tirto.id - Ketua Steering Comittee Reuni Akbar 212, Yusuf Muhammad Martak, dua pekan sebelum acara digelar mengatakan, reuni 212 bukanlah agenda politis. Menurut dia, kegiatan ini adalah ajang para alumni 212 "berkumpul dalam satu momen, dalam satu titik pertemuan untuk munajad, berdoa dengan iringan zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."
Senin (2/12/2019) pagi, hanya beberapa menit sebelum puncak acara yang dihelat di kawasan Monas, Jakarta Pusat, janji itu kembali ditegaskan pria yang juga menjabat Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama tersebut.
“Lagi pula Pilpres sudah selesai, orang yang kami dukung juga sudah berkoalisi [dengan pemerintah],” kata dia di depan kerumunan wartawan.
Cara Martak berkali-kali menekankan pesan serupa boleh jadi meyakinkan. Sebab argumen dia benar semata. Prabowo Subianto, sosok capres yang sempat didukung kelompok alumni 212, kini telah berada di lingkaran istana. Tak ada lagi alasan bagi mereka untuk memeram kebencian pada kubu yang dulu jadi lawan sang menteri pertahanan.
Tapi tohlidah tak bertulang. Janji tinggal janji. Di pagi yang sama, ucapan Martak menguap seperti butir embun yang dimakan panas matahari terbit.
Semua bermula ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang datang dalam acara ini menyampaikan sambutannya.
Tidak ada yang mengejutkan memang dari sambutan Anies. Layaknya seorang pemimpin, dia menekankan soal kesetaraan, keberagaman, dan keadilan.
"Ketika kesetaraan kesempatan ada. Ketika perlakuan yang sama ada pada setiap warga negara Indonesia. Maka di situ kita akan merasakan keadilan dan dengan begitu kita memiliki persatuan," ucap dia.
Masalah kemudian muncul lantaran momen ucapan Anies itu bersinggungan dengan pernyataan imam besar 212, Rizieq Shihab yang pada acara sama menyampaikan pidato lewat video conference.
Rizieq, beberapa menit sebelumnya menyebut keterlantaran dia di Arab Saudi tidak lepas dari permintaan pemerintah Indonesia.
“Apa yang sudah dikatakan Duta Besar Arab Saudi yang lama, yaitu Syekh Osama Al Shuaibi, beliau menyatakan bahwa 'Kami Saudi setiap saat siap untuk memberikan Habib Rizieq ke Indonesia'. Akan tetapi, silakan Anda tanyakan tentang sikap dari pemerintah Anda sendiri,” kata dia.
Sontak, pidato Anies pun ditanggapi sebagai angin segar pemulangan Rizieq. Para peserta reuni lantas--sekali lagi--mengubah panggung yang harusnya ‘tanpa embel-embel politik’ itu jadi ajang pemenangan politik praktis.
Mereka berteriak “presiden! presiden! presiden!”, mengisyaratkan dukungan untuk Anies maju sebagai orang nomor satu di republik ini 2024 mendatang.
Kemudian menyeliplah pantun ikonik yang diucapkan pembawa acara reuni 212, Haikal Hassan.
"Asap dapur pintu terbuka / Tercium sedap ikan peda // Indonesia akan berjaya / Kalau Anies Baswedan pimpinannya."
Langsung Galang Rencana
Kesan reuni 212 sebagai sebuah gerakan politik praktis juga semakin dipertebal pewacanaan agenda tahun 2019 yang dilakukan para pengurus.
Ketua Panitia Reuni 212 2019 Awiet Manshyur menyebut mereka akan melakukan gerakan menuntut Sukmawati Soekarnoputri karena tudingan ucapan dia menista Nabi Muhammad SAW.
Gerakan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pidato Rizieq beberapa menit sebelumnya yang mengancam bakal menggelar aksi berjilid-jilid jika Sukmawati tak dihukum.
"Jika terjadi penodaan agama, maka proses hukum yang dikedepankan. Jika aparat tidak melakukan penindakan, maka gelar aksi Bela Islam yang berjilid-jilid seperti yang pernah kita lakukan," kata dia.
Sebagai catatan, Sukmawati adalah sosok yang melaporkan Rizieq dengan tudingan penistaan Pancasila.
Selain itu, Awiet menyebut para peserta Reuni 212 tetap memperjuangkan Rizieq Shihab kembali ke Indonesia. Mereka bahkan menyebut akan bertaruh nyawa untuk proses pemulangan Rizieq.
“Kita harus jadikan Rizieq Shihab sebagai komando perjuangan kita. Pokoknya kepala buat kaki, kaki buat kepala, bila perlu nyawa taruhannya, kita harus berjuang bagaimana caranya hak asasi Habib Rizieq bisa dipenuhi negara,” kata Awiet.
Lebih Baik Jadi Parpol Saja
Menurut akademisi Universitas Widya Mandira Kupang, Raja Muda Bataona, fakta bahwa reuni 212 berujung nuansa politik sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Sebab, terlepas dari janji-janji yang sebelumnya dikumandangkan, pada akhirnya orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah melakukan aksinya dalam konteks gerakan politik.
“Jika dikaji secara empirik, sebenarnya Reuni 212 sendiri itu gerakan politik, dan lebih spesifik lagi adalah sebuah gerakan politik populisme kanan,” ujarnya seperti dilansir Antara.
Artinya, menjadi sesuatu yang wajar apabila gerakan ini “dibaca publik sebagai oposisi pemerintah.” “Dan hal itu sah-sah saja,” kata dia.
Untuk itu, alih-alih terus berlindung dengan alasan tidak ingin menceburkan diri ke politik, Mikhael justru menyarankan agar gerakan ini “bertransformasi jadi partai politik saja.”
“Karena ketika mereka memilih untuk berjuang lewat jalur-jalur gerakan massa atau populisme, maka ini akan menjadi sesuatu yang tidak terlalu kuat secara politik dalam menentukan pengambilan kebijakan,” kata dia.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz