Menuju konten utama

Ramai-Ramai Melawan Cina dengan Senjata Perlindungan Data

Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa tengah menggodok aturan soal data.

Ramai-Ramai Melawan Cina dengan Senjata Perlindungan Data
Ilustrasi tangan memegang smartphone di depan bendera Cina. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa sedang menggodok aturan bersama terkait perlindungan data digital. Nikkei, menulis aturan bersama untuk memberi rasa aman pengguna saat transfer data lintas negara, yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan internet, misalnya untuk keperluan pengembangan artificial intelligence dan sebagainya.

Rencana aturan main bersama ini memang masih mentah, masih tahap diskusi. Namun, masuknya perwakilan Kementerian Perdagangan Amerika Serikat, Menteri Perdagangan dan Industri Jepang, Komisioner Bidang Perdagangan Uni Eropa, tentu bukan perkara main-main. Apalagi hasil rembuk bersama itu akan dipaparkan pada pertemuan G20 di Osaka, Jepang, Juni 2019.

Bila ditarik ke belakang, gagasan membuat payung hukum bersama tak terpisahkan setelah Uni Eropa meluncurkan GDPR atau General Data Protection Regulation. Sejak 25 Mei 2018, Uni Eropa menerapkan regulasi GDPR untuk mengatur bagaimana perusahaan internet, yang beroperasi di dalam dan luar Eropa memperlakukan dan melindungi data milik warga Uni Eropa.

Regulasi yang digodok selama empat tahun dan baru disetujui pada 14 April 2016 itu, memiliki empat poin utama. Salah satu yang terpenting, perusahaan internet wajib memberikan kebebasan penuh atas pengendalian data milik penggunanya yang berasal dari Uni Eropa. Warga Uni Eropa berhak mengizinkan, mengizinkan sebagian, atau tidak mengizinkan sama sekali datanya digunakan oleh perusahaan internet.

Sampai saat ini, GDPR merupakan regulasi paling kuat yang mengekang perusahaan-perusahaan internet. Di saat GDPR mulai berlaku, Google dan Facebook dituntut $8,8 miliar di pengadilan oleh seorang aktivis asal Austria bernama Max Schrems.

Prof. Jovan Kurbalija, Executive Director of the UN Panel on Digital Cooperation pernah mengungkap negara-negara di dunia akan mengikuti jejak Uni Eropa melahirkan GDPR versi masing-masing. "Kita lihat aturan ‘Right to be forgotten.’ Aturan tersebut diperkenalkan oleh Uni Eropa dan negara lain mengikutinya. Negara seperti Korea, Brazil, dan lainnya memiliki aturannya. Saya pikir negara lain akan menunggu bagaimana GDPR berpengaruh, lantas jika baik mereka akan menggunakannya.”

Amerika Serikat memiliki aturan serupa GDPR, yakni Digital Millenium Copyright Act dan Electronic Communication Privacy Act yang diperkenalkan pada 1989. Sementara itu, Jepang memiliki aturan Act on the Protection of Personal Information yang efektif diberlakukan sejak 30 Mei 2017. Sayangnya, aturan yang ada di Amerika Serikat dan Jepang tersebut tak sekuat GDPR Uni Eropa.

Nikkei dalam laporannya mengungkapkan pemerintah Jepang menginginkan aturan yang dapat mengekang perusahaan atau entitas yang tidak cukup memberi perlindungan atas data-data digital yang mereka miliki, khususnya yang bersumber dari masyarakat. Jepang menginginkan data digital tetap sepenuhnya dikendalikan si pemilik data (masyarakat) meskipun data tersebut kemudian ditransfer ke perusahaan atau entitas lain, bahkan ditransfer ke negara lain. Konsep ini tentu persis yang sudah dijalankan dalam skema GDPR.

Nah, pertemuan antara Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa soal aturan main data akan mengarah ke sana. “Pemerintah Amerika Serikat (dan Jepang) mulai memunculkan minat meregulasi seperti apa yang dilakukan GDPR,” sebut perwakilan Pemerintah Jepang pada Nikkei.

Apa yang akan dilakukan Jepang juga jadi konsen negara maju lainnya. Melansir laporan Reuters, di bawah Presiden Donald Trump, Amerika Serikat tengah menggodok aturan baru soal perlindungan data online warga negaranya. Hingga kini, aturan yang serupa GDPR hanya ada di negara bagian California, kandang korporasi teknologi raksasa seperti Google dan Facebook. Di California, perusahaan dengan lebih dari 50 ribu konsumen harus benar-benar awas soal penanganan data milik penggunanya.

David Redl, anggota senior Departemen Perdagangan Amerika Serikat membenarkan hal ini. Ia mengatakan pemerintah federal “memulai mengumpulkan para pelaku kebijakan untuk mengidentifikasi permasalahan mendasar dan tengah memformulasikan inti, level tinggi, prinsip dari privasi data online.”

Pembuatan aturan baru serupa GDPR mendesak karena banyak ditemukan kasus kebocoran data besar-besaran, semisal skandal Cambridge Analytica yang menimpa Facebook, Yahoo, Equifax, Target, dan Depot.

Infografik Perlindungan Data di beberapa negara

Ujung-Ujungnya Faktor Cina

Lokman Tsui, profesor pada Chinese University of Hong Kong, sebagaimana dikutip dari Technode, mengatakan “perusahaan mengumpulkan data karena hal tersebut menguntungkan. Sementara itu, pemerintah melakukan hal yang sama karena hal demikian bisa memberi mereka kekuatan lebih.” Di Cina, internet dikekang oleh pemerintah. Dan perusahaan-perusahaan internet Cina, tunduk pada titah pemerintah.

Masih dilansir Nikkei, gabungan perusahaan Cina antara Baidu, Alibaba, dan Tencent, atau lebih dikenal BAT, mengkoleksi data dari 700 juta penggunanya. Data-data tersebut, terutama, dipergunakan untuk memperkuat teknologi mereka, khususnya dalam pengembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence yang banyak membutuhkan data (big data).

Data yang masif dapat “memberi kekuatan signifikan bagi Cina untuk membangun artificial intelligence. Dan untuk lebih memberi kekuatan, melalui perusahaan yang tunduk pada pemerintah itu, BAT melebarkan sayapnya ke berbagai negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika.

Li Shufu, petinggi Geely, pernah berujar bahwa perusahaan-perusahaan Cina memonitor tiap langkah penggunanya. “Mereka mengawasi kita melalui WeChat setiap hari,” katanya.

Robin Li, masih mengutip Technode, seakan membenarkan perilaku perusahaan Cina. Publik Cina, secara umum, tak peduli dengan data digital mereka. Katanya, “jika mereka bisa menjual privasi dengan kesenangan, keamanan, efisiensi, di banyak kasus, mereka akan melakukannya.”

Kondisi semacam ini bisa saja menimpa entitas korporasi atau warga Uni Eropa atau negara maju lainnya yang ada di Cina. Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan bagi negara-negara Barat. Pertemuan antara Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, salah satunya dilakukan guna membendung kekuatan Cina dalam mengelola dan menguasai data-data melalui korporasi-korporasinya.

Di dunia internet, Cina tak bisa dipandang remeh. WeChat, layanan pesan instan yang dikembangkan Tencent, jadi salah satu yang terbesar di dunia. Mengutip data Business of Apps, WeChat memiliki 1 miliar pengguna aktif bulanan, dari jumlah itu sebanyak 100 juta di antaranya berasal dari luar Cina. Dengan dukungan finansial dan pemerintah, bukan hal mustahil bagi WeChat menambah jumlah penggunanya dari luar Cina.

Selain WeChat, Cina bisa memaksakan kehendaknya melalui kapital ventura, yang jor-joran memberi uang pada startup teknologi di seluruh dunia, termasuk di Silicon Valley. Sejak Januari hingga Mei tahun ini, melansir pemberitaan Financial Times, kapital ventura asal Cina telah menggelontorkan uang sebanyak $2,4 miliar. Dengan gelontoran uang itu, Cina seakan-akan menggenggam kekuatannya pada perusahaan-perusahaan teknologi masa depan.

Jika tak dihadang dengan regulasi yang kuat dan bersama-sama, Cina tak bisa dibendung di ranah teknologi, dan masalah ini yang menjadi ketakutan negara-negara maju dan Barat.

Baca juga artikel terkait DATA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra