Menuju konten utama
Periode Pertama Jokowi

Rapor Merah Neraca Dagang RI: Siapa Menteri yang Diganti Jokowi?

Neraca dagang Indonesia mengalami tekanan cukup besar di akhir periode pertama Jokowi. Ekonom menilai kondisi ini bukanhanya imbas dari kondisi ekonomi global, melainkan juga salah kebijakan.

Rapor Merah Neraca Dagang RI: Siapa Menteri yang Diganti Jokowi?
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Menko Perekonomian Darmin Nasution (kedua kanan) saat meresmikan proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Senin (1/4/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

tirto.id -

Neraca perdagangan Indonesia di akhir periode pertama pemerintahan Jokowi mengalami tekanan cukup berat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kinerja ekspor masih lesu dan tak mampu mengimbangi derasnya impor baik migas dan non-migas.

Sepanjang Januari-September 2019, perdagangan Indonesia tercatat masih defisit di angka 1,94 miliar dolar AS atau setara Rp27,48 triliun (kurs Rp14.132/dolar AS).

Meski nilainya lebih rendah dari periode yang sama di tahun lalu, perdagangan yang tekor hingga akhir kuartal III 2019 tak bisa dianggap sepele.

Jika kinerja ekspor tak mampu digenjot dan impor terus mengalir deras, defisit perdagangan Indonesia bisa kembali bengkak, bahkan bisa melebihi tahun lalu yang tembus 3,81 miliar dolar AS.

Kala itu, kinerja ekspor RI cuma mampu mencapai 180,01 miliar dolar AS, sementara nilai impornya tembus di angka 188,71 miliar dolar AS.

"[defisit] ini terbesar sejak 1975. Tahun itu kita defisit sebesar 391 juta dolar AS," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, 15 Januari 2019 lalu.

Padahal, tiga tahun sebelumnya, rapor neraca dagang RI bisa dibanggakan karena terus-menerus mengalami surplus.

Perdagangan RI yang tercatat defisit 2,19 miliar dolar AS di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, berbalik menjadi surplus sebesar 7,67 miliar dolar AS pada 2015.

Capaian positif kembali ditorehkan dua tahun setelahnya, dengan surplus masing-masing sebesar 9,53 miliar dolar AS dan 11,84 miliar dolar AS.

Bukan Cuma Perkara Migas

BPS mencatat buruknya neraca perdagangan RI sepanjang 2018 disebabkan adanya defisit pada migas yang nilainya mencapai 12,69 miliar dolar AS—lebih besar dari tahun 2017 yang tercatat minus 8,57 miliar dolar AS.

Penyumbangnya adalah perdagangan minyak mentah dan hasil minyak yang masing-masing tekor sebesar 4,04 miliar dolar AS dan 15,95 miliar dolar AS.

Namun, jika dilihat lebih detail, defisit tahun lalu juga disebabkan oleh terpangkasnya surplus nonmigas menjadi 3,99 miliar dolar, dari 20,41 miliar dolar pada 2017. Musababnya adalah lonjakan impor sejumlah komoditas, mulai dari peralatan mesin, hingga bahan pangan.

Impor barang dari besi dan baja dengan kode HS73, misalnya mencapai 3,88 miliar dolar AS atau naik 48 persen ketimbang tahun sebelumnya. Sementara impor besi dan baja dengan kode HS72 meningkat 28 persen yoy menjadi 10,24 miliar dolar AS.

Ekonom Institute for Development Economics Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan impor besi dan baja yang membengkak disebabkan pemerintah tidak melakukan perencanaan yang matang saat ekspansif membangun infrastruktur dalam lima tahun terakhir ini.

Parahnya lagi, aturan Kementerian Perdagangan membuat laju besi dan baja impor terus tumbuh dan membuat industri dalam negeri makin keteteran.

"Ada Permendag yang mengatur skema post border untuk mempermudah masuknya impor baja untuk mempercepat proyek pembangunan," jelasnya saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (17/10/2019).

Di samping barang-barang penunjang infrastruktur, tingginya impor juga terjadi pada komoditas bahan pangan. Impor gula dan kembang gula dengan HS17 tercatat sebesar 2,125 miliar dolar AS—keempat tertinggi di sektor non-migas—dan menyumbang defisit sebesar 1,861 miliar dolar AS.

Sementara impor sereal dengan HS10 juga meningkat 30 persen menjadi 3,79 miliar dolar AS dan menyumbang defisit sebesar 3,72 miliar dolar AS.

Ada pula impor bahan olahan industri seperti kain rajutan dengan kode HS60 senilai 1,55 miliar dolar AS dan menyumbang defisit 1,44 miliar dolar AS.

Pemerintah, menurut Bhima, perlu kembali memperketat barang impor yang masuk ke dalam negeri agar pengusaha lokal terlindungi. Pasalnya di tahun ini, laju pertumbuhan impor non-migas tak banyak berubah dari tahun sebelumnya.

Di samping itu, menurutnya, Jokowi juga perlu mencari sosok baru untuk menggantikan Enggartiasto Lukita yang dapat memberikan perlindungan terhadap para pengusaha lokal.

"Banyak kebijakan yang tidak tepat dan memicu perdebatan. Selain gula, ada juga garam, beras dan lain-lain yang membuat surplus non-migas jadi menciut," katanya kepada Tirto, Kamis (17/10/2019).

Kebijakan Inkonsisten, Ekspor Lesu

Upaya pemerintah mendongkrak kinerja ekspor juga gagal memperbaiki struktur neraca dagang. Bhima menilai kegagalan itu ditengarai karena pengambilan kebijakan yang kurang tepat dan seringkali inkonsisten.

Misalnya, pemberian insentif fiskal yang tak menarik bagi investor dan membuat hilirisasi industri menjadi lebih lambat. Lantaran itu lah, ia menyarankan agar pemerintah tak mengeluarkan paket paket kebijakan ekonomi baru.

"Enam belas paket kebijakan yang berlaku saat ini perlu diperjelas dan dikawal hingga tahap pelaksanaan. Enggak usah bikin kebijakan baru lagi nanti akan jadi distrust. 16 paket itu cukup hanya dipertajam saja," imbuhnya.

Di sisi lain, janji pemerintah untuk memberikan harga murah untuk gas serta murah bagi industri serta diskon tarif listrik sektor juga masih belum terealisasi. Padahal, insentif tersebut penting untuk mengurangi beban biaya produksi dan meningkatkan ekspansi perusahaan serta ekspor.

"Janji harga gas murah untuk industri. Mana realisasinya? kemudian tarif diskon listrik padat karya ini pengusaha nagih loh. Kalau jam sibuk diskon 40 persen itu biaya listrik diturunkan untuk bisa menekan biaya produksi," pungkasnya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal menjelaskan bahwa rendahnya kinerja ekspor disebabkan oleh kinerja Menteri Perdagangan Airlangga Hartanto yang belum maksimal.

Pemerintah, kata dia, terkesan tak serius untuk memperkuat industri manufaktur lantaran kontribusinya ke Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus menyusut. Indonesia seharusnya bisa mencontoh Filipina dan Thailand yang fokus mendorong industri manufaktur.

"Kita sudah ketinggalan dari Malaysia, Tahiland, Filipina dan bahkan Vietnam. Kenapa? Karena memang secara fokus mereka sudah pilih untuk menjaga yang memprioritaskan manufaktur," jelasnya saat dihubungi reporter Tirto, kemarin (18/10/2019).

Mandeknya industri membuat ekspor lesu dan tak bisa diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS, komoditas kendaraan dan bagiannya dengan kode HS87 dan pakaian bukan rajutan berkode HS62 merosot drastis sepanjang Januari-Desember 2018.

Sementara sejak Januari hingga September lalu, kondisi serupa kembali terulang. Ekspor tercatat hanya sebesar 124,17 miliar dolar AS, jauh lebih rendah dari impor yang mencapai 126,11 miliar dolar AS.

Fithra menjelaskan, hal tersebut disebabkan kebijakan yang sudah dibuat pemerintah belum mampu mendongkrak produksi ekspor barang barang nasional ke luar negeri.

"Kinerja industri sendiri, yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian sendiri lebih ke arah pencitraan gimmick making 4.0 tanpa adanya fokus yang menyeluruh untuk kemudian membangkitkan industri sendiri," terangnya.

Baca juga artikel terkait NERACA DAGANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana