Menuju konten utama

Red Baron, Pilot yang Dimakamkan Secara Hormat oleh Musuh

Kisah Manfred von Richthofen si Red Baron termasuk kisah pilot yang paling dikenang. Dia pernah menjadi momok Inggris, dkk dalam Perang Dunia I.

Red Baron, Pilot yang Dimakamkan Secara Hormat oleh Musuh
Thiene, Vicenza - Italia. 26 Juli 2015: Pertunjukan udara FlighThiene di Thiene, bandara dekat Vicenza. Menampilkan pesawat terbang bersejarah, Red triplane Fokker DR-1

tirto.id - Dua pesawat pesawat Sopwith F.1 Camel milik sekutu Inggris ditembak jatuh di waktu berdekatan. Hari itu 20 April 1918. Salah satu pilot dari dua pesawat yang bernama Mayor Richard Raymond-Barker MC tewas, sementara pilot lainnya Letnan Dua David Greswolde Lewis tertawan di wilayah Jerman.

Kedua pilot itu dipecundangi pilot pesawat bersayap tiga dan berwarna merah yang dipiloti Rittmeister Manfred von Richthofen, dikenal sebagai Red Baron. Pesawat yang dikendarai Richard Raymond-Barker dan David Greswolde Lewis adalah korban ke-79 dan 80 dari Red Baron, yang baru 1,5 tahun menjalani masa jaya sebagai pilot perontok musuh yang disebut Ace pada perang udara di Perang Dunia Pertama.

Red Baron terlahir dari keluarga ningrat Prusia yang membuatnya dekat dengan militer. Ayahnya Albrecht Philipp Karl Julius Freiherr von Richthofen, adalah perwira militer juga. Olahraga kaum ningrat seringkali tak jauh dari unsur militer dan perang. Menurut William E. Burrows dalam Richthofen: A True History of the Red Baron (1970), dia suka menunggang kuda dan berburu. Bersama kedua adiknya, Lothar dan Bolko, mereka biasa berburu babi liar, burung, dan rusa.

Selesai pelatihan kadet di tahun 1911, di usia 19 tahun, dia bergabung dalam Resimen Kavaleri Uhlan, sebuah pasukan berkuda yang bersenjata tombak, pedang, juga pistol. Ketika Perang Dunia Pertama baru berkecamuk, Manfred menjadi perwira pengintai kavaleri. Di awal perang, dia bosan dan akhirnya pindah ke jawatan udara militer Jerman. Pasukan berkuda makin kurang berperan dalam pertempuran setelah memasuki abad XX.

“Pada 10 Juni 1915 aku datang ke Grossenhain. Di situ aku akan maju ke front [pertempuran]. Aku sangat ingin maju [ke daerah lawan] secepatnya. Aku takut datang terlambat, perang dunia ini bisa keburu berakhir. Aku harus menghabiskan tiga bulan [pelatihan] untuk menjadi pilot [...] Tak pernah terpikir olehku untuk menjadi pilot. Aku bayangkan, kerana pelatihan sebagai kavaleri, aku akan menjadi pengamat. Aku senang, setelah pengalaman terbang dua minggu, aku diterjunkan,” aku Manfred dalam jurnal pribadi yang dibukukan dalam Richthofen: The Red Fighter Pilot.

Manfred sempat dikirim misi pengintaian ke Rusia. Dia bersama Mackensen menembus polisi Rusia di Gorlice. Setelah latihan terbangnya, di usia 23 tahun, dia dikirim ke Skuadron 69. Di situ, ia menjadi pemula yang merasa bodoh. Bagi Manfred, kehidupan di korps penerbangan militer tak jauh beda dengan kavaleri. Ia menjadi pengamat dalam misi penerbangan. Menurut Peter Kilduff, dalam The Red Baron: Beyond the Legend (1994), sekitar Februari 1916, Lothar, adiknya, pindah pula ke pasukan udara Jerman.

“Di Hari Natal 1915, aku lulus ujian ketiga, Aku terbang ke Schwerin di mana rancangan buatan Fokker berada [...] Bulan Maret 1916, aku bergabung dengan di skuadron tempur kedua sebelum [pertempuran] Verdun dan belajar bagaimana mengendalikan pesawat tempur. Aku terbang dengan pesawat bertempat duduk ganda.”

Tahun 1916 tampak suram bagi pasukan udara Jerman. Pada 18 dan 19 Juni, armada udara Jerman telah kehilangan Max Immelmann dan Hauptmann Ernst Freiherr von Gersdorff. Di akhir tahun, guru terbang Red Baron yang bernama Oswald Boelcke juga gugur.

Meski kelabu, di tahun itu Red Baron menjatuhkan korban pertamanya, pesawat pengintai FE 2b milik Royal Air Force (RAF) alias Angkatan Udara Inggris, pada 17 September 1916. Sebetulnya, pada 26 April 1916 di Verdun, dia menembak jatuh pesawat Nieuport milik Perancis, tapi hal itu tidak diakuinya.

Setelah merontokkan 16 pesawat lawan, dia dianugerahi Pour le Mérite (the Blue Max) pada Januari 1917. Sejak menjadi komandan skuadron, dia mengecat pesawatnya dengan warna merah. Manfred yang telah menaikkan moral tempur tentara Jerman itu menjadi komandan skuadron dengan pangkat rittmeister (kapten kavaleri berkuda).

Manfred, sebagai musuh Perancis dan Inggris, mengaku lebih menyukai bertempur melawan pesawat Inggris ketimbang Perancis. “Semangat bertempur Perancis seperti botol limun, yang tidak memiliki keuletan.” Orang Inggris, yang menurutnya punya darah Jerman, dianggap lebih pemberani ketimbang Perancis.

Meski terkenal dengan pesawatnya yang berwarna merah dan bersayap tiga, dia lebih banyak memakai pesawat Albatros D.III. Menurut Jon Guttman dalam Pusher Aces of World War 1 (2009), dia menerbangkannya dan menembaki lawan dengan pesawat itu sejak Januari 1917. Namun, pada 24 Januari dia kembali menerbangkan Albatros D.II selama lima minggu. Dia sempat menerbangkan Hilberstadt, tapi tangki bahan bakarnya tertembak oleh Edwin Benbow. Tiga hari kemudian dia menerbangkan lagi Albatros D.III.

Setelah terluka di bulan Juli, barulah dia menerbangkan Fokker Dr.I bersayap tiga. Pesawat itu adalah rancangan pesawat legendaris dari Red Baron. Pesawat-pesawat yang pernah diterbangkannya adalah rancangan Anthony Herman Gerard Fokker. Ahli pesawat Belanda kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini adalah pendiri produsen pesawat Fokker. Pesawat lainnya di skuadronnya pun menyusul merahnya.

INFOGRAFIK RED BARON

Sehari setelah menembak jatuh dua buah pesawat Sopwith F.1 Camel, Manfred memulai hari dengan mengelus Moritz, anjing kesayangannya. Setelah itu dia naik pesawat. Setelah baling-baling di moncong pesawat berputar, pukul 10.15 pagi, ia bersama Fokker Dr.I lepas landas dari pangkalannya. Tujuannya Sailly-le-Sec, lembah Somme, Perancis. Dia memimpin pesawat-pesawat Jerman lainnya. Mereka berpatroli mencari mangsa.

Di tempat lain, Letnan Wilfred May (23 tahun) dan Kapten Roy Brown (24 tahun), juga lepas landas dari Bertangles, Perancis. Kedua pilot asal Kanada itu diperbantukan bersama skuadron 209 Angkatan Udara Inggris. Seperti Manfred Red Baron, kedua pilot itu juga sohor.

Ketika mereka sedang terbang rendah di sekitar Perancis. Bersama mereka, ada pilot-pilot yang masih hijau. Pesawat-pesawat Jerman itu menghampiri mereka. Ini adalah pertama kalinya May bertempur. May semula memburu salah satu pesawat Jerman, yang ternyata dipiloti Wolfram von Richthofen, sepupu Manfred yang belakangan jadi Jenderal Mayor Angkatan Udara Jerman era Hitler. Ketika menarik picu senapan mesin, ternyata senapan mesinnya macet. Dia pun memilih mundur. Sial, dia dikejar sebuah pesawat.

Rupanya, Manfred si Red Baron melihat pesawat May memburu pesawat sepupunya. Manfred pun memburu May. Ketika May dikejar pesawat Red Baron ternyata diintai Roy. Red Baron yang asyik mengintai pesawat May tak peduli pada pesawat Roy yang makin mendekat dari belakang. Posisi pesawat Roy lebih tinggi daripada Red Baron. Ketika itu, Red Baron hanya mendekati pesawat May, tapi tak langsung menembaki May.

Tanpa menunggu, Red Baron menembak May, Roy yang berada di belakang Red Baron pun melepaskan rentetan tembakan. Kabin dan mesin Fokker Dr.I yang ditunggangi Red Baron kena dan terbakar. Begitulah yang ditulis Hayden McAllister dalam bukunya Flying Stories (1982). Pesawat itu jatuh dan hancur di wilayah lawan, Morlancourt Ridge, Perancis. Di wilayah yang kala itu di bawah pendudukan Tentara Australia itu, Manfred si Red Baron kemudian tewas.

Esok harinya, 22 April 1918, Red Baron pun dimakamkan dengan penuh penghormatan di wilayah oleh pihak lawan di Bertangles. Enam orang Kapten udara Australia memikul peti jenazahnya. Sebuah baling-baling moncong pesawat dijadikan penanda kuburnya. Setelah petinya turun ke liang lahat, tak lupa seregu tentara Australia memberi tembakan salvo bagi Manfred si Red Baron yang mati muda di usia dua puluh lima. Di antara pilot di seluruh dunia, Red Baron termasuk yang paling dikenang lewat buku dan juga film.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani