Menuju konten utama

Quarter Life Crisis: Kehidupan Dewasa Datang, Krisis pun Menghadang

Benturan antara cita-cita dan kenyataan membuat kaum muda mengalami krisis.

Quarter Life Crisis: Kehidupan Dewasa Datang, Krisis pun Menghadang
Header Diajeng Life Crisis. tirto.id/Quita

tirto.id - “Kupikir aku bakal sukses pada umur 23.”

“Kamu cuma mesti jadi dirimu sendiri di usia segitu.”

“Aku nggak tahu lagi siapa diriku itu.”

Dialog di atas dipetik dari Reality Bites (1994), film yang menarasikan dinamika tantangan dalam keseharian anak-anak muda seiring menjajaki awal fase dewasa.

Tokoh utamanya, Lelaina, digambarkan punya idealisme karier yang super tinggi. Akibatnya, dia cenderung sulit mencari, dan mempertahankan, pekerjaan. Bagi Lelaina, bekerja bukan sekadar untuk cari duit dan oke-oke saja menuruti atasan, tapi juga cara aktualiasi diri.

Ketidaksesuaian antara harapan dan situasi nyata membuat Lelaina dipecat dan kesulitan finansial, bahkan menimbulkan konflik relasional dengan keluarga dan teman-temannya.

Apa kamu yang di kisaran usia 20-an bisa relate dengan Lelaina?

Pada usia 20-an lazim terjadi krisis emosional yang melibatkan kesedihan, isolasi, ketidakcukupan, keraguan terhadap diri, kecemasan, tak termotivasi, kebingungan, takut akan kegagalan—disebut quarter life crisis (QLC). Pemicunya dari masalah seputar uang, relasi, karier, sampai nilai-nilai hidup.

Peneliti dan dosen psikologi University of Greenwich, London, Dr. Oliver Robinson, menuturkan di The Guardian, terdapat empat fase dalam QLC. Pertama, perasaan terjebak dalam suatu situasi, entah terkait pekerjaan, relasi, atau lainnya.

Header Diajeng Life Crisis

Header Diajeng Life Crisis. foto/Istockphoto

Kedua, pikiran bahwa perubahan mungkin saja terjadi. Selanjutnya, periode membangun kembali hidup baru. Terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dianut.

Meskipun lazim dialami kalangan usia 20-an, krisis ini bisa saja berlanjut sampai usiamu 30-an. “QLC tidak secara harfiah terjadi saat kamu memasuki usia seperempat dari total hidupmu, tapi pada seperempat tahap awal perjalananmu menuju kedewasaan. Biasanya periode antara umur 25-35 dan paling banyak pada usia sekitar 30,” ujar Robinson.

“It’s All About The Money”

Teddy (23)—bukan nama sebenarnya—mengaku mengalami QLC sejak usia 22 tahun.

Teddy bercerita, pada umur 19, dia menganggap dunia korporat bikin bego. “Tapi seiring berjalannya waktu, gue mikir [bahwa] jadi pragmatis [itu] enggak bodoh. Malah, mungkin jadi pemimpi [itu] bodoh,” tutur laki-laki yang sudah merampungkan studi magisternya ini.

Pergeseran cara pandang Teddy didorong oleh realita yang menuntutnya lebih menjejak. Situasi keuangan yang kurang aman menjelang lulus kuliah, penuturan teman-teman seumuran yang sudah bergaji dua digit dan mampu mencicil rumah, ikut andil di dalamnya. Seiring itu, Teddy juga merasa perlu menyokong keuangan keluarga.

Impian Teddy untuk berkarier di bidang musik dikesampingkan. Baginya, meneruskan kerja di bidang yang disenanginya itu akan sulit bikin cepat mapan, apalagi dia merasa perlu uang lebih banyak untuk mengasah minat dan bakatnya sampai sempurna.

Ada kalanya Teddy merasa kehilangan dirinya setelah mengulas seberapa jauh ia berbelok arah. Sebagaimana karakter film Lelaina, Teddy sempat merasa putus asa selama kurang lebih setengah tahun ketika harus membenturkan cita-cita dengan realita.

Nilai-Nilai Hidup dan Masalah Keluarga

Selain terkait finansial, idealisme seseorang bisa juga terbentur oleh ekspektasi keluarganya. Tengok kisah Linda. Usianya belum genap 30 tahun ketika ia sudah berkali-kali berkonflik dengan orang tua lantaran perbedaan cara pandang dan pilihan hidup.

“Keluarga saya datang dari latar belakang yang religius banget, ayah saya bahkan seorang tokoh agama. Hal-hal kecil aja diatur, kayak saya yang selalu pakai baju tertutup dan jilbab saat di luar, ditegur sekalinya pakai celana pendek meski di rumah doang. Lalu, kalau saya adu argumen sama orang tua, adik saya bisa memandang saya sebagai kakak yang buruk, durhaka sama orang tua,” jelas Linda.

Krisis dipicu oleh tegangan antara yang dimaui Linda dengan keinginan keluarga. Dia masih ingin mengejar aneka target di luar pernikahan, namun orang tua mendesaknya segera berumahtangga.

Orang tua Linda juga lebih ingin putri sulungnya ini kembali ke rumah mereka di Jawa Tengah daripada tinggal merantau di Jakarta. Desakan tersebut semakin besar begitu ayah Linda sakit keras, sementara ibu Linda menganggap dirinya gagal mengurus suaminya.

“Saya kayak harus milih, mengorbankan mimpi [karier] atau keluarga. Saat Ayah sakit, saya mengetahui pemicu utamanya adalah stres. Setelah cari tahu ke anggota keluarga lain, rupanya Ayah stres karena mikirin saya belum nikah-nikah juga di umur segini,” terang Linda.

Aspek pernikahan memang kerap jadi sumber kecemasan di balik QLC. Dalam survei yang dilakukan Gumtree.com, 86 persen dari 1.100 responden di Inggris menyatakan pernah melalui QLC—32 persen di antaranya mengakui tekanan besar untuk menikah dan punya anak pada usia 30 tahun.

Pemicu-Pemicu QLC

Terdapat sejumlah faktor yang bisa membuat seseorang semakin terdorong ke dalam krisis selama transisi menuju tahap kedewasaan. Salah satunya berkaitan dengan aneka fasilitas dan kemungkinan pada zaman sekarang yang berpotensi menimbulkan stagnasi.

Jika dibandingkan generasi terdahulu, milenial dan generasi setelahnya tergolong beruntung karena dapat mengakses banyak kemudahan untuk dapat hidup lebih baik: dari segi peluang kerja, pendidikan, layanan kesehatan, hingga keamanan.

Soal pekerjaan, seperti ditulis Forbes, generasi terdahulu boleh jadi menganggap tujuan utama bekerja adalah untuk mendapat uang semata, sedangkan sebagian milenial menganggap pekerjaan sebagai pemenuh kebutuhan aktualisasi diri yang harus menyangkut kesenangan pribadi atau bisa membantu mewujudkan impiannya.

Header Diajeng Life Crisis

Header Diajeng Life Crisis. foto/IStockphoto

Cari uang dirasa sebagai hal yang jamak seiring tersedia banyak alternatif lapangan kerja, namun yang dianggap ideal bagi milenial adalah mendapat pekerjaan idaman. Pergeseran ekspektasi inilah yang menyumbang ketidakpuasan dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan, dan ujung-ujungnya QLC.

Saat segalanya cenderung gampang didapat, suatu hal tak lagi dirasa istimewa, kepuasanmu jadi semakin susah terpenuhi, demikian dinyatakan Joan Atwood dan Corinne Scholtz dalam studi tentang QLC di jurnal Contemporary Family Therapy (2008). Mereka memberi analogi berikut: kalau setiap orang bisa pakai jam tangan Rolex dan produknya gampang diperoleh, status dan kesenangan saat memiliki Rolex pun akan berkurang, bahkan lenyap!

Aneka pilihan yang tersaji tentu terikat dengan tanggung jawab. Nah, tak semua orang sanggup menerimanya—terlebih jika mereka belum benar-benar matang secara mental namun dari segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dengan ekspektasi sosial inilah yang mengakibatkan QLC.

QLC berpusar pada masalah identitas seseorang: seperti apa nilai-nilai yang diyakini, dengan apa ia mengafiliasikan diri, hal apa saja yang prinsipil buatnya. Bagaimana ia membentuk dan kemudian menunjukkan identitasnya itu tak lepas dari teknologi yang ada sekarang. Karenanya, hal ini menjadi faktor kedua yang berpotensi memicu QLC.

Melihat QLC dari Perspektif Lain

Mungkin kamu dan sebagian temanmu menganggap QLC menyebalkan sehingga ingin cepat-cepat melaluinya. Tapi apa kamu pernah terpikir bahwa fase hidup ini juga punya sisi terang?

Menurut Atwood dan Scholtz, perasaan hilang arah atau tak punya pegangan, bahkan tujuan hidup, bisa menjadi titik awal untuk melakukan pencarian jati diri. Setelah melakukan evaluasi dari situasi yang ada, kamu dapat menentukan dengan jujur apa yang sebenarnya ingin dicari, apa yang bisa membahagiakanmu meskipun hal itu berbeda dengan kemauan orang-orang terdekat.

“Anak-anak muda mungkin beralih dari satu relasi ke relasi lain, pekerjaan demi pekerjaan, bukan karena mereka tak mampu berkomitmen, melainkan komitmen mereka berbeda. Mereka berkomitmen justru kepada diri mereka sendiri—untuk mencari makna dan tujuan hidup, mengejar kebahagiaan dan kebebasan masing-masing apa pun bentuknya,” tulis Atwood dan Scholtz.

Dalam artikel “Why Millenials Need Quarter Life Crisis” di Psychology Today, Caroline Beaton menyatakan QLC bisa jadi pengingat buatmu agar terus berjuang maju dalam hidup. QLC adalah tentang ketidakpastian, dan dari situ pula, kamu dapat menangkap bahwa tak ada hal yang permanen di dunia ini, termasuk krisis yang kamu alami sendiri.

Terkadang, QLC membuatmu ingin terus berlari atau melawan. Namun, semakin jauh atau cepat kamu berusaha keluar dari krisis, semakin nihil hasilnya. Alternatif tindakan saat badai QLC menerpa tak lain ya mencoba menerima hidup pada saat itu—walaupun belum benar-benar sesuai kehendakmu.

Itulah yang dilakukan Linda dan Teddy terkait isu keluarga atau situasi finansialnya. Mereka mengaku lebih banyak mengalah, bernegosiasi, dan berkompromi untuk mencegah situasi jadi kian rumit. Formulanya sederhana, seperti judul lagu lawas The Rolling Stones, You Can't Always Get What You Want.

*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih