Belasan pencari suaka dari negara-negara Timur Tengah singgah di Indonesia untuk mencari tempat hidup yang lebih layak. Mereka semua terusir dari negara kelahirannya akibat konflik berkepanjangan.
Mochammad Rafi misalnya, pengungsi asal Afganistan ini sudah tiga tahun mengungsi di Indonesia. Rafi yang sebelumnya ia bekerja sebagai petani, terpaksa meninggalkan negaranya karena negaranya terjadi konflik perang sipil. Dia datang ke Indonesia melalui rute terbang ke Malaysia melalui India, kemudian ke Indonesia melalui jalur laut dengan menggunakan kapal nelayan. Mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 7.000 USD (Rp 94,1 juta) per orang. Selain paspor dan tiket, mereka dibekali handphone untuk komunikasi.
Bertahun-tahun, mereka terpaksa tinggal di emperan samping gedung United Nation High Comissioners for Refugees (UNHCR) di kawasan Kebon Sirih, Jakarta untuk mengurus dokumen suaka. Setiap hari mereka tidur beralaskan koran dan tikar. Mereka hidup dengan segala keterbatasan karena tidak memiliki pernghasilan sama sekali. Untuk bertahan hidup di Jakarta, para imigran tersebut berupaya membaur dengan masyarakat setempat. Termasuk belajar bahasa Indonesia serta sopan santun. Ketidakjelasan pengurusan administrasi dari UNHCR menyebabkan para imigran pencari suaka tersebut terbengkalai hingga bertahun-tahun.
FOTO: Andrey Gromico dan Naomi Pardede
Mochammad Rafi misalnya, pengungsi asal Afganistan ini sudah tiga tahun mengungsi di Indonesia. Rafi yang sebelumnya ia bekerja sebagai petani, terpaksa meninggalkan negaranya karena negaranya terjadi konflik perang sipil. Dia datang ke Indonesia melalui rute terbang ke Malaysia melalui India, kemudian ke Indonesia melalui jalur laut dengan menggunakan kapal nelayan. Mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 7.000 USD (Rp 94,1 juta) per orang. Selain paspor dan tiket, mereka dibekali handphone untuk komunikasi.
Bertahun-tahun, mereka terpaksa tinggal di emperan samping gedung United Nation High Comissioners for Refugees (UNHCR) di kawasan Kebon Sirih, Jakarta untuk mengurus dokumen suaka. Setiap hari mereka tidur beralaskan koran dan tikar. Mereka hidup dengan segala keterbatasan karena tidak memiliki pernghasilan sama sekali. Untuk bertahan hidup di Jakarta, para imigran tersebut berupaya membaur dengan masyarakat setempat. Termasuk belajar bahasa Indonesia serta sopan santun. Ketidakjelasan pengurusan administrasi dari UNHCR menyebabkan para imigran pencari suaka tersebut terbengkalai hingga bertahun-tahun.
FOTO: Andrey Gromico dan Naomi Pardede