Menuju konten utama
Ardian Syaf:

"Respons Publik Berlebihan"

Ardian Syaf, artisan komik yang bekerja buat studi besar macam Marvel, berkata respons publik "berlebihan" sesudah ia menyisipkan 'QS 51:5' dan '212' di panel X-Men Gold #1.

Ardian Syaf. tirto.id/Sabit

tirto.id - Nama Ardian Syaf paling mungkin hanya diketahui di kalangan pencinta komik bila saja tak bikin heboh atas tindakannya yang dibilang tak sengaja. Comic artist asal Tulungagung, Jawa Timur, ini menyisipkan pesan tersembunyi pada beberapa panel dalam serial superhero terbaru X-Men Gold #1, yang ikut-ikutan meramaikan kontroversi dan kegaduhan dalam Pilkada DKI Jakarta.

Ia menorehkan '212' pada satu panel yang menggambarkan adegan karakter Kitty Pryde, seorang mutan Yahudi, mengkonfrontasi manusia. Pada panel lain, Ardian menyisipkan 'QS5:51' pada kaos yang dikenakan karakter mutan Colossus. Pesan tersembunyi atau easter egg ini merujuk pesan politik, yang secara tidak langsung menunjukkan pandangan Ardian, atas pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Sisipan itu mengacu aksi ratusan ribu umat Islam pada 2 Desember 2016 di Jakarta yang menuntut Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama untuk mundur sebagai gubernur dengan tuduhan telah menistakan agama. Gara-garanya, Ahok mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 di depan warga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, dalam satu kunjungan kerjanya pada 27 September 2016. Ahok memakai surat itu buat merujuk bahwa lawan-lawan politiknya sering menggunakan salah satu ayat dalam Alquran tersebut buat menyerangnya karena identitasnya sebagai seorang Kristen.

Ardian sendiri ikut dalam Aksi 212 dan, sepulang dari sana, ia tergerak menyisipkan pesan itu ke dalam X-Men Gold #1, yang dianggap bertentangan dengan pandangan inklusif pihak pemesan, yakni Marvel Comics. Ia segera dicap sebagai rasis dan anti-Kristen maupun anti-Yahudi.

"Orang yang memang mengenal saya dan tahu karakter komik-komik saya pasti tahu itu," kata Ardian menanggapi respons berlebihan yang menyudutkan dan mencela dia. Tindakannya semata ingin menyimpan kenangan akan Aksi 212, dan ia melakukannya sekadar iseng.

"Kalau saya tahu itu bakal heboh, tentu tidak akan memasukkan. Itu bukti kalau saya tidak sengaja," ujarnya.

Sebelumnya Ardian beberapa kali melakukan hal sama, termasuk saat warga Jakarta memilih gubernur pada 2012, dalam komik-komik pesanan dari studio besar luar negeri. Sentuhan nuansa Indonesia itu tak pernah direspons dengan kecaman. Tetapi untuk kali ini tanggapannya sangat berbeda dan, pada akhirnya, berujung pemutusan kontrak dari Marvel.

Ribut-ribut di media sosial—dari komentar-komentar di Facebook, Twitter, hingga Instagram—baru direspons Marvel secara serius, lima hari setelah komik superhero itu diluncurkan pada Rabu, 5 April 2017. Dalam email yang diterima Ardian, Marvel akhirnya memutuskan hubungan kerja antara pihak pemesan dan artisan.

Dari agensinya, Ardian juga dibilang "bakal sulit cari klien di Amerika." Dari sanalah Ardian pun memutuskan untuk undur diri.

Peran Ardian dalam industri penerbitan komik sebagai penciller, alias mengeksekusi naskah ke dalam kosa gambar, tahapan kecil dari rantai produksi sebuah komik. Selama karier profesionalnya Ardian tak pernah sekalipun bekerja untuk studio komik dalam negeri. Ia menerima bayaran rata-rata 200 dolar AS per halaman.

Dalam wawancaranya dengan Tony Firman dari Tirto, Ardian Syaf lebih banyak mengisahkan proses kerja melayani klien dari studio besar, keterampilannya yang terus diasah sejak remaja, dan kemewahannya menikmati waktu senggang sesudah jeda dari iklim pekerjaan dengan tenggat ketat yang dilakoninya selama nyaris 10 tahun.

Sejak kapan Anda bekerja sebagai comic artist/ilustrator profesional?

Itu bermula dari 2007 ketika gambar karya-karya saya unggah di situs deviantart.com. Saya ke warung internet di Malang karena di daerah sini belum ada jaringan internet ketika itu. Dari situ, ada agensi dari Spanyol, namanya Nutopia Agency, menghubungi saya via akun tersebut. Mereka menawari kerjasama untuk mencarikan klien profesional bagi saya. Dan saya yang pertama kali dari Indonesia waktu itu. Saya dapat job pertama dari agensi untuk bekerja di Dabel Brothers Production di Atlanta, Amerika Serikat sebagai comic artist serial Dresden Files pada 2008. Baru setelah itu bekerja untuk Marvel, D.C. Comics yang terlama, dan terakhir kembali ke Marvel lagi.

Selama menggarap pesanan dari penerbit luar negeri itu, pekerjaan apa yang paling mengesankan?

Sama saja mengesankan. Soalnya memang harus profesional di bidang menggambar ini. Termasuk yang paling berkesan, ya semua berkesan. Karena diberi job menggarap gambar komik seperti Batman, Superman, Batgirl, dan lainnya. Banyak yang ingin masuk ke situ. Persaingan ketat, sehingga ketika sudah bisa masuk dan menggarap job tersebut, artinya sudah lolos dari seleksi ketat tersebut.

Apa hambatan atau kesulitan yang paling sering ditemui?

Deadline itu tantangannya. Komik bukan seperti job yang lain, karena tiap halaman terus bersambung. Sehingga tekanan berat. Otak terus berputar memikirkan. Tiap halaman tentu ada kotak-kotak yang perlu digambarkan dan harus fokus. Berbeda lagi ketika saya disuruh menggambar hanya sosok tokoh saja: satu tokoh selesai, tugas saya turut selesai.

Harus ada standar gambar sebaik mungkin dari klien?

Gambar harus selesai secepat mungkin. Lebih baik gambar biasa saja tapi tepat waktu. Soalnya harus kejar-kejaran dengan waktu terbit.

Ada perbedaan soal standar kerja dari klien luar negeri dan dalam negeri?

Saya belum pernah bekerja di dalam negeri. Yang jelas soal bayaran beda karena dalam negeri pakai sistem royalti dari hasil penjualan komik. Tinggal kalikan laku berapa.

Bagaimana sistem kerja dengan klien besar macam DC Comics dan Marvel?

Tergantung kontrak. Jangka waktu bisa. Misal, aku dikontrak 2 tahun, itu berarti disuplai terus pekerjaan serial komik ke aku. Mulai efektif rata-rata tiap 2 tahun kontrak diperbarui.

Mekanisme kerjanya bagaimana?

Pertama tentu diemailkan. Ditawari: mau enggak garap serial ini? Kalau enggak, ya enggap apa-apa. Pernah saya nolak, yaitu komik Catwoman karena itu terlalu seksi. Saya tinggal bilang, kalau lebih suka tokoh cowok, terus mereka cari penggantinya untuk saya kerjakan.

Kedua, naskah tentu dari sana. Mereka sudah kirim naskah, kita tinggal menggambarnya. Berupa file word dan saya memvisualisasikannya. Satu cerita ada 4 edisi umumnya dan selesai empat bulan. Jadi satu bulan selesai 1 edisi.

Kalau telat?

Misal telat, mereka melempar ke penggambar lain. Jadi satu komik antara halaman ini sama itu beda orang yang mengerjakan.

Ketiga, setelah selesai, gambar dari goresan pensil ini di-scan dan dikirimkan via email lagi. Prosesnya kemudian ada di tangan tukang tinta untuk diwarnai secara digital (coloring). Gambar asli dari saya kadang juga dikirim kalau tukang tintanya minta. Biasanya yang minta itu tukang tinta yang jadul alias gaptek (gagap teknologi), jadi pewarnaannya manual.

Keempat ada di tangan tukang dialog (lettering). Tugasnya tentu memberi dialog-dialog dalam setiap halaman serial komik. Dan terakhir masuk percetakan untuk kemudian didistribusikan.

Soal sistem perhitungan pembayarannya bagaimana?

Bayarannya per halaman. Bukan pukul rata gaji per bulan. Misal, komik ada 20 halaman, ya tinggal dikalikan. Upahnya sama, antara DC sama Marvel, mematok sekitar 200 dolar AS per halaman.

Honor itu sangat cukup. Dari hasil tersebut saya bisa bangun rumah beserta isinya seperti sekarang ini. Termasuk beli kendaraan roda empat itu.

Pihak agensi dapat berapa?

Mereka dapat 10 sampai 20 persen per halaman.

Siapa artisan atau komikus lokal yang Anda sukai?

Wid NS [Widodo Noor Slamet, 1938-2003], pencipta tokoh komik Godam. Bagus gambarnya. Dia ilustrator jadul tahun 1970 sampai 1980. Sama Teguh Santosa [1942-2000]. Mereka itu maestro-maestro komik tahun 1970-an. Mungkin secara tidak sadar mereka memengaruhi gaya menggambar saya.

Menggambar memang hobi dari kecil Anda?

Dulu sejak umur empat tahun saya suka menggores-gores lantai rumah pakai kapur. Lantainya dulu dari semen. Lalu suka film-film kartun di TVRI, dari situ suka digambar lagi.

Latar belakang pendidikan turut membantu?

Saya kuliah di Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Negeri Malang angkatan 1998. Membantu sekali ilmunya. Saya jadi tahu teman-temea lain yang juga hobi menggambar dan suka komik.

Teman-teman kuliah sekarang juga jadi comic artist/ilustrator?

Jarang yang dijadikan profesi, tetapi ada teman yang jadi ilustrator di Jawa Pos. Yang lain, ada yang jadi guru, kerja di stasiun televisi, dan lainnya.

Dari keluarga sendiri, ada yang mengajari atau mendorong untuk menggambar?

Bapak saya bisa gambar. Tetapi dia lebih fokus ke dunia sastra seperti puisi, novel, dan cerpen. Dulu waktu saya SD kelas 5 sampai 6, bapak nulis cerpen dan saya yang disuruh gambar sebagai ilustrator dari cerita tersebut. Jadi seperti itu, bapak tidak mengajari tapi memberi ruang.

Lalu bapak ketika jadi redaktur pelaksana tabloid Jawa Anyar ketika saya SMP, saya ditunjuk jadi ilustratornya. Itu yang membuat perkembangan teknik menggambar saya jadi makin pesat, menjadi ruang saya latihan. Kantor bapak ada di Surabaya, tiap minggu pulang-pergi ambil gambar saya. Waktu itu satu ilustrasi dihargai Rp3 ribu dan selama karier saya itu terkumpul Rp300 ribu. Tahun segitu sudah cukup banyak uang segitu. Tabloidnya sendiri harganya Rp8 ribu.

Bapak kaget beberapa tahun kemudian ketika perkembangan saya meningkat dari sebelumnya. Masuk SMA, saya pernah menjuarai lomba lukis nasional. Padahal waktu SD, banyak yang lebih bagus gambarnya dari saya, tetapi mungkin bakatnya jadi hilang karena tidak ada kesempatan mengasahnya.

Untuk kejadian yang baru saja heboh, mau klarifikasi?

Responnya berlebihan. Orang yang memang mengenal saya dan tahu karakter komik-komik saya pasti tahu itu. Saya iseng saja menyertakan sisipan tersebut. Sebelum itu banyak, menyertakan gambar Gus Dur di komik Spider-Man (Marvel), Garuda, Peta Indonesia, Angka 17 Agustus, hingga Jokowi ketika maju sebagai gubernur Jakarta dulu. Orang-orang yang cari komik saya biasanya juga cari sentuhan nuansa Indonesia apa kali ini di dalamnya.

Kalau saya tahu itu bakal heboh, tentu tidak akan memasukkan. Itu bukti kalau saya tidak sengaja. Tetapi apa pun yang sudah terjadi, saya tidak mempermasalahkan lagi. Saya mau menatap ke depan. Saya enggak mau menanggapi cela-celaan yang mengarah ke saya.

Tetapi ada dukungan?

Teman-teman non-muslim masih ada yang support via Whatsapp atau inboks di Facebook. Dia tahu gimana saya, dia menghibur. Ada teman dari Jakarta sempat datang ke rumah, juga non-muslim untuk support saya. Mereka penikmat komik saya. Mereka justru heran, Ardian ini pasti iseng-iseng aja, orang-orang kenapa dibuat seramai ini. Saya menyelipkan apa itu ya pasti iseng. Orang-orang lihat saya dianggap monster jahat, padahal saya sendiri tidak seperti itu.

Komik yang kemudian bermasalah ini dibuat saat Desember 2016?

Jeda antara gambar dan waktu terbit itu memang lama. Desember, gambar itu sudah selesai, dan ketika Aksi 212 yang saya ikuti itu, X-Men #1 sudah dimulai pengerjaan. Total serial 1, 2, dan 3 masih saya yang kerjakan.

Hubungan dengan agensi bagaimana sesudah kontrak Anda diberhentikan oleh Marvel?

Agensi bilang ke saya kalau saya bakal sulit cari klien di Amerika. Dan saya memutuskan undur saja dari agensi, cari kerja sendiri.

Langkah ke depan bagaimana?

Saat ini saya tidak pegang komik lagi, ke depan masih belum tahu. Tawaran banyak. Ada (tawaran) tenaga pengajar, desain gambar kaos, dan lain-lain. Di komik sendiri saya sudah kenyang, mungkin sudah saatnya (berhenti).

Saya sudah hampir 10 tahun bekerja duduk menggambar sampai badan saya gemuk, kolesterol, tensi darah tinggi. Dulu padahal saya kurus. Jadi kalau balik lagi ke siklus kerjaan komik, saya masih malas.

Sebelum mengerjakan komik yang kemudian bermasalah, memang akhir-akhir ini kondisi saya pusing tanpa sebab, badan sakit-sakitan. Jadi mungkin memang sudah saatnya berhenti. Kalau dulu betah duduk lama.

Sekarang kerja efektif sekitar jam 7 pagi sampai 11 siang ketika setelah mengantar anak ke sekolah. Lalu jam 2 siang sampai 4 sore ketika anak ngaji, atau ketika anak sudah tidur malam.

Baca juga artikel terkait KOMIK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hobi
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam