Menuju konten utama

Rabies: Kenali Virus dan Gejalanya

Rabies disebabkan oleh virus RNA dan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae

Rabies: Kenali Virus dan Gejalanya
Ilustrasi vaksinasi, kastrasi dan sterilisasi hewan penular rabies. FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana

tirto.id - Rabies masih menjadi salah satu ancaman baik di Indonesia maupun secara global. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta misalnya, gencar melakukan sosialisasi pemasangan microcip pada anjing sejak 1-5 Oktober 2018. Hal itu terkait pencegahan Rabies.

Pada jurnal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, rabies merupakan penyakit zoonosis yaitu infeksi yang ditularkan oleh hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR).

Rabies disebabkan oleh virus RNA dan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, yaitu virus yang berbentuk seperti peluru bersifat neurotropis, menular dan ganas. Penyebar virus ini yang paling utama adalah anjing, sisanya adalah monyet, kucing, dan musang.

Pada tulisan Kunadi Tanzil berjudul Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya, ia menyebutkan rabies merupakan virus akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia atau mamalia. Virus ini masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.

Setelah virus rabies ini masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tersebut tetap tinggal di tempat masuk dan di dekatnya, yang kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan adanya perubahan fungsi saraf.

Masa inkubasi dari virus rabies ini sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, dan rata-rata 1-2 bulan. Hal tersebut tergantung pada jumlah virus yang masuk, kemudian berat dan luasnya jaringan yang rusak di tempat gigitan, jauh dekatnya tempat gigitan dengan sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh.

Setelah virus sampai ke otak, maka virus akan memperbanyak diri dan menyebar luas pada semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotelamus dan batang otak.

Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral,virus kemudian menuju perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya.

Pada gigitan di kepala, wajah dan leher, inkubasinya bisa 30 hari, gigitan di lengan, tangan dan jari tangan menjadi 40 hari, gigitan di tungkai, kaki, dan jari kaki bisa menjadi 60 hari, sedangkan gigitan di badan rata-rata 45 hari.

Asumsi lainnya menyatakan bahwa masa inkubasi ini tidak ditentukan kepada jarak saraf yang ditempuh, melainkan tergantung luasnya persarafan pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan di alat kelamin dan jari akan mempunyai masa inkubasi lebih cepat.

Tingkat kematian yang paling tinggi jika terinfeksi virus rabies ini adalah gigitan pada wajah, kemudian tingkat menengah adalah gigitan pada daerah lengan dan tangan, dan tingkat terendah adalah gigitan di tungkai dan kaki.

Gejala Rabies Pada Manusia

Pada tulisan Kunadi Tanzil juga menjelaskan gejala-gejala yang akan timbul setelah terinfeksi virus rabies. Gejala-gejala klinis non spesifik ini berlangsung selama 1-4 hari, ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, gejala gangguan saluran pernafasan, dan gejala gastrointestinal.

Sedangkan gejala prodomalnya biasanya ada keluhan parestesia, nyeri, gatal, dan atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang kemudian akan meluas ke ekstremitas yang terkena tersebut.

Setelah timbul gejala prodromal, rabies akan berkembang menjadi salah satu dari 2 bentuk, yaitu ensefalitik (furious) atau paralitik (dumb). Bentuk ensefalitik ditandai aktivitas motorik berlebih, eksitasi, agitasi, bingung, halusinasi, spasme muskular, meningismus, postur epistotonik, kejang dan dapat timbul paralisis fokal.

Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia dan aerofobia, tampak saat penderita diminta untuk mencoba minum dan meniupkan udara ke wajah penderita. Keinginan untuk menelan cairan dan rasa ketakutan berakibat spasme otot faring dan laring yang bisa menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia timbul akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang otak saraf penghambat nukleus ambigus yang mengendalikan inspirasi.

Gejala ini kemudian berkembang berupa manifestasi disfungsi batang otak. Di mana pada keterlibatan saraf kranial akan menyebabkan diplopia, kelumpuhan saraf fasial, neuritis optik, dan kesulitan menelan yang khas. Air liur berlebihan dan kesulitan dalam menelan menyebabkan gambaran klasik, yaitu mulut berbusa.

Disfungsi batang otak yang muncul pada awal penyakit membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya. Sedangkan gejala paralitik lebih jarang dijumpai. Pada bentuk ini tidak ditemukan hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas, dan kejang. Gejala awalnya berupa ascending paralysis atau kuadriparesis. Kelemahan lebih berat pada ekstremitas tempat masuknya virus.

Gejala meningeal (sakit kepala, kaku kuduk) bisa menonjol walaupun kesadaran normal. Jika parah, pasien akan mengalalami paralisis komplit, kemudian menjadi koma, dan akhirnya meninggal yang umumnya karena kegagalan pernafasan. Tanpa penangnan intensif, umumnya kematian akan terjadi dalam 7 hari setelah onset penyakit.

Gejala Rabies pada Hewan

Lalu pada jurnal Kementrian Kesehatan, dijelaskan gejala yang timbul jika hewan terinfeksi rabies. Diantaranya perubahan perilaku hewan yang tidak mengenal pemiliknya, tidak menuruti perintah pemiliknya, mudah terkejut, kemudian mudah memberontak ketika ada provokasi, selanjutnya takut pada cahaya/sinar sehingga ia akan bersembunyi di bawah tempat tidur, meja, kursi, dan juga gelisah.

Gejala lainnya adalah mengunyah benda-benda di sekitarnya, jika di kandang ia cenderung berjalan mondar-mandir, beringas, menyerang objek yang bergerak, kemudian kelumpuhan tenggorokan, kelumpuhan kaki belakang, dan dalam 10-14 hari mati karena rabies.

Baca juga artikel terkait RABIES atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yantina Debora