tirto.id - Tenda setinggi separuh tubuh pria dewasa berjajar di depan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jakarta di Jakarta Barat. Bangunan semi permanen itu beratap terpal dan seprei yang diikatkan ke pepohonan dan rangka kayu. Tikar dan kardus difungsikan layaknya kasur untuk menindih permukaan kasar badan jalan.
Rungkup-rungkup itu perkampungan kecil bagi pengungsi asal Somalia, Afganistan, Ethiopia, dan Sudan. Usia mereka beragam, dari balita hingga lansia. Masing-masing dari mereka menempati bilik berukuran sekitar 3x2 meter yang dihuni tiga hingga delapan pengungsi. Sebagian lainnya tidur di emperan ruko.
Mereka adalah tunawisma yang tidak mendapat bantuan dari otoritas imigrasi Indonesia. Rudenim Jakarta sudah menampung 429 pelanggar imigrasi dan pengungsi, meski daya tampungnya hanya muat 102 orang.
Sudah tiga bulan, Abdullah, bocah 10 tahun asal Somalia, tinggal di kamp pengungsian di Jakarta itu. Akhir tahun lalu bersama keluarganya, Abdullah hengkang dari rumah keluarganya di Mogadishu, ibukota Somalia. Kota itu dikoyak militan ISIS. Tempat tinggalnya berubah jadi medan perang.
Dari Somalia, mereka berlayar melintasi Selat Malaka menuju Medan. Dari Medan, keluarga itu menempuh perjalanan darat dengan bus ke Jakarta.
"Aku pindah karena perang di negara aku," kata Abdullah kepada reporter Tirto, Jumat 18 Mei 2018. Dia masih terbata-bata menggunakan Bahasa Indonesia yang dipelajarinya secara otodidak.
Ramadan terakhirnya di Somalia begitu meriah. Saat berbuka puasa, delapan orang anggota keluarganya duduk melingkar di tiap sisi meja makan yang bulat. Mereka menyantap sup makaroni khas Somalia, kurma, dan jus jeruk. Setelahnya Abdullah bersama kawan-kawannya bermain petasan gasing yang berputar dan semburkan percikan api beragam warna.
Abdullah sudah menjalani dua Ramadan di Indonesia. Sebelum tinggal di bilik-bilik pengungsian, Abdullah menggelandang di ruas-ruas jalanan Jakarta yang tak dia kenal. Tak ada lagi petasan dan sup makaroni. Belakangan, hari-harinya diisi dengan berebut makanan dengan imigran lainnya.
"Tadi sahur aku pakai ayam dan nasi. Tapi air tidak dapat," tuturnya.
Nur, 42 tahun, perempuan yang berdagang makanan di samping Redenim Jakarta, kerap menyaksikan keriuhan para pengungsi saat bantuan makanan datang. Mereka ramai-ramai mengambil tanpa manajemen yang rapi.
"Kayak air mineral, Indomie, itu ditimbun terus ditutupi terpal," kata Nur menjelaskan bagaimana para pengungsi menyembunyikan makanan usai berebut.
Di Indonesia, para pengungsi tidak diperbolehkan bekerja secara legal, mengakses layanan publik, atau mendapatkan kewarganegaraan untuk tinggal secara permanen. Mereka hanya mengandalkan sumbangan makanan dari warga.
Bagaimana Indonesia Perlakukan Mereka
Andreas Harsono, Peneliti Human Rights Watch berharap pemerintah Indonesia memperhatikan kebutuhan primer para pengungsi. Tak relevan lagi bagi mereka untuk kembali ke negaranya yang telah jadi arena perang.
Setidaknya, menurut Andreas, pemerintah Indonesia mesti membuat aturan untuk penuhi hak dasar pengungsi selain makanan. Mereka seharusnya diperbolehkan bekerja dan bersekolah di Indonesia.
"Karena [pekerjaan dan pendidikan] yang penting untuk para pengungsi ini, atau pencari suaka, atau siapa pun, karena mereka tinggal di sini bertahun-tahun," kata Andreas kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Jumat 18 Mei 2018.
Demikian pula dengan Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR). Melalui perwakilannya untuk Indonesia, Thomas Vargas dari UNHCR meminta Indonesia untuk membuat skema program kebijakan pemberdayaan pengungsi atau pencari suaka.
"Para pengungsi sebagian besar memiliki keahlian yang mereka bawa saat dulu masih tinggal di negaranya," kata Vargas seperti dikutip Merdeka.com.
Agung Sampurno, Kabag Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, mengatakan hal sebaliknya. Menurut Agung, lembaganya tidak memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan para pengungsi.
Tanggung jawab untuk mengurusi sandang dan pangan pengungsi ada di tangan International Organization for Migration (IOM). "Fasilitas itu diberikan [IOM] kepada pengungsi yang sudah jelas statusnya, yang sudah terdaftar. Mereka kan harus mempertanggungjawabkan penggunaan dananya," kata Agung kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Jumat 18 Mei 2018.
Untuk mendapatkan bantuan dari IOM, tiap imigran harus lolos verifikasi dari UNHCR dan Dirjen Imigrasi. Sejauh ini, hanya 300 orang di kamp depan Rudenim Jakarta yang teridentifikasi sebagai pengungsi. "Jangan semua orang yang di sana disebut pengungsi. Nanti dulu," tuturnya.
Total pengungsi dan pencari suaka di Indonesia 14.405 jiwa. Termasuk di dalamnya 548 pengungsi dan 898 pencari suaka dari Somalia. Data itu berdasarkan penghitungan UNHCR pada akhir Desember 2016.
Indonesia hanya negara transit. Hingga kini, Indonesia belum menjadi negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Opsional 1967. Para pengungsi menunggu untuk akhirnya bermukim di Australia atau negara pihak lainnya.
Nasib Abdullah benar-benar gelap. Dia tak bisa kembali ke Somalia. Dia tak mau merasakan lagi apa yang terjadi saat umurnya 8 tahun. Kala itu, dia menyaksikan langsung seorang militan ISIS meledakkan bom bunuh diri.
“Suara tembakan dan suara bom semuanya setiap hari,” keluh Abdullah ceritakan keadaan tempat tinggalnya di Mogadishu, Somalia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dieqy Hasbi Widhana & Maulida Sri Handayani