tirto.id - Penulis musik Chuck Klosterman suatu ketika pernah menuliskan ada dua nama musisi besar, yang saking besarnya orang pasti tahu mereka tanpa perlu menyebutkan nama lengkapnya. Pertama adalah Elvis, kedua adalah Dylan.
"Elvis tak perlu disebut nama belakangnya, dan Dylan tak usah disebut nama depannya, kamu sudah tahu siapa mereka," kata Chuck.
Di Indonesia, kasus seperti ini bisa ditujukan pada Rhoma. Jika orang menyebut Rhoma, pasti akan tahu yang dimaksud adalah Rhoma Irama, sang raja dangdut. Reputasi sebagai raja, yang membuat ia dikenal tanpa perlu menyebut nama belakangnya, dibangun tidak dalam semalam.
Menurut William H Frederick yang menulis Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contempory Indonesia Popular Culture pada 1985, Rhoma telah membuat revolusi dalam musik dangdut di Indonesia. Salah satunya, misalkan, memasukkan unsur rock dalam dangdut. Maka Rhoma bisa menarik penggemar dangdut, rock, maupun dua-duanya. Selain itu, Rhoma juga populer sebagai bintang film. Para ilmuwan macam Khrisna Sen dan David Hill dalam Media, Culture and Politics (2000) juga Marle Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013) mengatakan bahwa Rhoma adalah orang penting dalam musik Indonesia.
Rhoma, ujar Sen dan Hill, dianggap berhasil mengubah orkes Melayu gaya lama, dan memadukannya dengan melodi dan ritmik yang khas India. Ia juga dianggap bisa melakukan eksplorasi dalam musiknya. Misalkan, memasukkan unsur rock yang dipengaruhi Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple, salah satu idola musik Rhoma.
Dengan segala pencapaian luhur itu, seharusnya mudah saja Rhoma mewariskan kerajaan dangdut pada anak bungsunya, Ridho Rhoma. Masalahnya, musik bukan dunia monarki. Sang raja tak bisa begitu saja memutuskan siapa penerus yang akan membawa nama besarnya. Rakyat, alias pendengar, yang memutuskan.
Maka meski Ridho membawa serta nama besar Rhoma sebagai nama belakang, ia tak bisa dianggap berhasil. Albumnya, Menerka (2007) dan Menyangka (2008) lewat begitu saja. Hanya album Menunggu (2009) yang sempat diperbincangkan oleh beberapa penggemar dangdut. Selebihnya, Ridho wara-wiri di layar kaca karena perkara yang jauh dari musik.
Nama besar Rhoma, diakui atau tidak, tampak benar membebani Ridho. Ia tak berani melepas nama Rhoma. Saat membentuk grup band pun, ia memakai nama Sonet 2. Tentu itu adalah plesetan untuk Soneta, grup yang dibentuk bapaknya. Atau bisa juga menjadi simbol kalau Ridho akan meneruskan tampuk kerajaan dangdut yang dibangun bapaknya. Sayang, Ridho gagal. Baik gagal melepaskan diri dari nama besar bapaknya, juga gagal sebagai musisi yang berusaha menapak jalannya sendiri.
Beratnya Tugas Anak Lelaki di Dunia Musik
Sejatinya, Ridho tak perlu berkecil hati karena ia tak sendirian sebagai anak lelaki yang berusaha lepas dari bayang-bayang bapaknya. Selain Ridho, publik di Indonesia juga mengenal Galang Rambu Anarki, anak lelaki Iwan Fals, yang pernah membentuk band Bunga.
Usaha Galang lepas dari nama besar bapaknya pernah dikisahkan oleh Andreas Harsono dalam artikel Dewa Dari Leuwinanggung. Sebagai remaja, Galang gemar-gemarnya memberontak. Selain memutuskan untuk putus sekolah dan mengejar karier sebagai musisi, Galang juga pernah kabur dari rumah. Namun tak lama, karena ia melihat poster dan foto bapaknya di mana-mana.
"Ia merasa diawasi," kata Iwan seperti dikutip Andreas.
Tapi usaha Galang cukup berhasil. Bunga punya nama yang harum, berkat usaha mereka sendiri. Galang menjadi gitaris di band yang dibentuknya bersama Tony, Nial, Galang, Oka, dan Eri ini. Sayang, sebelum album pertama dirilis, Galang meninggal dunia. Album pertama Bunga akhirnya diberi judul Untukmu Galang. Album ini berhasil mencetak hits "Kasih Jangan Kau Pergi", terjual sebanyak 500.000 keping.
Di luar negeri, melepaskan diri dari nama bapak terasa makin berat. Apalagi kalau bapakmu bernama Bob Dylan, yang kata Klosterman tak memerlukan nama depannya untuk dikenal. Kalau tak percaya, coba tanya pada Jakob, anak lelakinya. Jakob adalah anak bungsu dari lima bersaudara hasil pernikahan Bob dan istri pertamanya, Sara. Bob dan Sara menikah pada 1965 dan bercerai pada 1977. Jakob kemudian ikut ibunya.
Jakob berusaha lepas dari bayang-bayang bapaknya, musisi yang kerap disebut sebagai salah satu musisi terhebat sepanjang masa. Tapi apa daya, menyandang nama Dylan adalah kutukan. Jakob berusaha lepas dari kutukan itu dengan berbagai cara. Dalam setiap wawancara, Jakob tak pernah menyebut Bob dengan sebutan ayah atau bapak. Selalu dengan “dia” atau “lelaki itu”. Usaha lain: membentuk The Wallflower.
Album pertama yang kurang sukses nampaknya akan tetap membuat Jakob menjadi catatan kaki dalam sejarah si bapak. Namun album Bringing Down the Horse berhasil mengangkat nama The Wallflowers, band yang mendapuk Jakob sebagai gitaris dan vokalis. Album itu laris manis, terjual empat juta kopi. Dapat lima penghargaan Grammy, dua dimenangkan. Semua lagu di album itu dibuat oleh Jakob.
Tapi tetap saja Jakob tak bisa lepas sepenuhnya dari bayangan si bapak. Meski dianggap lebih tampan dan lebih bisa nyanyi ketimbang si bapak, banyak yang membandingkan gaya menulis lirik antara Jakob dan Bob.
“Sampai sekarang, setiap aku pergi ke restoran orang masih berkata ‘aku suka karya ayahmu’,” kata Jakob pada The New York Times.
Suka tak suka, orang pasti membandingkan antara anak dan bapak yang melangkah di jalan yang sama. Repotnya kalau si anak tak bisa lebih besar dari si bapak. Pasti akan jadi, mengutip istilah Jakob, sekadar nama dalam halaman buku biografi sang bapak.
Pernah dengar karya Jason Bonham yang lebih besar ketimbang karya bapaknya, drummer Led Zeppelin John Bonham? Nihil. Bahkan usahanya membentuk band pun seakan tak mau melepaskan diri dari nama si bapak, Bonham. Terakhir, dia berusaha “berdamai” dengan warisan dan kenangan terhadap si bapak. Jason menjadi drummer untuk Led Zeppelin, band ultra legendaris yang memilih bubar setelah John meninggal.
Begitu pula yang menimpa Sean Lennon dan Dhani Harrison, anak lelaki John dan George, dua personel yang bandnya lebih terkenal ketimbang Yesus. Atau Simon Collins yang belum bisa bersaing dengan bapaknya, Phil sang Genesis.
Mungkin langkah paling strategis adalah apa yang dilakukan Duncan Zowie Jones, anak lelaki David Bowie. Kalau kamu pernah dengar “Kooks” yang hangat dan humoris –dalam lagu itu, Bowie berpesan: jangan berantem dengan tukang risak, sebab aku tak lihai meninju muka ayah anak lain– itu lagu yang dibuat Bowie untuk Duncan.
Mungkin Duncan sadar tak akan bisa melampaui nama besar ayahnya di bidang musik. Akhirnya dia lebih memilih berkarya di bidang lain, film. Selain itu dia memilih untuk tak menggunakan nama Bowie –meski itu nama panggung. Karena nama besar Bowie bisa jadi kutukan dan beban yang teramat berat. Karena karya yang bagus, beda lahan dengan si bapak, dan tak ada nama Bowie di belakang, nyaris tak ada yang membandingkan Duncan dengan ayahandanya.
Pada akhirnya, salah satu pekerjaan terberat anak lelaki adalah lepas dari bayangan bapaknya. Apalagi kalau si bapak adalah Sang Raja.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti