tirto.id - Sebuah lereng bukit di Regent, sebuah kota pegunungan berjarak 15 mil di sebelah timur Freetown, ibu kota Sierra Leone, ambruk pada Senin (14/8/2017) dini hari waktu setempat setelah hujan deras. Peristiwa ini membuat ratusan orang terjebak dalam longsoran itu.
Sementara kamar mayat di rumah sakit Freetown telah penuh sesak, para kerabat terus menggali lumpur untuk mencari jenazah.
Hingga saat ini korban tewas belum dikonfirmasi. Namun, Federasi Palang Merah Internasional melaporkan bahwa 312 telah tewas dan lebih dari 1.000 orang terkena dampak bencana tanah longsor ini. Petugas penanggulangan bencana di Sierra Leone memperkirakan 2.000 orang kehilangan tempat tinggal.
"Kemungkinan ratusan orang terbaring mati di bawah reruntuhan," kata Victor Foh, Wakil Presiden Sierra Leone, mengatakan kepada Reuters di tempat kejadian tanah longsor di Regent, menambahkan bahwa sejumlah bangunan telah dipasang secara ilegal di daerah tersebut.
"Bencana yang sangat serius sehingga saya sendiri merasa hansur. Kami mencoba untuk mengawal [area] [dan] mengevakuasi orang-orang," katanya melanjutkan.
Seorang wartawan Agence France-Presse melihat mayat-mayat terbawa hanyut dan rumah-rumah di dua wilayah kota terendam lumpur, jalan-jalan pun berubah menjadi sungai yang meluap.
Kelfa Kargbo, direktur organisasi Street Child di Sierra Leone, yang membantu pemulihan bencana, mengatakan bahwa tanah longsor terjadi pukul 03.00 pagi ketika hujan lebat menutupi Freetown dan menjatuhkan semua rumah yang dibangun di sisi bukit di Regent.
"(Peristiwa longsor) itu memiliki efek domino hingga jarak sekitar dua mil. Lumpur yang ambruk mengubur orang-orang hidup-hidup, menimbun rumah, menjatuhkan bangunan-bangunan besar," kata Kargbo.
Sepanjang hari Senin, pencarian mayat terus dilakukan oleh penduduk, pekerja darurat, dan militer.
Street Child menyatakan bahwa tidak ada orang yang selamat setelah dilakukan penggalian sejak jam 07.00 pagi. Kargbo mengatakan, "Perusahaan konstruksi telah membawa mesin pengolah tanah mereka untuk membantu menggali jenazah. Tidak ada peralatan. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dan Sierra Leone tidak siap menghadapi malapetaka semacam itu."
Palang Merah dan pemerintah memindahkan mayat-mayat tersebut ke sebuah pangkalan induk di rumah sakit Connaught di Freetown. Keluarga telah diminta untuk mengidentifikasi mayat, namun sebagian besar terus mencari korban selamat.
"Daripada pergi dan mengidentifikasi mayat, mereka menggali mayat untuk melihat mungkin akan ada beberapa orang yang masih hidup di sana. Tidak ada pemakaman yang terjadi saat ini, " kata Kargbo seperti dilansir dari The Guardian.
"Ini sangat mengerikan karena beberapa mayat hanya ada kaki tanpa tubuh. Beberapa hanya bisa ditemukan kepalanya. Ini sangat mengerikan. "
Mohamed Sinneh, seorang teknisi di rumah sakit Connaught, mengatakan setidaknya 180 mayat telah diterima, banyak di antaranya adalah anak-anak. Bahkan tempat itu sampai tidak dapat menyisakan tempat untuk meletakkan jenazah karena masifnya jumlah korban. Lebih banyak mayat dibawa ke kamar mayat pribadi, katanya.
Penyiar televisi Sierra Leone nasional menyela pemrograman regulernya untuk menunjukkan adegan orang yang mencoba merebut kembali mayat orang yang mereka cintai. Gambar yang dibagikan oleh media lokal juga menunjukkan orang-orang yang terendam hingga bagian pinggang berusaha menyeberang jalan-jalan yang sudah diluapi sungai.
Fatmata Sesay, warga yang tinggal di daerah puncak bukit Juba, mengatakan bahwa dia, ketiga anaknya, dan suaminya terbangun pada pukul 04.30 waktu setempat dengan hujan yang mulai merendam rumah mereka dengan lumpur. Dia berhasil melarikan diri dengan memanjat ke atap. "Kami telah kehilangan segalanya dan kami tidak memiliki tempat untuk tidur," katanya kepada AFP.
Tom Dannatt, CEO Street Child, telah meluncurkan sebuah permohonan darurat untuk mendukung korban yang terkena dampak. "Tindakan mendesak dibutuhkan," katanya. "Jumlah korban tewas saat ini meningkat menjadi lebih dari 300 dan lebih dari 300 rumah telah hancur. Komunitas ini membutuhkan bantuan kita. "
Bakal calon presiden, John Bonoh Sisay, mengatakan: "Perhatian dan doa saya menyertai mereka yang terkena dampak banjir yang berat di daerah sekitar Freetown. Karena layanan darurat terus mengambil langkah untuk menjangkau dan membantu semua orang yang rentan, saya mendorong semua orang di daerah yang terkena dampak untuk tetap aman dan tenang selama masa sulit ini. Kami berdiri bersama sebagai sebuah negara dan memenangkan pertarungan melawan Ebola. Bersama-sama, kita akan mengatasi ini juga. "
Banjir adalah ancaman tahunan di Sierra Leone, dimana perumahan yang tidak aman secara teratur tersapu selama musim hujan. Di ibukota pada tahun 2015, banjir telah menewaskan 10 orang dan menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
"Ada sedikit hingga tidak ada perencanaan kota yang terjadi di kota ini bagi semua lapisan masyarakat," kata Jamie Hitchen, dari Africa Research Institute. "Pemerintah gagal menyediakan perumahan bagi masyarakat termiskin. Ada defisit perumahan kronis di kota ini dan isu-isu tersebut hanya dibahas setiap tahun saat banjir terjadi dan ini menjadi sorotan," ujarnya
Abdul Tejan-Cole, mantan komisaris komisi anti-korupsi Sierra Leone, men-tweet: "Banjir sekali lagi menunjukkan perencanaan yang buruk dan kurangnya sistem manajemen darurat nasional."
Sementara itu, PBB di Sierra Leone mentweet bahwa pihaknya "meninjau kerusakan dan menyiapkan respons." Komisioner tinggi Inggris di Sierra Leone, Guy Warrington juga menuliskan cuitan: "Perhaitan saya bersama orang-orang Salone pada saat yang sulit ini."
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari