Menuju konten utama

Rimba Jalanan Bogor dan Potret Buruk Transportasi Kota

Bogor ditetapkan sebagai kota dengan transportasi terburuk kedua di dunia oleh survei The Waze Driver Satisfaction Index 2016. Akar permasalahannya merentang dari struktur kota yang terlalu terpusat, tak disiplinnya pengguna jalan, keberadaan PKL, parkir liar, hingga minimnya penambahan panjang jalan disaat jumlah kendaraan pribadi makin tak terkendali. Fenomena serupa terjadi di kota-kota lain di Indonesia.

Rimba Jalanan Bogor dan Potret Buruk Transportasi Kota
Kepadatan arus lalu lintas di jalan raya Empang, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/9). Berdasarkan hasil survei Waze, sebuah perangkat lunak navigasi dan lalu lintas android menyebutkan bahwa Kota Bogor berada di peringkat kedua setelah Cebu, Filipina dan San Salvador, El Savador di peringkat ketiga sebagai kota dengan pengalaman berkendara terburuk di dunia dengan indeks kemacetan 3,2, kualitas jalan 2,6 dan ekonomi sosial 1,1. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah.

tirto.id - Pada pertengahan 1990-an, Wali Kota Bogor Eddy Gunardi pernah berujar bahwa kemacetan di kotanya sangat sulit diatasi. Menurutnya, kawasan yang dijuluki Kota Hujan itu sampai kiamat akan tetap macet meskipun berganti walikota hingga sepuluh kali. Masalah ini bukannya tak dipahami oleh sang walikota yang hari ini berkuasa. Persoalan kemacetan di Bogor memang kompleks dan laten. Usaha mengatasinya tak semudah membalik telapak tangan.

Betapa kronisnya kemacetan di Bogor itu dilegitimasi oleh survei terbaru yang dilakukan oleh Waze, aplikasi navigasi dan lalu lintas internasional. Waze menyurvei 235 kota besar di 38 negara untuk mengukur kenyamanan dan kepuasan berkendaranya. Hasilnya, Bogor masuk di urutan kedua sebagai kota terburuk untuk berkendara dengan catatan indeks 2,15 (dari skor tertinggi 10).

Bogor hanya kalah dari kota Cebu di Filipina sebagai kota paling tak nyaman untuk berkendara sedunia dengan indeks 1,15. Indeks kemacetan di Bogor menyentuh angka 3,23. Kualitas jalananya berkisar di angka 2,6. Sedangakan dari sisi sosial-ekonomi, sebagai salah satu dasar penilaian survei Waze, Kota Bogor hanya diganjar indeks 1,1.

Selaku orang nomor satu di Bogor, Bima Arya Sugiarto mengaku kepada awak media bahwa survei Waze tersebut benar adanya dan cukup representaatif untuk menggambarkan parahnya kondisi jalanan kota Bogor. Sebagaimana disarikan dari Antara, setidaknya ada empat faktor yang membuat Bogor mendapat titel yang tak pantas untuk dibanggakan itu.

Pertama dan yang utama, pertumbuhan jumlah dan luas jalan yang hanya sebesar 0,1 persen per tahun sangat tak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang mencapai 13 persen. Kendaraan yang memadati jalanan otomatis membuat tingkat kemacetan makin lama makin parah. Kendaraan yang dimaksud adalah kendaraan proadi dan kendaraan umum (khususnya angkot).

Kota Bogor dikenal sebagai kota seribu angkot. Dengan wilayah seluas 118,50 km persegi, jalanan Bogor dibanjiri kurang lebih 3.412 angkutan kota. Sehari-hari mereka memadati jalan demi mencari penumpang dan mesti bersaing dengan kendaraan pribadi baik motor maupun mobil yang jumlahnya lebih banyak lagi. Ada lebih dari 200 ribu sepeda motor dan hampir 60 ribu mobil pribadi yang berkeliaran di jalanan Kota Bogor. Belum ditambah dengan 12 ribu truk barang.

Jumlah jalan yang sedikit juga tak diimbangi dengan kualitas yang memadai. Dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban 2014 yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Bogor pada Maret tahun lalu, hingga akhir tahun 2014, dari total jalan di Kota Bogor sepanjang 645 km, hanya 351 km (55 persen) yang berkualitas baik. Sisanya dalam kondisi rusak ringan sampai yang parah.

Faktor penyebab kedua yakni kurang disiplinnya para pengguna jalan. Dengan kondisi jalan yang tak layak, mereka sering bermanuver untuk melancarkan perjalanan meski harus melanggar aturan lalu lintas. Faktor penyebab ketiga adalah parkir liar. Masalah laten bagi sejuta umat di Indonesia ini berpadu dengan kondisi trotoar yang kurang manusiawi. Hanya ada 20 km trotoar di Bogor yang dikategorikan baik. Kebanyakan ruas trotoar juga dipakai sebagai tempat berjualan para pedagang kaki lima (faktor penyebab keempat).

Struktur Kota yang Terlalu Terpusat

Akar permasalahan utama atas kemacetan dan buruknya arus lalu lintas di Kota Bogor dalam pandangan pengamat perkotaan Yayat Supriatna dikarenakan strukturnya yang terlalu memusat. Pergerakan manusia dan kendaraan akhirnya terpusat dan memadat di satu titik saja. Persoalan ini, bagi Yayat, menjadi khas, namun sekaligus memberi penjelasan mengapa pusat Kota Bogor tak pernah sepi. Kendaraan dari pinggiran kota selalu tumpah ruah.

Kondisi ini diamini oleh sang walikota Bima Arya. “Ini pangkal utama persoalan. Pusat kota di sini, pusat wisata, pusat bisnis, pusat sekolah, dan perguruan tinggi, semua terpusat pada satu titik di seputaran Kebun Raya dan Istana Bogor,” katanya.

Tak ada jalan lain untuk mengatasi permasalahan tersebut selain me-redistribusi fungsi wilayah dan membagi kota ke wilayah pinggiran. Menurut Bima, langkah ini bisa diwujudkan dengan menerbitkan moratorium pembangunan pusat kota. Langkah awalnya yakni dengan menyebar pembangunan ke wilayah pinggiran, menggeser pusat bisnis ke pinggiran kota dengan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Yayat Supriatna melanjutkan bahwa persoalan transportasi Kota Bogor adalah kota itu dilintasi jalur kereta api Jabodetabek yang beberapa persimpangannya belum memiliki jalan layang (fly over) atau jalan terowongan (underpass). Dengan pola persimpangan seperti sekarang, setiap tujuh menit ada perjalanan kereta yang berdampak kepada melambatnya arus lalu lintas.

Belum lagi titik kumpul masyarakat yang menggunakan kereta api, yang menambah kebangkitan arus lalu lintas di seputar stasiun. "Upaya pembenahan ini memerlukan dukungan pemerintah pusat, mendorong agar penataan angkutan umumnya," imbuh Yayat.

Bukan Hanya Bogor

Bogor bukan menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang harus malu atas hasil survei Waze. Setidaknya ada lima kota di Indonesia (termasuk Bogor) yang bertengger menempati daftar 10 kota dengan transportasi terburuk di dunia.

Setelah Bogor, di urutan ketiga ada San Salvador di El Savador dengan index 2,85. Lalu berturut-turut di bawahnya ada Denpasar – Indonesia (Index: 2,89), Bandung – Indonesia (Index: 3,00), Surabaya – Indonesia (Index: 3,14), Cali – Kolombia (Index: 3,22), Guatemala – Guatemala (Index: 3,36), Jakarta – Indonesia (Index: 3,37), dan Maceio – Brazil (Index: 3,37).

Sedangkan untuk kategori negara, Indonesia menempati posisi ke 34 dari 38 negara. Artinya Indonesia masuk 5 besar untuk negara penyumbang kota dengan transportasi terburuk di dunia. Urutan pertama ada El Savador (Index: 2,85), lalu berturu-turut ada Filipina (Index: 3,13), Guatemala (Index: 3,36), Panama (Index: 3,48), dan akhirnya Indonesia (Index: 3,54).

Permasalahan di Denpasar hingga Jakarta serupa dengan yang terjadi di Bogor. Yakni kelindan faktor pengendara yang tak disiplin, parkir liar, hingga eksistensi PKL. Meski tak semua kota berstruktur terpusat seperti Bogor, kenyamanan berkendaraan di jalan baik di Indonesia maupun negara-negara di dunia selalu mensyaratkan jalanan yang memadai. Ketidanyamanan berkendara akan terganggu saat perbandingan jumlah jalan dan jumlah kendaraan makin senjang.

Tak hanya di Bogor, penambahan jumlah jalan di kota-kota lain di Indonesia sangat amat minim. Sangat tak sebanding dengan data dari Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencatat bahwa jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit. Jumlah ini naik 11 persen dari tahun sebelumnya (2012) yang cuma 94,299 juta unit.

Dari sekian banyak kendaraan yang lalu-lalang di jalanan itu, sebagian besar adalah kendaraan pribadi. Mengapa kendaraan pribadi terus tumbuh? Tentu karena pemerintah kota setempat tak mampu memberikan layanan transportasi publik yang memadai.

Penyediaan bus sebagai angkutan publik paling gampang disediakan misalnya, masih belum digarap secara serius sebagai sarana transportasi warga kota yang bisa menjangkau hingga sudut-sudut wilayah. Pertumbuhan jumlah bus jauh di bawah mobil pribadi, barang, atau sepeda motor. Jumlah bus hanya naik 1 persen menjadi 1,962 juta unit dari sebelumnya 1,945 juta unit.

Dibandingkan estimasi pertumbuhan kendaraan pribadi hingga 10 persen tiap tahunnya, kondisi ini adalah potret betapa buruknya penanganan trasnportasi (kota) di Indonesia—tak peduli siapapun pemimpinnya.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti