tirto.id - Gelar “cak” dan "jancuk" yang disematkan kepada capres petahana Joko Widodo (Jokowi) menuai kontroversi. Presiden RI ke-7 ini mendapat gelar "Cak Jancuk" saat menghadiri Deklarasi Forum Alumni Jatim di Surabaya, Sabtu (2/2/2019) lalu. Lantas, bagaimana sejarah dan asal-usul panggilan "cak" serta istilah "jancuk"?
Istilah "cak" dan “jancuk” itu diucapkan oleh Djadi Galajapo selaku pembawa acara dalam kegiatan tersebut. Djadi beralasan, "cak" dan "jancuk" adalah dua istilah atau dialek khas Jawa Timur, sama sekali tidak ada maksud menghina atau melecehkan.
Khusus untuk "jancuk"--yang dapat dimaknai dengan negatif, meskipun juga bisa berkesan positif–Djadi mengatakan, istilah tersebut merupakan kepanjangan dari "Jantan, Cakap, Ulet, dan Komitmen". Selain itu, istilah "jancuk" juga telah menjadi simbol spirit perjuangan khas arek-arek Surabaya.
Dayat Suryana dalam buku Provinsi-provinsi di Indonesia (2012) menjelaskan, Bahasa Jawa Timuran seringkali dianggap bukan Bahasa Jawa baku. Ciri khas bahasa ini adalah egaliter, blak-blakan, dan seringkali mengabaikan tingkatan layaknya Bahasa Jawa yang baku, sehingga terkesan kasar.
Namun demikian, lanjut Suryana, penutur Bahasa Jawa Timuran biasanya dikenal fanatik dan sangat bangga dengan bahasanya, bahkan merasa lebih akrab dengan menggunakan istilah-istilah yang barangkali terdengar "tidak sopan" itu.
Salah satu sub-etnik penutur Bahasa Jawa Timuran yang paling berkarakter adalah bahasa "Suroboyoan" atau "Malangan". Dialek bahasa ini dituturkan masyarakat Jawa Timur bagian tengah dan timur, atau di daerah-daerah yang tidak berdekatan dengan perbatasan wilayah Jawa Tengah di sisi barat.
Tulisan Sugeng Adipitoyo berjudul "Orang Jawa Sub-etnik Surabaya", terhimpun dalam buku Penguatan Identitas Budaya Lokal Jawa Timur: Mencari Jejak Kearifan Lokal (2015), menyebutkan, orang Jawa "Suroboyoan" mencakup mereka yang berada di Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, Jombang, Gresik, Pasuruan, Batu, dan Malang, serta sebagian kecil Lamongan dan Kediri.
Jika di Jawa Tengah dan Yogyakarta istilah untuk memanggil laki-laki yang dianggap lebih tua menggunakan kata "mas", di Jawa Timur dan sebagian Madura seringkali memakai kata "cak". Kata "cak" ini juga terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kata "cak" digunakan sebagai bentuk penghargaan terhadap laki-laki yang lebih tua atau dituakan. Beberapa publik figur, biasanya kelahiran Jawa Timur, bahkan lekat dengan sematan ini, sebut saja Cak Nun untuk Emha Ainun Nadjib atau Cak Nur untuk Nurcholis Madjid yang sama-sama kelahiran Jombang. Ada juga, misalnya, Cak Lontong, komedian asal Magetan yang bernama asli Lies Hartono, dan masih banyak lagi.
"Jancuk" Ala Djadi Galajapo
Kata "jancuk" terkadang memang menjadi persoalan karena memuat makna bersayap yang bisa digunakan sesuai konteks pemakaiannya. Pada satu sisi, kata ini lekat dengan konotasi negatif, yakni umpatan atau makian dalam arti yang sebenarnya. "Jancuk" disebut-sebut berasal dari kata "ancuk" atau "diencuk" yang artinya "bersetubuh".
Maka, ketika seseorang sedang marah--sungguh-sungguh murka--, kata "jancuk" yang keluar dari mulutnya memang benar-benar ekspresi kemarahan, baik itu ditujukan kepada orang lain atau hanya umpatan yang terlontar begitu saja.
Umpatan semacam ini sudah sangat populer di Jawa Timur, terutama Surabaya, Malang, dan sekitarnya, sejak sangat lama. Saat perang mempertahankan kemerdekaan pada 1945, misalnya, kata-kata "jancuk" atau selentingan "cuk" kerap dilontarkan para pemuda atau kaum pejuang di Surabaya.
Pada sisi lain, kata "jancuk" juga bisa bermakna positif. Dikutip dari buku berjudul La Femme (2002) terbitan Laela Majnun Literary Syndicate, dalam lingkup pergaulan anak muda, kata "jancuk" sudah berubah makna dan fungsi, yaitu sebagai salam persahabatan.
Orang yang dipanggil "jancuk" atau "cuk" dalam konteks di luar ekspresi kemarahan, tidak akan merasa tersinggung, karena itulah sapaan akrab di lingkungan mereka, seperti halnya panggilan "bro" atau semacamnya.
Istilah "jancuk", sekali lagi, dapat menjadi ekspresi persahabatan atau keakraban, bahkan kebanggaan. Budayawan Sujiwo Tejo, misalnya, mempopulerkan kata ini menjadi semacam identitas. Ia menasbihkan diri sebagai "Presiden Jancukers".
Nah, "jancuk" yang disematkan Djadi Galajapo kepada Jokowi boleh jadi juga bermakna persahabatan, keakraban, bahkan penghormatan. Djadi Galajapo adalah komedian kawakan asli Surabaya yang sehari-harinya akrab dengan kata "jancuk", dalam pemaknaan apapun.
Djadi Galajapo, tulis Doan Widhiandono dalam buku H.M. Cheng Ho Djadi Galajapo: 30 Tahun Mbanyol di Jawa Pos (2014), memang lahir, tumbuh, hingga membesar di sekitar Surabaya. Tentu, ia akrab dengan kata "jancuk" yang begitu khas.
Sebagian orang, lanjut Doan, memaknai kata itu sebagai umpatan kasar yang levelnya begitu tipis dengan kekurangajaran. Bagi Djadi, sebaliknya, kata "jancuk" justru bisa bermakna positif.
Djadi sendiri mengiyakan penilaian Doan. Terungkap dalam buku yang sama, Djadi pernah berkata, "Saya ini satu-satunya pelawak, satu-satunya MC yang berani bilang jancuk di hadapan pejabat. Boleh dibilang begitu."
Ya, memang seperti itu. Jauh sebelum menyematkan gelar "jancuk" kepada Jokowi, Djadi pernah mengucapkan kata serupa dalam peringatan Hari Ulang Tahun Kota Surabaya tanggal 31 Mei 2010 di depan Bambang Dwi Hartono (Bambang D.H.), Wali Kota Surabaya saat itu.
Lantas, apa reaksi Bambang D.H.? Ia justru tertawa terbahak-bahak. Bahkan, di hadapan audiens, sang wali kota berkata bahwa sejatinya, kata "jancuk" itu sudah meresap dalam etos kerja para pamong praja yang dipimpinnya.
"Jancuk itu adalah Janji Cerdas, Ulet, Kreatif," seru Bambang D.H. yang disambut tepuk tangan meriah dari seluruh pengunjung yang, dalam istilah Doan, sedang di-jancuk-i.
Maka, dengan melihat jejak rekamnya, gelar "jancuk" yang disematkan Djadi Galajapo kepada Jokowi termasuk dalam konteks positif, bahkan bisa saja merupakan ekspresi pujian, kasih sayang, atau upaya Djadi untuk mengakrabkan diri dengan Presiden RI ke-7 itu.
Editor: Mufti Sholih