Menuju konten utama

Ragam Masalah Program Deradikalisasi Eks Teroris

Program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah dinilai belum maksimal oleh analis konflik dan terorisme. Salah satunya dalam hal pengawasan eks teroris yang kembali ke tengah masyarakat.

Ragam Masalah Program Deradikalisasi Eks Teroris
Pengungsi asal Indonesia di kamp pengungsian saat perang ISIS di Suriah. Afshin Ismaeli untuk Tirto.id

tirto.id - Tumbangnya kekuatan ISIS oleh Kurdi/Rojava di Suriah menarik perhatian dunia. Bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, salah satu isu spesifik yang disorot adalah eks kombatan. Beberapa di antara mereka minta pulang ke Tanah Air.

Hal ini memunculkan kontroversi. Ada yang menganggap menerima kembali eks kombatan adalah langkah berbahaya. ISIS boleh jatuh, tapi tidak dengan ideologi yang sudah tertanam di otak para simpatisannya. Begitu kira-kira alasan para penolak.

Kementerian Luar Negeri sendiri mengatakan ada potensi menerima kembali mereka, tapi itu perlu proses yang panjang dan tak semua akan diterima kembali. Hal ini dikatakan Juru Bicara Kemenlu RI Arrmanatha Nasir.

"Ada berbagai tahap yang dilakukan di Suriah dan Indonesia. Tahapannya sangat panjang. Dari situ kami menentukan apakah mereka bisa kembali ke Indonesia atau tidak," kata Arrmanatha seperti diberitakan Antara, Kamis (28/3/2019).

Jika mereka sudah diverifikasi dan memenuhi syarat untuk kembali ke Indonesia pun, pemerintah memastikan bakal tetap memberi pengawasan.

"Kami akan lakukan analisis kembali untuk proses deradikalisasi," tambahnya.

Program deradikalisasi ini pernah dilakukan terhadap 17 WNI bekas ISIS yang pulang dua tahun lalu. Hingga kini statusnya masih dalam pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Namun bagaimana program deradikalisasi berjalan selama ini? Apakah program yang kerap digaungkan pemerintah tersebut sudah efektif?

Pengawasan Minim

Jika pertanyaan ini diajukan ke analis konflik dan terorisme Timur Tengah, Alto Luger, maka jawabannya adalah belum maksimal. Alto menjelaskan, masalahnya selama ini pengawasan hanya menjadi beban BNPT dan Densus 88.

Padahal, kedua lembaga tersebut punya keterbatasan dana dan SDM.

"Napi teroris itu setelah keluar dari penjara seharusnya menjadi tanggung jawab pemda setempat untuk membantu mengawasi. Mereka harus tahu ada orang yang merupakan eks kombatan dari Irak dan Suriah," kata Alto saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (28/3/2019).

"Akhirnya enggak terpantau maksimal," tambahnya.

Alto juga menilai pemerintah belum maksimal mengubah pola pikir para eks kombatan. Mereka, kata Alto, kurang paham dengan fakta bahwa seseorang bisa terpengaruh dengan gagasan ekstrem bukan hanya karena alasan agama.

Ada pula yang tergerak bergabung dengan ISIS atau melakukan gerakan teror dengan dasar ekonomi dan politik.

"Jadinya faktornya banyak," kata Alto.

Alto juga menilai, orang yang bertugas di pusat rehabilitasi deradikalisasi belum terlalu kompeten menangani eks teroris secara komprehensif.

"Pemerintah punya pusat rehabilitasi. Seperti Kemenkumham di Bambu Apus atau Kemensos juga punya. Masalahnya adalah metode rehabilitasi korban terorisme protapnya sudah ada, tapi belum terakomodir secara penuh," ujar Alto.

"Mereka itu masih pakai kurikulum kategori penyakit masyakat, seperti orang gila, pengemis, gelandangan, dan lain-lain. Kan berbeda sekali," tambahnya.

Para petugas program deradikalisasi pun, lanjut Alto, belum secara penuh bisa menangani perempuan dan anak-anak yang juga terpapar gagasan ekstrem. Padahal itulah kecenderungannya saat ini--contohnya pada kasus bom Surabaya.

Hanya Bertahan Ketika Ditahan

Analis Policy Analysis of Conflict (IPAC), Nava Nuraniyah, juga menilai hal serupa. Bahwa program deradikalisasi hanya berjalan saat eks kombatan menjalani masa hukuman.

"Namun, kalau sudah bebas dan aktif kembali di rumah dan masyarakat, enggak ada pengawasan yang komprehensif. Hanya beberapa saja yang dipantau secara khusus, hanya yang high risk saja [yang] dimonitor," kata Nava kepada reporter Tirto.

Saat menjalani proses deradikalisasi dan rehabilitasi sosial, pemerintah sebetulnya kerap meminta bantuan dari Kementerian Sosial. Namun, menurut Nava, masih terdapat beberapa kendala, misalnya instruktur rehabilitasi sosial yang belum paham betul soal apa yang mereka hadapi.

"Trainer-trainer yang dimiliki Kemensos itu terlebih dahulu harus dibekali mengenai wacana terorisme, agar mereka tahu bagaimana menangani eks kombatan," kata dia.

Hingga naskah ini dirilis, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum merespons permintaan wawancara oleh reporter Tirto mengenai program deradikalisasi.

Juru bicara sekaligus Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris belum bisa berkomentar terkait WNI eks kombatan ISIS. Ia menyebut BNPT baru bertindak setelah ada keputusan dari Kepala BNPT Suhardi Alius.

"Menunggu keputusan pimpinan," Kata Irfan singkat kepada reporter Tirto, Kamis (28/3/2019).

Baca juga artikel terkait ISIS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan