tirto.id - Dua hari setelah memutuskan akan maju di Pemilihan Gubernur Jawa Barat, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berjanji tidak akan mempolitisasi Persib Bandung sebagai alat kampanye. "Saya tidak akan mempolitisasi, buat apa juga," kata Ridwan di Pendopo Kota Bandung, Selasa kemarin (22/3/2017).
Emil mengatakan, antara politik dan sepakbola merupakan hal yang berbeda. Sehingga, tidak perlu adanya politisasi klub sepakbola hanya demi terpilih sebagai kepala daerah. "Karena pada dasarnya beda urusan," kata dia.
Ia menyebut, beberapa dukungan bobotoh Persib bukanlah politisasi demi meraup simpati masyarakat Jabar. Namun lebih kepada dukungan secara pribadi. "Kalau politisasi itu di lapangan diumumkan kampanye di depan bobotoh. Tapi kalau dukungan itu, mah, sebagai ekspresi pribadi saja," kata dia.
Ia pun berharap, dalam setiap pemilihan kepala daerah, baik tingkat wali kota maupun gubernur, para kandidat tidak memanfaatkan Persib sebagai alat politik, dan lebih mengedepankan visi serta misinya. "Yang pasti di antara bobotoh ada yang mencalonkan sebagai wali kota atau gubernur, ya silakan saja," kata dia.
Persib yang begitu lekat dengan politik
Secara kasat mata sepakbola dan politik memang dua hal yang berbeda. Namun bukan berarti perbedaan itu tak membikin keduanya saling beririsan.
Dalam beberapa kasus, sepakbola dan politik pada hakikatnya sama saja: memiliki jutaan penonton, menghasilkan tribalisme yang ekstrim, memunculkan harapan berbagi, bersenang-senang dalam kemenangan, persaingan dan kekalahan, pertikaian dan perselisihan, dan lain-lain.
Sebagai salah satu klub besar era Perserikatan, Persib tentu begitu lekat dengan politik. Keputusan para pendiri Persib yang pada 1933 memilih nama "Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung", dengan menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan kata "Indonesia", bukan bahasa Belanda, merupakan bagian dari sikap politik. Ini bagian dari gelombang nasionalisme, termasuk ekses Sumpah Pemuda pada 1928: berbahasa satu, bahasa Indonesia. (Persib Undercover: Kisah-kisah yang terlupakan, hal 188)
Di era Sukarno, Persib dijadikan alat untuk melegitimasi demokrasi terpimpin. Politik adalah panglima, itulah tajuk besar manifesto Sukarno. Era 60-an, Persib begitu dekat dengan militer Kodam Siliwangi. Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie - seorang loyalis Sukarno tulen, ikut membantu mengurusi Persib.
Pada periode itu, para pengurus Persib didominasi perwira menengah militer dari pangkat mayor hingga kolonel, posisi manajer dipegang Kolonel Adella. Selama gelaran final Kejurnas 1961 di Semarang, bahkan mulai dari pakaian seragam hingga kendaraan yang dipakai pun tak lepas dari hal yang berbau militer (Persib Undercover: Kisah-kisah yang terlupakan, hal 33)
Di era Orde Baru, keuangan Persib yang mesti bergantung pada birokrasi. Kebijakan cukup nyeleneh pun sering dilakukan. Gubernur Jawa Barat kala itu, Aang Kunaefi, sering meliburkan PNS pemrov di hari kerja dan mengerahkan mereka pergi mendukung Persib pada 8 besar di Senayan (Harian Kompas, 9 November 1983)
Begitu pun saat menjabat Walikota Bandung, Ateng Wahyudi sering kali "meminta" PNS Pemkot Bandung untuk menyisihkan gaji mereka untuk membantu Persib yang kesulitan dana pada awal musim 1985. (Pikiran Rakyat,12 Januari 1985)
Dari dulu sampai sekarang Persib memang selalu dekat politik dan pemerintah, baik itu Pemrov Jabar atau Pemkot Bandung. Kunjungan ke Balaikota atau Gedung Sate usai merebut titel juara sudah terjadi sejak dulu. Dari zaman bupati Wiranatakusumah V sampai Ridwan Kamil, dari zaman Gubernur Sanusi Hardjadinata sampai Ahmad Heryawan.
Sebab utama para elit politik ini lekat dengan Persib tentu karena Persib ampuh untuk menggaet massa. Terlebih secara entitas Persib tak semata berwujud klub bola saja. Ada primordialisme yang mengakar, tidak hanya di sekitar di Bandung Raya namun seluruh Jawa Barat.
Sejarah panjang Persib di Jawa Barat membikin mereka mengaitkan diri manjadi bagian dari kesukuan budaya Sunda. Fenomena ini juga sebenarnya terjadi di PSMS Medan di Sumatera Utara atau PSM Makassar di Sulawesi Selatan.
Di mana ada massa, di situ ada politikus -- begitulah yang sering terjadi di Persib dan kesebelasan-kesebelasan tradisional yang belatar belakang perserikatan. Dalam konteks Pilkada, Persib memang sering dicoba untuk untuk menarik simpati dan suara. Pada Pilgub Jabar 2013 lalu, misalnya, Aher dan Dede Yusuf saling berusaha merebut suara bobotoh. Aher bahkan sempat hadir di tribun penonton dan menjadi dirigen suporter.
Keputusan Aher yang turun langsung ini bisa dibaca sebagai usaha menetralisir pengaruh Dede Yusuf yang lebih dekat manajemen Persib. Dede terlibat cukup intens dalam terbentuknya PT Persib Bandung Bermartabat pada 2009. Di sisi lain, Dede pun didukung oleh Partai Demokrat - partai yang dekat dengan Umuh Muchtar, manajer Persib, yang putranya (Erwan Setiawan) adalah ketua DPC Demokrat Kota Bandung.
Faktor Umuh dan Erwan ini jua yang membuat posisi Persib pada Pilwakot Bandung 2013 menjadi dilematis. Kebetulan Erwan Setiawan maju menjadi Calon Wakil Walikota mendamping Edi Siswadi. Untuk mendukung anaknya, Umuh tak tanggung mendatangkan striker Persib, Sergio van Dijk, di acara kampanye Edi-Erwan di Kelurahan Cigondewah Kaler, Kecamatan Bandung Kidul.
Posisi Erwan ini pula membuat sang kompetitor yang kini menjadi Walikota Bandung, Ridwan Kamil, enggan memfokuskan Persib sebagai alat bagian dari kampanye. Saat musim kampanye, hal terserius yang dilakukannya untuk "mengaitkan diri dengan Persib" hanya memajang foto di Instagram yang menampilkan Ia memakai syal Persib di Amerika.
Bobotoh adalah basis masa yang besar, itu iya. Namun bukan berarti mempolitisasi Persib bisa berbuah kemenangan. Berkaca dari apa yang dilakukan Dede Yusuf dan Erwan Setiawan, kedekatan mereka dengan manajemen, pemain dan pentolan suporter toh tidak menjamin mereka menang Pilkada. Dede Yusuf kalah dalam Pilgub, Erwan kalah dalam Pilwalkot.
Lagi pula di Indonesia mengkonversi kecintaan terhadap sebuah klub menjadi sebuah referensi politik bukan perkara gampang. Persib amatlah plural. Persib tidak seperti Al Ahed di Lebanon yang semua suportertnya adalah simpatisan partai Hizbullah, atau Livorno yang para fansnya adalah pendukung Partai Kiri Italia.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan