Menuju konten utama

Reklamasi Jakarta: Kisruh Panjang Pulau Buatan

Reklamasi atau pengurukan Teluk Jakarta jalan terus meski kontroversial. Gubernur Ahok menganggap reklamasi dilandasi fondasi hukum kuat, yakni Keppres No.52 tahun 1995 yang diputuskan oleh Presiden Soeharto. Tapi karena tak didasari perda tentang zonasi dan tata ruang pesisir, perizinan itu dianggap menyalahi peraturan. Koalisi LSM dan nelayan menggugat perizinan itu.

Reklamasi Jakarta: Kisruh Panjang Pulau Buatan
Foto udara suasana proyek pembangunan reklamasi teluk jakarta di pantai utara jakarta, Antara foto/Andika Wahyu

tirto.id - Jika Anda bertandang ke pemukiman Pantai Indah Kapuk, sempatkanlah menengok ke daratan di seberang garis pantai yang tersambung oleh jembatan. Di atas tanah itu akan dibangun hunian dengan nama Golf Island. Dari informasi penawaran di situs www.golfisland-pik.com, rumah di daratan anyar itu dibanderol mulai Rp 2,85 sampai Rp 9,5 Miliar.

Untuk rumah-kantor tentu lebih mahal. Anda setidaknya perlu merogoh kocek Rp 5,6 Miliar untuk memilikinya. Ingin yang menghadap pantai? Bisa. Asal Anda menyiapkan Rp 11 M sebagai penebusnya. Menurut pihak marketing yang tertera pada situs, rukan sudah bisa tersedia fisiknya pada akhir tahun ini, lebih cepat dibanding rumah hunian yang baru selesai dua tahun lagi.

Daratan yang tersambung dengan Pantai Indah Kapuk dan akan dibangun hunian mewah itu adalah Pulau D, satu dari tujuh belas pulau buatan dalam program reklamasi Teluk Jakarta. Bersama Pulau C, pulau ini sudah mendapat izin untuk dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah sejak era Gubernur Fauzi Bowo. Kedua pulau itu pun sudah direklamasi lebih dulu oleh anak perusahaan PT Agung Sedayu itu. Google Earth pun telah menangkap citra tanah coklat urukan itu dari udara.

Selain Pulau C dan D yang izinnya terbit pada era Fauzi Bowo, ada beberapa pulau lain yang sudah mendapat izin dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Tapi, yang dapat diakses publik hanya izin pelaksanaan reklamasi untuk pulau-pulau F, G, I, dan K yang dikeluarkan pada 2014 dan 2015.

Bagian teluk lain yang sedang diuruk saat ini adalah Pulau G di dekat muka Muara Angke, serta Pulau N di seberang Pelabuhan Tanjung Priok. Selain yang sedang dalam proses reklamasi, ada pula bakal pulau yang sudah mengantongi izin prinsip tapi belum punya izin pelaksanaan. Dari total pulau bernama alfabet A sampai Q, ada 10 pulau yang sudah mengantongi izin, yakni pulau C, D, E, F, G, H, I, K, L, dan N. Tujuh sisanya belum mendapat izin.

Perizinan Sumir

Selama ini perizinan yang diberikan dianggap sumir karena tidak didasari peraturan daerah tentang zonasi dan tata ruang pesisir yang seharusnya jadi payung hukum penataannya. Pada 17 Maret 2016, peraturan daerah yang sedianya mengatur zonasi wilayah perairan dan pulau-pulau kecil lagi-lagi tak bisa disahkan dalam DPRD DKI. Karenanya, perda turunan yang mengatur tata ruangnya pun tak bisa dibahas.

Perda tak jadi disahkan karena sidang tak memenuhi syarat kuorum sebesar 2/3 dari 106 anggota DPRD. Legislator ibukota yang hadir saat itu hanya 50 orang. Fraksi seperti PPP dan Golkar bahkan tak diwakili anggotanya satu pun. Fraksi lain seperti Demokrat/PAN dan Nasdem hanya dihadiri masing-masing satu orang. Mayoritas anggota fraksi PDI Perjuangan pun tak ada yang datang.

Perda ini memuat perkara penataan zona reklamasi sehingga dianggap akan memuluskan pengurukan laut. Meski pengesahaan raperda batal, Gubernur Ahok bersikukuh melanjutkan kebijakannya. Bagi Ahok, perda tak memengaruhi proses reklamasi yang sedang berlangsung.

Sejak awal, Ahok memang menganggap reklamasi sudah dilandasi fondasi hukum kuat, yakni Keppres No.52 Tahun 1995 yang diputuskan oleh Presiden Soeharto. Ini juga pokok yang kemudian jadi bahan sengketa di pengadilan usaha tata negara. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang terdiri dari KNTI, Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, YLBHI, KPI, ICEL, Kiara, WALHI, dan IHCS, menggugat pemerintah provinsi karena menerbitkan izin sedangkan peraturan daerah yang mengaturnya tidak ada.

Tigor Hutapea, advokat dari kelompok penggugat menegaskan, Presiden SBY pernah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 54 pada 2008, yang menyatakan keppres era Soeharto sandaran Ahok itu tak berlaku. Koalisinya lantas menganggap Ahok tak punya dasar hukum menerbitkan perpanjangan izin prinsip reklamasi pada 2014, yang sebelumnya dikeluarkan Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo pada 2012. “Dari perpanjangan izin prinsip itu, keluarlah izin-izin (pelaksanaan) reklamasi lainnya, salah satunya yang kita gugat ini Pulau G,” kata Tigor.

Mencermati proses gugatan yang baru sampai tahap penyampaian keterangan saksi-saksi, jalan koalisi ini di meja hijau tampaknya masih panjang. Tapi itu bukan hal baru. Sebelumnya, yang bersengketa pelik soal ini di ranah hukum adalah instansi pemerintahan, yakni Kementerian Lingkungan Hidup melawan perusahaan pengembang reklamasi. Sengketa itu berlangsung selama 8 tahun.

Keberatan Instansi Pemerintah Lain

Drama antar-instansi di meja hijau itu dimulai setelah Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan keputusan terkait reklamasi pantai utara Jakarta pada 2003. Surat keputusan yang ditandatangani Menteri Nabiel Makarim ini keras. Isinya menyatakan rencana kegiatan reklamasi pantai utara Jakarta tak layak. Semua instansi yang berwenang pun diwajibkan menolak permohonan izin usaha dan kegiatan terkait reklamasi.

Enam perusahaan pengembang reklamasi tak mau terima diktum Kementerian Lingkungan Hidup itu. Perusahaan-perusahaan yang terdiri dari Bakti Era Mulia, Taman Harapan Indah, Manggala Krida Yudha, Pelabuhan Indonesia II, Pembangunan Jaya Ancol, dan Jakarta Propertindo, lantas menggugat pihak kementerian lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengadilan negeri dan tinggi mengabulkan gugatan, dan meminta kementerian mencabut Kepmen LH No.14 Tahun 2003.

Menanggapi putusan PTUN yang memenangkan para penggugat, kementerian tak tinggal diam. Instansi ini mengajukan kasasi di Mahkamah Agung yang berujung kemenangan mereka pada 2009. Putusan berkekuatan tetap (in kracht) ini otomatis membatalkan keputusan pengadilan di bawahnya yang memenangkan pengusaha pengembang reklamasi.

Tapi perusahaan pengembang melawan balik. Empat perusahaan, yakni PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jakarta Propertindo, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan tetap itu. Mereka berpendapat keputusan menteri tak bisa menganulir keputusan presiden yang dikeluarkan pada era Soeharto, yakni Keppres No.52 Tahun 1995. MA, ajaibnya, mengakui putusan mereka sebelumnya salah dan mengabulkan peninjauan kembali bernomor 12 PK/TUN/2011 itu.

Dari sengketa meja hijau di atas, Kementerian Lingkungan Hidup tampak bersikukuh menolak reklamasi. Apa yang menjadi musabab Menteri Nabiel Makarim di bawah Presiden Megawati mengeluarkan keputusan itu?

Kajian kementerian ini menunjukkan beberapa risiko yang bisa terjadi akibat mereklamasi teluk Jakarta. Salah satunya, urukan pulau buatan bisa menambah banjir rob di daerah pesisir. Selain itu, reklamasi yang membutuhkan bahan urukan sebanyak 330 juta meter persegi ini akan menyebabkan dampak di daerah yang tanahnya diambil.

Jika tanah diambil dari pedalaman atau wilayah darat, maka akan terjadi dampak di tempat tanah diambil. Juga akan ada akibat dari pengangkutan bahan urukan tersebut. Bila bahan urukan diambil dari pasir sepanjang pantai, kerusakan pantai juga bisa terjadi. Dari data kajian itu disebutkan, pasir rencananya memang diambil dari pantai utara Pandeglang yang ada di barat, sampai pantai utara Losari, Indramayu di sebelah timur.

Ini belum memasukkan kerugian lain yang bisa diderita instansi teknis lain seperti PLN yang punya pembangkit di Muara Karang. Hasil kajian gangguan di PLTU Muara Karang menunjukkan proses reklamasi menyebabkan suhu air yang masuk kanal intake mengalami kenaikan. Suhu standar air yang biasanya ada di kisaran 30°C naik menjadi 35,7°C. Hal itu bisa menyebabkan penurunan efisiensi mesin pembangkit.

Reklamasi juga bisa tumpang tindih dengan jaringan bawah laut. Di Muara Karang, ada beberapa jaringan yang juga bermuara ke laut. Jaringan-jaringan itu adalah kabel optik milik Indosat, pipa-pipa PLN, serta pipa gas yang dimiliki Pertamina.

Dampak terakhir tentu saja yang paling menyentuh warga ibukota di pesisir sendiri. Nelayan hampir dipastikan kehilangan mata pencahariannya karena wilayah tangkapan mereka diuruk pasir. Inilah salah satu pasal yang menyebabkan pemerintah provinsi sempat bersitegang dengan menteri kelautan dan perikanan, khususnya Menteri Susi Pudjiastuti.

Pada April 2015, Susi pernah menyatakan agar proyek reklamasi ditunda dulu jika Pemprov DKI belum bisa menyediakan wilayah dengan kapasitas penampungan air sejumlah volume yang diuruk di laut.

"Kalau kompensasi itu tidak dilaksanakan, maka wilayah Jakarta bisa terendam banjir. Bahkan, kalau memang DKI belum mampu membangun banyak daerah tampungan air, maka sebaiknya rencana reklamasi 17 pulau itu ditunda saja dulu," kata Susi. Itu penting supaya Jakarta tak tambah banjir.

Susi juga sempat menegaskan bahwa reklamasi perlu memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar. Seperti dilansir Antara (14/11/2015), kepentingan umum itu bisa saja untuk membangun perumahan untuk masyarakat, taman, pelabuhan dan tempat rekreasi. Menteri KKP ini juga menekankan agar reklamasi tidak membuat ada pihak yang dirugikan.

Saat ditanya lagi perkara yang sama pada 17 Maret lalu, suara Susi tetap senada meski tak lagi frontal. Menteri yang tadinya pengusaha ikan ini tetap berharap reklamasi Teluk Jakarta dilaksanakan setelah semua aturan dipenuhi dan dampak lingkungannya sudah diantisipasi. Pihaknya juga mempertanyakan izin reklamasi Teluk Jakarta yang sudah dikeluarkan, sebab tidak ada koordinasi dengan kementeriannya sebelum izin dikeluarkan. "Belum ada koordinasi dari pemprov soal reklamasi," katanya.

Ketika diminta menjawab keberatan KKP, nada suara Ahok meninggi. “Dia pakai prosedur lama, kalau pakai prosedur yang baru ya harus membatalkan keputusan presiden tahun 1995. Bisa tak menteri batalin keppres? Tidak bisa!” serunya.

Ahok juga meradang karena KKP dianggap tidak bersuara soal Pulau N yang sudah direklamasi dan menjadi New Tanjung Priok. “Kalau Bu Susi menganggap reklamasi salah, bongkar nggak pulau N? Bongkar dong! Tapi kok diam semua pulau N tidak ada yang bongkar, tidak ada yang ribut?”

Gubernur ini terus meluapkan kekesalannya sampai ia ditanya nasib warga nelayan di sepanjang pesisir utara Jakarta. Sayang, Ahok menepis pertanyaan itu dan memilih pergi. Hari esok nelayan Jakarta tampaknya masih tak tentu meski periuknya sudah jelas diuruk pasir, depa demi depa. Kepastian nasibnya seperti bertukar dengan bakal hunian di Golf Island yang sudah dipasarkan saat pengurukan tanahnya belum selesai benar. [Rej/Adi]

Berita Terkait:

Mereka Yang Bakal Tergusur Reklamasi

"Jokowi Harus Cabut Keppres Reklamasi"

Baca juga artikel terkait TELUK BENOA atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Maulida Sri Handayani, Aditya Widya Putri & Reja Hidayat
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti