Menuju konten utama

Putusan MA Bikin Sopir Taksi Online "Bulan Madu" Lagi

Putusan Mahkamah Agung (MA) mencabut sebagian aturan ihwal taksi online malah menambah persoalan baru.

Putusan MA Bikin Sopir Taksi Online
Pengemudi taksi online mengikuti aksi menolak Permenhub No.108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek di depan Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (29/1/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Jenal Aripin sesekali tertawa lepas saat kami berbicara panjang lebar soal pekerjaannya sebagai sopir taksi online. Pria berumur 26 tahun ini termasuk yang rajin memantau perkembangan dunia taksi online. Saat Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk mencabut sejumlah pasal dari aturan taksi online jadi suka cita buatnya.

“Yah rugi dong yang sudah di-KIR. Tapi salah mereka juga [pengemudi online] sih. Sudah tahu pelatnya hitam, tapi mau-mau aja disuruh KIR,” kata Jenal kepada Tirto.

Jenal merupakan satu dari sekian banyak pengemudi online yang menolak aturan taksi online yang dibuat pemerintah melalui Kemenhub. Alasannya, aturan taksi online yang ada di Permenhub No. 108/2017 tentang angkutan orang dengan kendaraan bermotor tidak dalam trayek, dianggap memberatkan para pengemudi taksi online, yang mensyaratkan beberapa hal khusus seperti wajib KIR hingga stiker.

“Sejak mulai menjadi driveronline pada 2015 hingga sekarang, saya memang belum pernah ikut harus pasang stiker, KIR dan lainnya. Karena saya pikir enggak perlu, cuma mempersulit saja,” katanya.

Keputusan MA mencabut ketentuan aturan soal taksi online oleh pemerintah bukan kali ini saja. Pada tahun lalu, ketentuan yang mengatur taksi online pada Permenhub No. 26/2017 juga memiliki nasib yang sama, yakni dicabut oleh MA. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akhirnya merespon keputusan MA tersebut dengan melakukan sejumlah revisi Permenhub. Kemenhub menerbitkan aturan baru, yakni Permenhub No. 108/2017 pada akhir Oktober 2017.

Aturan taksi online baru itu juga mendapatkan reaksi penolakan dari para sopir taksi online. Pasalnya, isi di dalam aturan baru itu hampir mirip seperti aturan sebelumnya, yakni Permenhub No. 26/2017. Kemenhub tetap ngotot untuk mengatur taksi online, dan memberikan waktu selama tiga bulan atau paling lambat 1 Februari 2018, kepada perusahaan-perusahaan aplikasi dan pengemudi online untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada.

Penolakan Permenhub No. 108/2017 berujung gugatan pada 23 Februari 2018. Pemohon bernama Daniel Lukas Rorong, Hery Wahyu Nugroho dan Rahmatulah Riyadi meminta peninjauan kembali (PK) kepada MA atas aturan taksi online tersebut. Ketentuan di dalam Permenhub No. 108/2017 tersebut hampir mirip seperti aturan sebelumnya, nasibnya sudah bisa diperkirakan. Sebagian pasal yang ada di Permenhub No. 108/2017 diputuskan MA untuk dicabut.

Aturan-aturan yang dicabut antara lain seperti penerapan argometer, kewajiban tanda khusus berupa stiker, STNK atas nama badan hukum, membawa surat tanda bukti lulus uji berkala kendaraan (KIR).

Kemudian, pengemudi wajib terdaftar di dalam badan hukum, memiliki sertifikat registrasi uji tipe (SRUT), larangan perusahaan aplikasi memberikan akses aplikasi kepada individu, hingga larangan bagi perusahaan aplikasi merekrut pengemudi.

Infografik MA Cabut Aturan Taksi Daring

Menambah Persoalan Baru

Para pengemudi online memangtampak merasa diuntungkan, putusan MA itu justru membuat upaya pemerintah melegalkan taksi online menjadi sia-sia. Bahkan, malah menambah persoalan-persoalan baru. Misal, kewajiban pengemudi taksi online untuk terdaftar di dalam badan hukum. Saat ada kewajiban pengemudi taksi online untuk terdaftar di badan hukum, membuat jumlah badan hukum yang menyelenggarakan taksi online meningkat.

Di Jawa Barat, sedikitnya 32 badan hukum mengajukan izin pengoperasian taksi online pada awal 2018. Kala itu, dari 32 badan hukum yang mengajukan izin, hanya 11 badan hukum yang diterima. Dengan putusan MA yang membatalkan kewajiban pengemudi taksi online untuk terdaftar di badan hukum jelas membuat ketar ketir perusahaan. Pasalnya, pendapatan perusahaan berasal dari iuran pengemudi taksi online.

Di sisi lain, menjadi penyelenggara taksi online juga menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari harus memenuhi batas minimal kepemilikan kendaraan sebanyak 5 unit, memiliki garasi yang sesuai dengan jumlah kendaraan, menyediakan bengkel hingga memenuhi izin usaha.

“Apabila badan hukum yang dibentuk hanya untuk kepentingan izin pengemudi taksi online saja, jelas mereka akan rugi. Pendapatannya kan dari iuran pengemudi,” ujar Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Christiansen kepada Tirto.

Kendati demikian, bagi ADO, kehadiran badan hukum tetaplah penting bagi pengemudi taksi online. Badan hukum seperti koperasi bisa menjadi tempat bagi pengemudi untuk berlindung apabila perusahaan aplikasi bertindak sewenang-wenang.

Persoalan baru lainnya yang muncul dari putusan MA tersebut adalah jumlah pengemudi akan membludak, sehingga berpeluang menggerus pangsa pasar transportasi umum lainnya, seperti taksi konvensional. Dalam Permenhub No. 108/2017 disebutkan perusahaan aplikasi dilarang untuk melakukan kegiatan merekrut pengemudi. Namun dalam putusan MA, larangan tersebut dicabut karena dianggap bertentangan di antaranya dengan pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, dianggap tidak menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.

Keberadaan taksi online misalnya di DKI Jakarta dalam empat tahun terakhir yang kian menjamur membuat perusahaan taksi konvensional tertekan. Jumlah armada yang beroperasi berkurang drastis. Misal, operator Taxiku yang sebelumnya mengoperasikan 2.500 unit, kini tinggal 100 unit.

Di lain pihak, jumlah pengemudi taksi online terus bertambah. Kemenhub mencatat jumlah pengemudi dalam tiga minggu di kawasan Jabodetabek saja, bisa bertambah hingga 9.000 pengemudi untuk satu aplikator, dari 166.000 pengemudi menjadi 175.000 pengemudi.

“Agak disayangkan memang [putusan MA]. Selain bisa memengaruhi potensi yang lain [taksi konvensional], sebenarnya juga dapat merugikan driver online itu sendiri,” kata Sekjen DPP Organda Ateng Aryono kepada Tirto.

Putusan MA pada akhirnya membuat regulasi taksi online menjadi tidak pasti. Pemerintah hendaknya segera merancang aturan baru yang win-win solution dengan seluruh pemangku kepentingan, dan jangan maunya sendiri. Untuk sementara para sopir taksi online kembali menikmati masa-masa "bulan madu" lagi.

Baca juga artikel terkait TAKSI ONLINE atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra