tirto.id - Jujur saya terkejut ketika mengetahui bahwa rawon, hidangan kuah hitam khas Jawa Timur yang menjadi makanan favorit saya itu sudah hidup 1.000 tahun lamanya. Dalam berbagai catatan yang tersebar maya, rawon tertulis dalam prasasti Taji yang berasal dari tahun 902 Masehi. Di situ tertulis ‘Rarrawan’ yang ditafsir menjadi asal muasal rawon hari ini. Prasasti itu ditemukan di salah satu bukit di Jawa Timur dan bahkan dibuat sebelum Kerajaan Kediri berdiri, yang berarti rawon sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram Kuno.
“Dikirimi rawon e Emak a?” pesan ibu via WhatsApp.
Menjelang Ramadan biasanya Ibu mengirimi saya bumbu rawon buatan nenek dari Malang. Kenapa dikirimi bumbu rawon? Bukannya ada, tanpa saya harus mengatakan banyak, penjaja rawon di Bandung? Nenek saya, yang biasa kami panggil emak itu, meyakini bahwa kluwek yang menjadi kunci bumbu rawon hanya dijual di sekitaran Malang saja. Padahal kluwek atau keluak ini tersedia juga di luar Jawa Timur, meski mungkin saja harganya lebih mahal dan terbatas karena faktor ketersediaan dan distribusi.
Kalau bumbu rawon itu sudah tiba di Bandung, tentu saja saya yang paling berbahagia. Bagi saya, menyantap rawon sama halnya dengan mengingat kampung halaman. Di Malang, hampir tiap sudut kota memiliki rawon andalannya sendiri. Bahkan kalau kita mencari rekomendasi dengan bantuan AI (Artificial Intelligence) sekalipun, mesin itu akan memberikan sedikitnya 5 pilihan. Mulai dari yang dekat stasiun, di salah satu persimpangan jalan, di dalam pasar tradisional, sampai yang dekat dengan kuburan pun ada. Kita bisa menemukan penjual rawon yang buka dari pagi ke sore, sampai yang buka dari malam hingga pagi lagi.
Singkatnya, jika di kota-kota besar biasanya tampilan Google Maps penuh dengan ikon tempat ngopi, di Malang isinya penuh dengan titik warung rawon.
Siapa pun yang pernah makan rawon pasti tahu, makan rawon kurang lengkap tanpa lauk pendampingnya. Bukannya apa pun makanannya, cukup kerupuk temannya? Meski pernyataan itu benar adanya, para penjual rawon tetap menyodori konsumennya dengan berbagai pilihan penganan pendamping. Mulai dari telor asin, tempe, perkedel, hingga mendol. Nah, untuk yang terakhir itu memang jarang ditemui di luar Malang. Mendol merupakan panganan olahan tempe semangit yang dilumatkan, lalu dicampur dengan beberapa rempah, lanjut dikepal-kepal pakai tangan, kemudian digoreng hingga kecokelatan. Rasanya seperti menyantap tempe, tapi dengan rasa gurih dan pedas.
Berikutnya perihal pilihan daging dalam sepiring sajian rawon. Penjual daging di pasar tradisional biasanya sudah punya kategori tersendiri seputar daging rawon ini. Kita tinggal sebut, mereka akan memberikan daging sapi dalam format potongan-potongan kecil yang biasa kita masak untuk tongseng, soto, atau rawon. Pun kalau kita membelinya secara online. Tinggal kita tulis daging rawon, pilihannya pun beragam: dari yang biasa hingga premium, tapi selalu dalam bentuk terpotong kecil-kecil. Daging sapi yang sudah dipotong kecil-kecil itu biasanya diambil dari bagian sengkel, iga, sandung lamur, dan tetelan.
Soal rasa, menurut saya rawon punya tiga profil rasa yang sulit untuk dilupakan, yaitu manis, gurih, dan legit. Gabungan bumbu-bumbu khas Nusantara, seperti daun salam, sereh, kencur, kunyit, lengkuas, daun jeruk, cabai rawit, bawang putih, merica, jinten dan keluwek dalam takaran yang pas menghadirkan ketiga profil rasa itu secara bersamaan di tiap-tiap suapan kuahnnya. Namun, ada satu bahan lagi yang menurut saya menjadi penyempurna ketika sepiring rawon siap disajikan, yakni tauge ekor pendek. Tauge atau kecambah pendek ini menyempurnakan rasa rawon dengan memberikan tekstur rasa renyah dan segar saat menyantapnya.
Mazhab Santap Rawon
Usia panjang seputar sejarah rawon yang sudah membentang satu milenium tahun itu tidak terasa lengkap kalau tidak membahas cara menyantapnya. Sama halnya dengan bubur yang terbagi atas tim diaduk dan tim dipisah, rawon pun begitu. Ada kubu kuah campur dan kuah pisah. Saya jelas kuah campur. Dan Itu juga yang membuat istri saya keheranan. Bisa jadi karena istri saya berasal dari Tanah Sunda yang sayur asemnya pun dihidangkan terpisah dengan nasi, alias disajikan dalam mangkok kecil alih-alih bercampur dalam satu piring nasi.
Sementara saya yang asli Malang ini, terbiasa dengan sepiring nasi bercampur dengan kuah apa saja, mulai dari soto, lodeh, bayam, sop, gule hingga rawon.
“Glombyaran a Le?” Demikian emak saya biasanya bertanya, merujuk pada kuahnya banjir atau tidak. Pilihan lainnya ada nyemek, yang kadar kuahnya lebih sedikit, dan cukup sebatas membasahi nasinya saja.
Di Jawa Timur, sebenarnya tidak semua rumah makan menghidangkan rawon dalam format kuah campur. Seringnya mereka memberikan pilihan, mau kuah campur atau pisah. Tapi kalau mereka tidak memberikan pilihan, sudah pasti kuahnya dicampur dengan nasi. Dan cara mengkhidmati rawon campur pun beragam. Sebut saja Pecel Rawon di Banyuwangi, yang bukan saja menyatukan nasi dengan kuah rawon, tetapi juga mencampurnya dengan bumbu pecel,lengkap dengan rempeyek di atasnya.
Raihan Adam (25), kawan saya yang lulusan sekolah masak terkenal di Bandung, ternyata lebih terbiasa menyantap rawon terpisah dengan nasinya. Baginya, hidangan nasi yang berkuah memang lebih sedap bila disajikan secara terpisah untuk menghindari nasi menjadi benyek atau lembek karena terendam dalam kuah terlalu lama.
Dengan begitu, apakah kuah campur berarti buruk? Tentu saja tidak. Bahkan menurut Adam, kuah di masakan Nusantara punya fungsi sebagai pemersatu seluruh cita rasa sehingga menghadirkan harmoninya tersendiri. Seakan-akan, nasi adalah semacam kanvas putih yang diguyur oleh berbagai rasa gurih, sehingga darinya menguar rasa yang luar biasa. Itulah yang dibayangkan Raihan ketika mendapati ada hidangan semacam pecel rawon.
Mari kembali pada rawon emak saya yang sudah menjadi tradisi di keluarga kami.
Sepiring lengkap nasi rawon emak biasanya dihidangkan bersama setengah iris telor asin, mendol, dan ditutup dengan kerupuk udang dan kuah glombyaran. Seluruh sajian tersebut akan tampak berenang-renang dalam kuah hitam rawon yang mengepulkan asap hangat. Adapun rahasia gurihnya rawon menurut emak ialah dengan memasaknya dalam panci besar. Kenapa demikian?
“Karena semakin lama rawon itu diinapkan, rasanya akan semakin gurih, dagingnya juga makin empuk.”
Pada akhirnya, sama dengan berbagai kisah masakan dan penganan Nusantara lainnya, rawon bukan sebatas sajian, tetapi juga jejak kisah perjalanan kenangan atas keluarga dan kampung halaman. Dan andai saja penyair Chairil Anwar yang patungnya ada di salah satu sudut kota Malang dikaruniai umur panjang, mungkin ia bakal berucap, “ Aku mau rawon hidup seribu tahun lagi!"
Penulis: Fitra Ananta Sujawoto
Editor: Nuran Wibisono