tirto.id - Tilmidun merasa risih. Beberapa teman-teman kampungnya tidak menjalankan puasa Ramadan seperti semestinya. Benar memang, teman-teman Tilmidun makan di warung yang sudah ditutup tirai, namun bagi Tilmidun ini masih saja mengganggu.
Tilmidun bukannya tidak pernah menegur. Hanya saja saat ditegur, Tilmidun malah diolok-olok karena dianggap sok alim. Tentu saja Tilmidun sakit hati. Terlebih Tilmidun tahu, teman-temannya yang makan di warung ini tidak sedikit yang sebenarnya muslim juga.
Merasa sakit hati, Tilmidun pun memberanikan diri untuk mengadukannya ke Pak Nahi, pemuka paling disegani di kampungnya.
“Ada apa, Dun?” tanya Pak Nahi di teras rumahnya menyambut kedatangan Tilmidun yang tergopoh-gopoh.
“Nganu, Pak. Teman-teman saya. Mereka makan seenaknya di warung pas Ramadan begini. Enggak bisa dibiarin, kan?”
Mendengar hal itu, Pak Nahi naik pitam. Mukanya langsung memerah. “Sudah kamu tegur?” tanyanya.
“Sudah,” kata Tilmidun kepancing jadi ikut marah.
“Kurang ajar. Di kampung saya berani benar mereka ini,” kata Pak Nahi. “Sebentar, saya panggil santri-santri saya dulu,” ujar Pak Nahi masuk ke rumah.
Tak berselang lama datang santri-santri Pak Nahi. Ada sekitar belasan orang. “Di warung siapa tadi?” tanyanya lagi.
Tilmidun yang tadinya semangat untuk ikut serta, langsung amblas kemarahannya. Dalam bayangannya, Tilmidun tidak menyangka kalau Pak Nahi akan membawa massa sebanyak ini hanya untuk mengurusi dua sampai tiga orang temannya yang tidak puasa. Perasaan marah di awal berubah jadi perasaan takut dan kali ini malah muncul perasaan bersalah.
“Eee,” mendadak lidah Tilmidun kelu.
“Di mana?” kali ini Pak Nahi sedikit membentak ke arah Tilmidun.
“Oh, maaf, Pak. Tadi saya lihat itu teman-teman saya yang non-muslim, kok. Tadi saya salah sangka,” kata Tilmidun berbohong.
“Lho, gimana, sih? Yang bener, dong, kalau ngomong?” kata salah satu santri Pak Nahi jadi emosi karena merasa dipermainkan.
“Beneran, tadi yang makan bukan orang-orang kampung sini. Itu teman-teman saya dari kampung sebelah. Mereka non-muslim. Saya keliru tadi negur mereka karena saya kira mereka muslim,” kata Tilmidun berusaha melindungi pemilik warung dan teman-temannya.
Mendengar itu tentu saja, beberapa santri mendengus kesal. Kekesalan yang coba diredakan Pak Nahi.
“Makanya, Dun, kalau lihat yang bener. Jangan jadi provokator begitu. Untung saja kita belum berangkat,” katanya menegur Tilmidun.
“Maaf. Saya khilaf. Maaf teman-teman,” kata Tilmidun kepada beberapa santri.
Tilmidun merasa bersalah. Kali ini malah perasaannya jauh lebih tidak enak daripada sebelumnya. Lagipula tadi ia berbohong kepada Pak Nahi dan murid-muridnya.
“Batal tidak, ya, puasa saya?” batin Tilmidun.
Di saat begini, Tilmidun biasanya akan main ke madrasah di kampung sebelah. Ke rumah Gus Amar yang nyleneh dan dianggap oleh orang-orang di kampung Tilmidun sebagai “Gus Gendheng” karena kalau ceramah hanya sedikit menyebutkan dalil dan lebih banyak cerita-cerita saja. Setelah berkali-kali meminta maaf kepada Ustad Nahi dan santri-santrinya, Tilmidun undur diri dengan perasaan malu.
Di perjalanan, Tilmidun terus terbayang akan kebohongan yang ia buat untuk Ustad Nahi, sekaligus perasaan kesal kepada teman-temannya karena menyebutnya sok alim. Untuk itulah ia mempercepat langkahnya. Ia sudah malu benar dengan kejadian di rumah Ustad Nahi.
Begitu sampai di rumah Gus Amar, Tilmidun menceritakan semuanya. Sepanjang Tilmidun bercerita, Gus Amar cuma terdiam saja mendengarkan. Sesekali manggut-manggut dan melihat ke sekitar seolah ikut berpikir.
“Jadi gimana, Gus? Batal enggak, ya, puasa saya?”
Gus Amar masih diam sejenak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tilmidun, Tilmidun, kenapa sampeyan sakit hati waktu dibilangin ‘sok alim’?” tanya Gus Amar.
“Ya gimana, Gus, waktu itu merasa jengkel saja. Sudah ditegur baik-baik kok malah begitu responsnya,” jawab Tilmidun, “Bukannya mereka yang salah karena enggak puasa?”
Gus Amar lagi-lagi terdiam. Lalu kembali melanjutkan kata-katanya.
“Dun, salah dan benarnya mereka tidak puasa itu tidak ada urusan dengan perasaan sakit hati sampeyan,” kata Gus Amar, “Memangnya puasa sampeyan, lapar sampeyan itu untuk apa?”
“Ya agar kita terhindar dari dosa. Terhindar dari neraka,” kata Tilmidun mantap.
Gus Amar lagi-lagi menggeleng. “Waduh, salah kaprah sampeyan.”
“Salah kaprah gimana, Gus?” tanya Tilmidun, “Ya, kalau begitu agar bisa masuk ke surga-Nya,” kata Tilmidun.
“Nah, itu..”
Tilmidun bungah, “Bener, Gus?”
“Tambah komplit salah kaprahnya,” lanjut Gus Amar.
“Lho? Kan emang begitu Gus yang dijanjikan Tuhan?” debat Tilmidun.
Gus Amar cuma terkekeh.
“Jadi kalau orang tua sampeyan, nawarin sampeyan bakal dapet sepeda baru kalau dapat ranking satu di sekolah, sebenarnya lebih penting ranking satunya atau sepedanya?” tanya Gus Amar.
Tilmidun berpikir, “Ee, ranking satunya ya, Gus?” kali ini ia yakin jawabannya benar.
“Lha, kan, salah kaprah lagi.”
“Lha masak cuma ngarepin sepedanya? Sepedanya, kan, cuma buat pemancing saja?”
Gus Amar membenarkan letak duduknya.
“Bahkan, sepeda dan ranking satu itu sama-sama enggak penting. Yang penting itu memenuhi harapan orang tua sampeyan. Sepeda dan ranking satu itu sama-sama medium. Sama seperti pahala dan surga. Dua-duanya kalah penting sama yang menjanjikannya,” kata Gus Amar.
Tilmidun bengong. Bukan karena terpesona, tapi lebih karena merasa dipermainkan dengan pertanyaan jebakan.
“Sampeyan marah itu bukti kalau sampeyan emang masih perlu latihan lagi untuk puasa dengan baik,” kata Gus Amar.
“Lho, saya udah bener, kok, puasanya. Enggak makan, enggak minum, Gus. Enggak pernah batal,” kata Tilmidun.
“Saya, kan, bilang puasa yang baik. Bukan puasa yang bener. Kalau cuma bener. Asalkan enggak makan dan minum, enggak berhadas besar, ya puasa sampeyan udah bener. Udah sah,” kata Gus Amar, “Cuma kalau enggak bisa nahan emosi, itu berarti sampeyan cuma mau ibadah yang bener aja. Ibadah yang sah-sah aja. Intinya ibadah puasa malah sampeyan enggak dapat poin utamanya,” kata Gus Amar.
“Berarti puasa saya udah bener dan enggak batal ya, Gus? Walaupun tadi berbohong?” tanya Tilmidun.
“Batal, sih, enggak. Diterima atau enggak, itu yang saya enggak tahu,” kata Gus Amar.
“Lho kok gitu?”
“Ya karena itu bukan urusan saya. Itu urusannya Yang Menerima. Saya itu apa, cuma sedotan aqua,” kata Gus Amar. Keduanya tertawa.
“Yang penting, puasa itu melatih kita untuk menjauhi keterikatan akan dunia. Makan, minum, perasaan marah ketika dihina, perasaan sombong ketika dipuji. Itu semua candu. Ingin diulang-ulang terus sepanjang hidup. Ingatan akan kenikmatan itu yang jadi bikin ketagihan. Padahal, kan, perut ada batasnya, tubuh ada batasnya, terutama umur manusia itu ada batasnya,” lanjut Gus Amar.
“Sedangkan hasrat dan keinginan itu enggak ada batasnya,” kata Tilmidun tanpa sadar melanjutkan.
“Nah, itu! Sampeyan lebih tahu dari saya,” puji Gus Amar.
“Jadi, saya puasa itu sebenarnya latihan biar terbiasa membatasi atas apa yang tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan, ya?” tanya Tilmidun lagi.
“Iya, bahkan termasuk keinginan agar semua orang ikut berpuasa seperti sampeyan.”
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khasanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini akan tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS