tirto.id - “Pikirkanlah bagaimana kehidupanmu di tengah pandemi di Amerika tanpa Amazon, sebagai contoh,” pinta Eric Schmidt, mantan Pemimpin Eksekutif Google, dalam Economic Club of New York, acara yang disiarkan langsung melalui streaming, Selasa (14/4) lalu.
Jason Del Rey, dalam laporannya untuk Recode, menyebutkan bahwa Amazon semakin berjaya sejak warga Amerika Serikat diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah demi menghindari COVID-19. Pada masa normal, Amazon menguasai 40 persen total transaksi ritel online di AS. Menurut perkiraan, nilai belanja konsumen Amazon selama pandemi meningkat hingga 35 persen. Karena peningkatan yang signifikan itu, Amazon merekrut 80.000 pekerja baru di saat banyak bisnis lain terhantam.
"Mari kita sedikit bersyukur bahwa perusahaan-perusahaan ini mendapatkan modal, melakukan investasi, dan kemudian membangun perangkat yang kita gunakan sekarang,” ucap Schmidt.
“Bayangkan, bagaimana realitas yang sama di tengah pandemi, tetapi tanpa perangkat-perangkat teknologi ini (Amazon, Zoom, aplikasi pengiriman makanan, dan lainnya)?” tutup Schmidt.
Di tengah pandemi yang sedikitnya telah menewaskan 146 ribu jiwa (per 17 April) dan jutaan orang di dunia yang diperintah untuk tetap tinggal di rumah demi menekan tingkat penyebaran Corona, penggunaan beragam alat-alat teknologi meningkat. Slack, aplikasi kerjasama tim, memecahkan rekor jumlah pengguna dengan 12,5 juta pengguna aktif sejak masifnya kampanye Work From Home (WFH). Zoom, aplikasi telekonferensi video, yang kemungkinan namanya tidak pernah didengar sebelum Corona, kini memiliki 200 juta pengguna aktif harian, meningkat dari 10 juta pengguna di 2014.
Sebagaimana Amazon di AS, di Indonesia tiga e-commerce Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak, sebagaimana dilaporkan CNBC Indonesia, mengalami kenaikan permintaan penjualan sembako hingga 400 persen, seminggu pasca status PSBB diumumkan pemerintah, dengan nilai transaksi mencapai Rp4,1 miliar.
Di sisi lain, sebagai kekuatan besar di dunia teknologi, Apple dan Google ingin melangkah lebih jauh untuk mencoba memperlambat laju penyebaran Corona. Sebagaimana diumumkan melalui laman resmi masing-masing, Apple-Google bekerjasama membangun aplikasi pelacakan COVID-19, yang akan disematkan pada dua sistem operasi mobile terpopuler saat ini, iOS dan Android, melalui toko aplikasi App Store dan Google Play.
Dalam dokumen (PDF) teknis aplikasi pelacakan penyebaran COVID-19, aplikasi akan menggunakan teknologi Bluetooth, ketika seseorang yang telah menggunakan aplikasi bertemu/berinteraksi dengan orang lain yang juga menggunakan aplikasi, aplikasi pelacakan Apple-Google di kedua ponsel orang yang berinteraksi itu akan saling mengirimkan Tracing Key, semacam kode unik sebesar 16-bit yang mengidentifikasi seorang pengguna, via Bluetooth. Lantas, Tracing Key itu disimpan di ponsel masing-masing.
Begitupun seterusnya. Tracing Key akan dikirim-diterima atas setiap interaksi yang terjadi. Di penghujung hari, kumpulan Tracing Key diubah ke dalam bentuk Daily Tracing Key yang telah dienkripsi.
Ketika, katakanlah, orang yang pernah berinteraksi/ditemui divonis positif terkena SARS-CoV-2, virus di balik COVID-19, otoritas kesehatan yang telah bekerjasama dengan Apple-Google akan memberikan formulir digital dan kemudian kumpulan Daily Tracing Key milik orang yang divonis terkena Corona itu diunggah ke server Apple-Google. Melalui server Apple-Google, Daily Tracing Key di-dekripsi (decrypt), dan kemudian ponsel yang menyimpan Tracing Key milik orang yang positif cterkena COVID-19 akan mengeluarkan peringatan serta petunjuk apa yang harus dilakukan.
Apple dan Google berjanji aplikasi ciptaan mereka tidak akan mengungkap siapa sosok orang yang positif terkena Corona. Semua pertukaran data yang terjadi dienkripsi. Dan enkripsinya akan berubah setiap 15 menit.
Rencananya, aplikasi pelacakan ala Apple dan Google ini akan mulai digunakan pada pertengahan Mei.
Presiden AS Donald Trump menyebut aplikasi pelacakan buatan Apple dan Google itu “sangat menarik”. Meski demikian ia mengakui bahwa “ada banyak pihak yang khawatir soal kebebasan mereka terenggut oleh si aplikasi.” Atau, dengan kata lain, khawatir kebebasan mereka direnggut Apple dan Google.
Kekhawatiran yang jelas memiliki dasar.
Apple Berubah, Google Sama Saja
“What happens on your iPhone, stays on your iPhone,” kata sebuah pepatah modern.
Di saat banyak perusahaan internet diterpa isu privasi, Apple, melalui iklan billboard yang dipasang di Las Vegas menjelang pagelaran Consumer Electronics Show 2019, menyatakan sikap tegasnya terkait privasi. Pada 2016, Apple pernah menolak permintaan FBI untuk membuatkan “backdoor” di iPhone.
Bahkan, Tim Cook, panglima Apple, menegaskan bahwa privasi adalah "salah satu hak asasi manusia yang mendasar”. Di lain waktu, ia bahkan pernah berujar: “Timbunan data pengguna membuat kaya si penimbun.” Ia mengkritik model bisnis yang dijalankan Google dan Facebook.
Facebook dan Google memang hidup dari data penggunanya. Pada 2018, dengan menawarkan “personalized ads,” Facebook memperoleh uang senilai $23 miliar dari pasar iklan digital AS. Sementara Google, unggul dengan pundi-pundi sebanyak $42 miliar.
Sejak bersama Google menciptakan alat pelacak COVID-19, Apple bak menelan ludah sendiri.
Di sisi lain, dalam keseharian, Google memang perusahaan yang selalu berupaya mengumpulkan berbagai data penggunanya. Google Maps, peta digital ala Google, saban hari mendata ke mana saja penggunanya pergi. Aplikasi ini memang gratis digunakan siapa saja. Namun, aplikasi yang diprediksi Morgan Stanley akan mendulang $11 miliar pendapatan bagi Google di tahun 2023, menarik bayaran bukan dengan uang bagi pengguna awam, melainkan dengan jejak digital: data.
Dalam laman Techtermdijelaskan, dilihat dari cara bagaimana suatu kegiatan digital menghasilkan jejak, ada dua jenis jejak digital: pasif dan aktif.
Jejak digital pasif merupakan jejak yang tidak sengaja ditinggalkan. Tidak ada tindakan aktif yang dilakukan si pemilik jejak dalam menghasilkan jejak digital itu. Contoh dari jejak digital pasif ialah rekaman linimasa Google Maps. Segala tujuan, rute, maupun titik-titik yang dikunjungi, terekam oleh Google Maps. Perekaman tujuan maupun rute dilakukan tanpa ada tindakan aktif si pemilik jejak digital untuk memberikannya.
Google Maps mampu merekam jejak, terutama bagi semua smartphone yang memasang aplikasi tersebut dengan mengaktifkan fitur GPS. Sayangnya, dalam laporan yang dirilis Quartz, Google dikatakan tetap mengumpulkan data lokasi meskipun fitur lokasi atau GPS dimatikan pemilik smartphone.
Tong Sun, pimpinan pada Scalable Data Analytics Research Lab yang berada di bawah naungan Xerox, menjelaskan di Wiredbahwa aplikasi seperti Google Maps sanggup menawarkan “personalisasi” dengan jejak digital yang dikumpulkan.
Michael Kwet, pengajar pada Yale Law School, sebagaimana dikatakannya pada Recode, menyebut bahwa koalisi Apple-Google adalah “mimpi buruk”. Ini terjadi lantaran dua perusahaan itu sudah sangat mendominasi kehidupan digital warga dunia dan "memata-matai para penggunanya” selama bertahun-tahun.
“Di dunia yang kita bangun ini, kita sesungguhnya sekarang harus mempertimbangkan ulang nasib hidup dan ekonomi atas kepercayaan yang telah diberikan pada Apple dan Google,” tegas Kwet. Meski diniatkan untuk menanggulangi penyebaran virus Corona, memberikan data ke mana kita pergi dan dengan siapa kita bertemu pada Apple dan Google patut dipikirkan ulang. Ada kemungkinan, dengan data pelacakan yang dimiliki, Apple dan Google akan kian menggurita selepas Corona berlalu.
CEO Apple Tim Cook, sebagaimana diwartakan The New York Times, mengatakan bahwa aplikasi ciptaannya dan Google “akan beroperasi dengan menghormati transparansi dan persetujuan pengguna”. Di sisi lain, CEO Google Sundar Pichai mengatakan “aplikasi dibuat dengan kontrol penuh oleh pengguna".
Banyak Negara Telah Melakukan
The New York Times melaporkan Pemerintah Cina memantau warganya terkait penyebaran virus Corona melalui sub-aplikasi bernama Alipay Health Code. Alipay Health Code merupakan sub-aplikasi dari Alipay, dompet digital buatan Ant Financial, anak raksasa perusahaan e-commerce ciptaan Jack Ma, Alibaba.
Kali pertama diperkenalkan untuk warga Hangzhou, Alipay Health Code digunakan untuk mendeteksi apakah si pengguna mungkin telah terjangkit COVID-19 atau tidak. Sistem pendeteksian bermula dari kewajiban pengguna mengisi data lengkap soal dirinya. Aplikasi akan mengumpulkan data secara real-time, misalnya, terkait perjalanan atau interaksi dengan orang-orang yang telah terjangkit COVID-19. Digabungkan dengan data penyebaran dan korban Corona milik pemerintah, data-data itu kemudian dianalisis menggunakan big data, sistem komputer yang sanggup memproses dan menganalisis data berukuran jumbo. Hasilnya, Alipay Health Code akan mengeluarkan QR-Code dengan tiga warna berbeda: hijau, kuning, dan merah.
Hijau artinya pengguna dapat bebas bergerak. Kuning artinya pengguna disarankan untuk tinggal di rumah selama tujuh hari. Merah artinya harus karantina diri selama dua minggu.
Di provinsi Zhejiang, yang beribukota di Hangzhou, Alipay Health Code telah digunakan oleh lebih dari 50 juta warga di mana 98,2 persennya melahirkan QR-Code berwarna hijau. Perlahan, Alipay Health Code mulai diberlakukan secara nasional.
Di Korea Selatan, The New York Times melaporkan bahwa Pemerintah Korea Selatan membangun sistem pelacakan berdasarkan rekaman kamera CCTV, data geoposisi ponsel, dan data transaksi kartu kredit untuk memetakan penyebaran corona. Di Italia, tepatnya di Lombardy, tatkala lockdown diberlakukan, gerak warganya dipantau dari data geoposisi yang dipancarkan ponsel. Dalam analisis Pemerintah Italia, 40 persen warganya disebut “terlalu banyak bergerak".
Israel pun melakukan langkah serupa. Mereka mengumpulkan cache geoposisi dari ponsel milik warganya untuk mendeteksi pergerakan. Tindakan Pemerintah Israel melakukan pemantauan berbasis teknologi, dilakukan dengan sistem yang telah mereka miliki, yang sebelumnya digunakan agen-agen Mossad untuk memata-matai lawan.
Di Singapura, sebagaimana dilaporkan Straits Times, pemerintah meluncurkan aplikasi bernama TraceTogether. Sebagaimana Alipay Health Code, aplikasi TraceTogether melacak pergerakan warga dengan memanfaatkan GPS di ponsel. Ketika seorang pengguna berada sekitar dua meter dari pengguna lainnya yang terkonfirmasi positif Corona, aplikasi akan mengeluarkan peringatan.
Tercatat, TraceTogether telah dipasang di 620.000 ponsel warga Singapura. Singapura berjanji akan memberikan kode pemrogramannya bagi negara lain yang ingin menggunakan aplikasi tersebut.
Bukan hanya Apple, Google, dan berbagai negara yang menggunakan teknologi untuk memetakan dan menghalau laju penyebaran Corona. Uber pun demikian. Di Meksiko, Uber pernah menonaktifkan akun milik satu pengemudi karena salah seorang penumpang terkena Corona. Uber juka menonaktifkan akun 200 penumpang lain yang diantar si pengemudi.
Mila Romanoff, pimpinan Global Pulse, anak organisasi PBB yang berkecimpung dalam hal data digital, menyatakan bahwa privasi memang penting, tetapi dalam keadaan darurat seperti hari ini, menyelamatkan nyawa harus lebih diutamakan.
Editor: Windu Jusuf