tirto.id - Pada pekan-pekan awal tahun baru, resolusi lazim diucapkan. Tapi biasanya semangat dan optimisme di balik resolusi meredup pada bulan kedua dan terlupakan pada bulan berikutnya.
Anindita, 31 tahun, adalah salah seorang yang gagal menjalani resolusinya selama satu dekade terakhir. Sejak usia 20, ia selalu punya resolusi tahun baru yakni menurunkan berat badan sampai di angka yang ideal. Resolusi tersebut tak kunjung tercapai karena Anindita tidak pernah membuat rencana terperinci yang meliputi jenis makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi atau aktivitas olahraga tertentu yang perlu dilakukan agar berat badan turun secara bertahap.
Ia pun belum merasa perlu untuk berkonsultasi dengan dokter gizi yang bisa membantu memberi metode penurunan berat badan yang ideal.
Awalnya, ia cukup optimis mampu mengendalikan diri agar tidak mengonsumsi jenis makanan tertentu. Namun, dalam perjalanannya, ia gagal dan memilih melupakan resolusi. Tahun lalu ia tak mau lagi membuat resolusi. “Karena sesungguhnya resolusi ini juga merupakan masukan orangtua. Aku sendiri merasa nyaman saja seperti ini,” katanya.
Tahun ini, resolusi baru kembali terucap setelah mendengar kabar seorang kawan mengalami masalah kesehatan akibat berat badan yang tidak terkendali.
Mengapa Bisa Gagal?
Menurunkan berat badan termasuk salah satu resolusi tahun baru yang terlaris.
Pada 2016, Personality and Social Psychology Bulletin memuat hasil riset yang menyebut 55.2% resolusi tahun baru berhubungan dengan kesehatan tubuh.
Menurunkan berat badan juga jadi resolusi terlaris di negara besar seperti AS setidaknya sewindu terakhir. Pada 2012, Time melaporkan bahwa menurunkan berat badan dan punya tubuh bugar menempati peringkat pertama daftar resolusi tahun baru warga AS.
Tahun lalu, Statista mencatat bahwa menurunkan berat badan menempati peringkat ke empat daftar resolusi tahun baru para warga AS yang berusia 18 tahun ke atas. Peringkat pertama sampai ketiga adalah "lebih banyak olahraga", "makan makanan sehat", dan "menabung".
Tahun ini hasil riset Statista menyebut bahwa menurunkan berat badan masih ada di posisi keempat seperti tahun lalu. Bedanya, peringkat teratas adalah mengelola keuangan dengan lebih baik, makan sehat, dan aktif bergerak.
Selain yang terbanyak, menurunkan berat badan adalah salah satu resolusi yang tersulit direalisasikan.
Penyebabnya, orang serta merta menetapkan target tanpa perhitungan yang tepat. Dalam studi berjudul "The false hope syndrome: unrealistic expectations of self-change (2001) J. Polivy, peneliti dari Jurusan Psikologi Universitas Toronto, menyebut bahwa orang sering terjebak dalam "sindrom harapan palsu" (false hope syndrome). Mereka terlampau percaya diri dan ingin mencapai keinginan tanpa perlu membuat perencanaan detail terkait cara mencapai tujuan.
Pengamatan Polivy menunjukkan bahwa orang-orang yang hendak menurunkan berat badan, kerap kali terjebak dalam sindrom ini. Polivy merujuk pada sebuah hasil penelitan lain dari tahun 1997. Dalam penelitian yang dirujuk, 60 responden perempuan dengan berat badan berlebih diminta menentukan angka untuk sejumlah kategori ("bobot yang dikehendaki", "bobot yang membuat bahagia", "bobot yang bisa diterima", dan bobot yang mengecewakan") sebelum melakukan program penurunan berat badan.
Bagi responden, penurunan berat badan sebanyak 17 kg masih masuk dalam kategori "bobot yang mengecewakan". Penurunan berat badan sebanyak 25 kg masuk ke "bobot yang bisa diterima". Respons tersebut menunjukkan bahwa responden masih memelihara ekspektasi penurunan berat badan yang terlampau tinggi. “Mereka terlampau optimis menentukan rentang waktu penurunan berat badan dan berbagai keinginan lainnya.”
Desember tahun lalu, New York Times mencatat bahwa orang-orang yang menginginkan hasil cepat akan cenderung menyerah bila tidak mendapatkan hasil secepat yang diharapkan.
“Misalnya, orang menetapkan resolusi tahun baru lari seminggu lima hari berturut-turut. Untuk orang yang jarang lari, hal ini akan jadi aktivitas yang berat dan resolusi yang tidak efektif,” tulis New York Times.
Susan Weinschenk, pengasuh kanal Brain Wise di Psychology Today menyebutkan bahwa mewujudkan resolusi seperti hidup lebih sehat adalah aktivitas yang mesti dilakukan dengan langkah kecil.
“Olahraga lebih sering, makan lebih sehat itu tidak mudah. Yang bisa kamu lakukan adalah menetapkan kalau kamu akan jalan ⅓ kali lebih banyak dari biasanya, naik tangga di kantor, atau minum smoothie setiap hari,” kata Weinschenk.
Berikutnya, ia meminta agar pembuat resolusi mampu memastikan bahwa aktivitas baru tersebut bisa dilakukan secara berturut-turut dalam kurun waktu seminggu.
“Kita perlu mempraktikkan kebiasaan baru sebanyak 3-7 kali sampai benar-benar terprogram dalam diri kita. Catat aktivitas baru yang perlu dilakukan dan pastikan kamu bisa membaca catatan itu sesering mungkin,” lanjutnya.
Selain terukur, tulis Jen Miller dari New York Times, resolusi tahun baru juga sebaiknya konkret. Ia mencontohkan: daripada menetapkan resolusi memiliki banyak tabungan di hari tua, milenial bisa mulai dengan menyisihkan $100 per bulan.
“Resolusi juga harus benar-benar sesuai dengan diri. Andai itu dilakukan hanya untuk mengikuti kemauan sesaat, maka hal tersebut tidak akan bertahan lama. Bila kamu bikin resolusi untuk kebaikan dirimu, kamu akan mengubah struktur hidupmu dengan melibatkan pihak lain yang bisa mendukungmu mencapai tujuanmu,” kata psikiater Michael Bennett kepada Miller.
Contoh: keputusan untuk berhenti merokok. Miller merekomendasikan agar seseorang membuat catatan W.O.O.P analysis. W.O.O.P adalah singkatan dari Wish (harapan), Outcome (hasil), Obstacle (halangan), Plan (rencana). Lebih detailnya, dalam Wish, Anda akan menuliskan apa keinginan Anda. Dalam Outcome, yang memperkirakan apa yang akan terjadi dengan hidup Anda bila keinginan tercapai. Di kolom Obstacle, Anda membeberkan apa yang menghambat Anda. Terakhir, dalam Plan, Anda menulis apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan.
Dalam "Five rules from psychology to help keep your new year’s resolutions" yang dimuat di kanal The Conversation , Brian Harman, dosen kajian pemasaran di Universitas De Montfort dan Janine Bosak, dosen di kajian psikologi, Dublin City University, menyatakan bahwa resolusi bisa tercapai apabila orang tetap memandang sisi positif dari resolusi atau kebiasaan baru yang hendak dijalani, tanpa melupakan aspek negatif dari kebiasaan terdahulu.
Harman dan Bosak menyarankan untuk mengontrol resolusi atau kebiasaan baru. “Kontrol dari orang lain bisa membuat kita termotivasi. Anda bisa bergabung dengan situs seperti stickK untuk mengunggah resolusi. Kawan-kawan virtual bisa mengontrol tindakan Anda dan mengingatkan tujuan Anda.”
Hal yang juga penting, tidak perlu terlampau menyalahkan diri sendiri bila resolusi gagal. “Anggap saja kegagalan Anda sebagai data untuk membuat rencana lain yang bisa sukses di hari depan,” kata Charles Duhigg, pengarang The Power of Habit, kepada New York Times.
Editor: Windu Jusuf