Muchdi PR sebetulnya telah mendukung Jokowi sejak Pemilu 2014. Dia juga ofensif ke Prabowo. Ketika itu ia adalah kader PPP, partai yang sebetulnya mendukung bekas sejawatnya itu.
Kontras merasa janji penegakan HAM Jokowi hanya manis di bibir karena faktanya terduga pelanggar HAM justru disambut baik ketika bergabung ke tim kampanye.
Prabowo-Sandi ternyata lebih populer ketimbang Jokowi-Ma'ruf di kalangan PNS dan pejabat desa/kelurahan. Ini bukti kalau program petahana tak serta merta terkonversi jadi dukungan politik.
Jokowi memiliki Ma'ruf Amin, didukung NU, mencetuskan hari santri, menggelar peringatan hari besar Islam di Istana Negara. Tapi mengapa elektabilitasnya di pemilih muslim turun?
Kubu Jokowi dan Prabowo sama-sama belum punya fokus terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan. Yang satu mengeluhkan biaya mahal, satu lainnya malah punya ide perbanyak sawit untuk sumber energi.
Survei LSI Denny JA menyatakan suara pemilih muslim untuk Jokowi-Ma'ruf mengalami penurunan. Lantas bisakah kehadiran BTP menjadi magnet elektoral PDIP dan Jokowi?
Ma’ruf Amin seperti menyalahkan partai pengusung jika seandainya hasil Pilpres 2019 nanti tak sesuai harapan. Padahal tidak semestinya ia berkata demikian.
Jokowi bilang kalau ada pihak yang sedang melancarkan Propaganda Rusia. Dia tak menyebut siapa, sama seperti ketika Ahmad Dhani bicara soal penistaan agama.
Blunder Jokowi dan timnya dinilai belum dimanfaatkan secara optimal oleh tim Prabowo. Akibatnya, elektabilitas mereka dalam sejumlah survei masih tertinggal di bawah Jokowi.
Prabowo doyan membangun narasi kebocoran anggaran sejak 2014. Namun ucapannya tidak diikuti pembuktian atau pelaporan hukum. Sehingga Prabowo narasinya dianggap cuma ocehan politis.
Klaim Jokowi soal tak pernah takut memutuskan kebijakan dinilai hanya pencitraan. Sebab, selama memimpin terdapat kebijakan yang berubah setelah mendapat tekanan publik.