Menuju konten utama
28 Januari 1949

Resolusi PBB yang Menghentikan Agresi Militer Belanda

Ketukan palu.
Tunduk serdadu pada
pungkas peluru.

Ilustrasi agresi militer II Belanda. tirto.id/Gery

tirto.id - Kurang dari sepekan setelah kemerdekaan RI diproklamirkan, Belanda datang lagi dengan membonceng Sekutu. Dimulailah babak baru dalam sejarah panjang perjuangan bangsa, yakni masa revolusi fisik atau masa mempertahankan kemerdekaan. Inilah untuk pertamakalinya rakyat Indonesia benar-benar terlibat peperangan melawan penjajah dalam satu-kesatuan negara-bangsa.

Rentetan kontak senjata pun terjadi di berbagai tempat, termasuk Jakarta, yang membuat ibukota negara terpaksa dipindah ke Yogyakarta pada awal 1946. Perundingan demi perundingan telah dilakukan, namun justru kerap direspons Belanda dengan serangan yang lebih besar, seperti dua kali agresi militer pada 1947 dan 1948.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun beberapakali turun tangan demi mendamaikan dua pihak yang terus bertikai itu. Salah satunya melalui Resolusi 67 Dewan Keamanan (DK) PBB tertanggal 28 Januari 1949, tepat hari ini 69 tahun silam, untuk menghentikan Agresi Militer Belanda II.

Memang, setelah turunnya Resolusi 67 DK PBB itu, polemik belum usai secara tuntas. Namun, setidaknya inilah pembuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya karena semakin banyak mendapatkan dukungan dari dunia internasional.

Agresi Kedua Belanda

Tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta diserang. Inilah awal Agresi Militer Belanda II. Bahkan, para petinggi RI ditawan, termasuk Sukarno (presiden), Mohammad Hatta (wakil presiden), Soetan Sjahrir (mantan perdana menteri, penasihat presiden), Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohamad Roem (Menteri Pendidikan), dan lainnya. Mereka kemudian diasingkan ke luar Jawa.

Beruntung, sebelum menjadi tawanan Belanda, Presiden Sukarno sempat mengirimkan surat kuasa kepada Syarifuddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat. Selain itu, ditugaskan pula kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan A.A Maramis yang berada di New Delhi untuk bersiap membentuk pemerintahan cadangan di India jika PDRI gagal.

Dr. Soedarsono waktu itu adalah wakil tetap RI di New Delhi, L.N. Palar merupakan perwakilan Indonesia di PBB, sementara A.A. Maramis menjabat sebagai Menteri Luar Negeri yang ditunjuk PDRI mengisi posisi Agus Salim yang ditawan Belanda.

Sementara PDRI terus berjuang mengawal eksistensi negara, ketiga tokoh itu beraksi di luar negeri untuk menggalang dukungan dari dunia internasional agar Belanda menghentikan agresi militernya serta mengembalikan para pucuk pimpinan RI yang tengah berstatus sebagai tawanan.

Rosihan Anwar (2004) dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 3 menuliskan, para delegasi Indonesia itu menghadiri sidang DK PBB di Paris pada 22 Desember 1948 (hlm. 119). Salah satu bahasan utama dalam forum ini adalah mengenai Agresi Militer Belanda II di Indonesia.

Di depan sidang, Maramis dan kawan-kawan memaparkan situasi sebenarnya yang sedang terjadi di Indonesia, bagaimana Belanda berulangkali melanggar perjanjian dengan menggelar operasi militer, bahkan hingga menawan para petinggi pemerintahan RI.

Menggalang Dukungan Dunia

Di sisi lain, Belanda juga tidak mau tinggal diam. Wakil Belanda di PBB menyatakan bahwa keadaan di Indonesia telah kembali normal, dan para pemimpin RI yang ditawan diperkenankan untuk bergerak dengan leluasa.

Namun, klaim Belanda tidak terbukti. Dua anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yakni Merle Cochran dan Thomas Critchley, yang dikirim langsung ke tempat pengasingan pada 15 Januari 1949 ternyata tidak menemukan kebenaran dalam klaim Belanda itu (Atmakusumah, Takhta untuk Rakyat, 2011:94).

