan lain-lain. Pada kurun 1960-1970-an, pelajaran itu terbilang sangat baru di Indonesia dan hingga sekarang masih terus diajarkan,” kata Agung.
Selain itu, sedikitnya ada dua hal yang membuat Rita layak diberi penghargaan, yakni kepeloporan dan keteladanan. Kritikus seni rupa Sanento Yuliman menyebut Rita Widagdo sebagai pematung pertama yang membawa seni patung abstrak murni, dalam arti tidak representasional, ke Indonesia. Selain itu, ia juga tergolong generasi pertama yang turut serta mengembangkan jurusan seni patung di ITB bersama But Mochtar dan G Sidharta.
Untuk soal keteladanan, mengingat jumlah perempuan seniman, terutama pematung, masih sangat langka, Agung menyebut sosok Rita Widagdo sangat urgent untuk konteks Indonesia. “Sepanjang lima puluh tahun berkarier, Bu Rita telah memberi teladan terutama kepada perempuan bahwa seni patung adalah bidang yang sangat layak ditekuni, dan patut mendapat penghargaan dari banyak pihak.”
Sedangkan di mata panelis lainnya, Sunaryo, karya-karya Rita dirasa lebih memancarkan keharuan ketimbang daya kejut. “Karya-karyanya sangat konsisten, selalu menebarkan rasa optimis dan semangat, dan kualitasnya sangat luar biasa. Mengikuti alur kreativitas perjalanan Bu Rita, saya yakin ia akan mewariskan suatu legacy bagi seniman generasi yang akan datang,” kata pematung sohor kelahiran Cilacap itu.
Meski dalam karya dan sikap hidupnya sehari-hari tecermin sifat unggul bangsa Jerman—disiplin dan etos kerja sama tinggi—salah satu sifat bangsa Indonesia yang pernah disinggung Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia ternyata sedikit banyak sudah meresap pula dalam diri Rita.
Hal itu terekam betul dalam ingatan Sunaryo mengenai sosok gurunya itu.
“Pernah suatu ketika Pak A.D. Pirous sakit agak lama, kemudian dijenguk dan dibawa Bu Rita. Dibawa ke mana? Ke orang pintar. Itulah bukti bahwa sekalipun lahir dan besar di Jerman, sebagai pribadi, Bu Rita sudah menyelami alam batin Indonesia.”
Editor: Irfan Teguh Pribadi