Fakta tersebut membuat mata dunia terbuka bahwa Belanda menutup-nutupi apa yang sesungguhnyaterjadi. Dukungan pun mengalir untuk Indonesia, salah satunya dari Amerika Serikat –yang semula bersikap netral– yang kemudian mendesak agar segera diadakan perundingan yang lebih serius untuk mengatasi persoalan ini.

Gelombang protes terhadap Belanda juga mengalir dari negara-negara Asia. Bahkan, seperti dikutip dari buku Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968 karya Iin Nur Insaniwati (2002), negara-negara ini secara serentak menutup lapangan terbangnya bagi pesawat-pesawat Belanda (hlm. 77).

Mendapatkan angin segar, delegasi Indonesia terus bergerak. Maramis dan Palar terbang ke New York, dan bersama Dr. Soemitro Djojohadikusumo mereka membicarakan peluang kerjasama ekonomi dengan Amerika Serikat (Anwar, 2004:119).

Selanjutnya, para delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Inter-Asia di New Delhi atas undangan Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, pada 20-23 Januari 1949. Forum ini khusus membahas Agresi Militer Belanda II di Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan sejumlah negara Asia, Afrika, dan Oceania, termasuk India, Cina, Afghanistan, Arab Saudi, Irak, Lebanon, Yaman, Pakistan, Nepal, Birma (Myanmar), Thailand, Filipina, Sri Lanka, Mesir, Ethiopia, juga Australia dan Selandia Baru.

Hasilnya cukup signifikan. Forum sepakat meminta PBB agar secepatnya turun-tangan untuk mengatasi persoalan antara Belanda dan Indonesia itu. Meskipun Belanda tetap ngotot mempertahankan sikapnya, namun PBB punya pertimbangan tersendiri dan terbitlah resolusi tertanggal 28 Januari 1949 yang menguntungkan Indonesia.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/01/27/isi-resolusi-67-dk-pbb--mozaik--fuad-01_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Mozaik Isi Resolusi 67 DK PBB" /

Penjajah Akhirnya Menyerah

Resolusi DK PBB tanggal 28 Januari 1949 memuat beberapa poin penting untuk mendamaikan Indonesia dan Belanda. Yang paling penting tentu saja adalah bahwa Belanda wajib segera menghentikan semua aksi militernya di Indonesia. Sebaliknya, Indonesia harus berhenti pula melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Selain itu, DK PBB memerintahkan kepada Belanda untuk membebaskan semua tawanan politik, termasuk para petinggi pemerintahan RI, dan membebaskan mereka dalam untuk kembali menjalankan tugasnya.

Poin penting ketiga yang termaktub dalam Resolusi 67 DK PBB adalah dibentuknya United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Komisi bentukan PBB pengganti KTN ini diberi wewenang yang lebih luas untuk menghasilkan perdamaian antara Belanda dan Indonesia.

UNCI bertugas membantu memperlancar perundingan, mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum dan penyusunan Undang-Undang Dasar, juga mendesak Belanda agar segera melakukan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Juli 1949 (Insaniwati, 2002:78).

Meskipun agresi militer akhirnya dihentikan, namun Belanda sempat menolak sebagian besar isi resolusi itu, terutama datang dari Dr. Louis Beel selaku pejabat tertinggi Belanda di Indonesia sekaligus Wakil Agung Kerajaan Belanda. Inilah yang menyebabkan terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949.

Desakan dari dunia internasional yang kian kuat, dukungan PBB untuk Indonesia, ditambah pukulan telak dengan berkobarnya Serangan Umum 1 Maret 1949, membuat Belanda terpaksa membuka peluang digelarnya perundingan lanjutan, termasuk membahas kemungkinan dilakukannya penyerahan kedaulatan.

Belanda rupanya tidak berniat melawan dunia, juga ingin menghindari masalah yang lebih pelik dengan PBB. Maka, Kerajaan Belanda bersedia menggelar perundingan yang nantinya dikenal dengan nama Konferensi Meja Bundar atau KMB (Julius Pour, Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer, 2009:320).

Bermula dari dukungan dunia internasional yang menghasilkan Resolusi DK PBB hingga rangkaian kejadian penting lainnya yang berpuncak dengan digelarnya KMB, Belanda akhirnya resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia secara penuh pada 27 Desember 1949.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->