tirto.id - Menjelang pemilihan presiden, aksi dukung-mendukung selalu muncul dari berbagai kelompok atau komunitas, termasuk kelompok purnawirawan TNI. Salah satu figur purnawirawan yang menarik untuk diamati adalah Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy (Akmil 1971), dengan jabatan terakhir sebagai Kasum TNI.
Perilaku politik Suaidi bisa menjadi representasi sikap purnawirawan pada umumnya. Setelah lama tak terdengar karena “tenggelam” di kubu Cikeas, tiba-tiba ia kembali muncul dalam sebuah deklarasi relawan Jokowi-Ma’ruf Amin. Setelah menjadi purnawirawan, karier politik Suaidi berjalan zigzag. Ia sempat bergabung ke kubu Wiranto sampai saat pendirian Partai Hanura. Namun karena Wiranto gagal pada Pilpres 2004, Suaidi loncat ke kubu SBY. Mungkin tak ada publik yang tahu sejak kapan Suaidi menjauh dari Cikeas lalu merapat ke kubu Jokowi.
Manuver Suaidi bisa dijadikan jendela untuk memahami betapa pragmatisnya para purnawirawan. Loyalitas menjadi barang mahal karena yang mereka cari sejatinya adalah akses menuju kekuasaan. Jika tokoh yang dibela gagal meraih kekuasaan, tentu akan ditinggalkan. Untuk perkara yang lebih substansial, soal ideologi misalnya, sungguh di luar imajinasi kaum purnawirawan tersebut.
Diaspora Lulusan Akmil
Dalam sebuah arus besar, selalu ada pengecualian kecil, termasuk dalam hal loyalitas purnawirawan. Dalam kubu Prabowo Subianto (PS) misalnya, terdapat nama yang memang sejak awal sudah mendukung Prabowo, termasuk ketika PS berkali-kali gagal di bilik suara. Setidaknya ada dua purnawirawan yang kesetiaannya pada PS tidak diragukan, yaitu Mayjen Purn Gleny Kairupan (Akmil 1973) dan Letjen Purn Yohanes Suryo Prabowo (Akmil 976).
Gleny, teman dekat Prabowo sejak taruna, sudah bergabung dengan Gerindra sejak awal pendirian partai. Sementara Suryo Prabowo adalah kolega PS di Kopassus dan Kostrad, dan selalu bersama saat bertugas di Timor Timur, sampai-sampai Suryo Prabowo sempat ditugaskan sebagai Wagub Timor Timur. Namun, mereka ini minoritas. Para purnawirawan lainnya seperti diaspora; bisa ke mana-mana dan bisa pindah kubu pada periode berikutnya, sebagaimana gambaran figur Suaidi di atas.
Lulusan Akmil 1965 acapkali digunakan sebagai rujukan soal keterlibatan purnawirawan dalam tim sukses. Keterlibatan mereka sudah dimulai pada Pilpres 2004, saat pemilihan langsung pertama kali diadakan. Purnawirawan (asal) Akmil 1965 tersebar di berbagai kubu dan biasanya memegang posisi kunci. Dalam kubu Megawati misalnya, terdapat nama Mayjen (Purn) Theo Sjafei, figur kepercayaan Megawati sejak lama. Theo adalah jenderal yang masuk dalam lingkaran Benny Moerdani, yang memang sudah memiliki agenda untuk mengorbitkan Megawati sejak Orde Baru.
Kemudian ada lagi Letjen (Purn) M. Maruf dan Mayjen (Purn) Syamsir Siregar yang bergabung dalam di tim sukses SBY-Jusuf Kalla. Ketika SBY keluar sebagai pemenang Pilpres 2004, M. Maruf sempat masuk dalam kabinet sebagai Mendagri dan Syamsir Siregar sebagai Kepala BIN. Sulit untuk tidak melihat pengangkatan Maruf dan Syamsir sebagai bagian dari politik “balas budi” SBY. Kompensasi yang konkret seperti ini tentu menjadi daya tarik tersendiri dan melanggengkan tren purnawirawan sebagai tim sukses atau relawan.
Bila peran eksponen Akmil 1965 demikian signifikan pada Pilpres 2004 (dan 2009), hal itu tidak dilepaskan dari rekam jejak lulusan Akmil 1965 sendiri. Alumni Akmil 1965 berjumlah besar, sehingga output-nya yang menjadi jenderal pun besar dan dengan sendirinya berdampak pada populasi purnawirawan jenderalnya. Begitu pula yang terjadi pada generasi sesudahnya, seperti Akmil 1971 (angkatan Suaidi Marasabessy) dan Akmil 1981. Kondisi lulusan Akmil 1971 dan Akmil 1981 hampir mirip dengan Akmil 1965: yang masuk level pati relatif besar dibanding generasi lainnya dan sebagian di antaranya muncul sebagai sosok ternama.
Selain Suaidi, pada Akmil 1971 terdapat nama Endriartono Sutarto dan Kiki Syahnakri, yang punya karir cemerlang di militer. Bahkan Kiki kini sudah muncul sebagai penulis produktif untuk isu ‘kebangsaan’. Ada juga yang punya kesan tokoh “antagonis” seperti Kivlan Zen, yang karena terlalu ekstrem, justru kurang mendapat tempat di mana pun.
Orang Dekat Prabowo
Purnawirawan asal Akmil 1981 sudah memulai memainkan peranannya terutama di kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Selain Moeldoko, masih ada nama lain lagi seperti Lodewijk Paulus (Sekjen Golkar), Andogo Wiradi (terakhir Deputi V KSP), Winston Simanjuntak (terakhir Pangdam I/BB). Kecuali Moeldoko, nama-nama lainnya berasal dari Baret Merah (Kopassus) dan dikenal dekat dengan Prabowo Subianto (PS) saat masih sama-sama bertugas di Kopassus dan Kostrad dulu.
Sekadar informasi tambahan, saat bertugas di Kopassus, Lodewijk lebih sering bertugas di satuan antiteror yang di masa lalu bernama Detasemen 81. Saat sudah berganti nama menjadi Satgultor 81, Lodewijk sempat menjadi komandannya. Perwira yang bisa masuk pimpinan Detasemen 81, biasanya memiliki kedekatan khusus dengan PS. Demikian pula Andogo Wiradi, yang pernah menjadi Komandan Bataliyon 328 Kostrad pada pertengahan 1990-an. PS pernah menjadi Komandan satuan ini juga, setelahnya ia memiliki semacam privilese untuk menentukan Danyon 328 berikutnya, salah satu yang pernah terpilih adalah Andogo Wiradi.
Bila kemudian mereka terlihat “membelakangi” PS, tentu ada alasannya sendiri. Mungkin salah satunya berkat kecanggihan Luhut Binsar Panjaitan (LBP, Akmil 1970) dalam menggalang purnawirawan, termasuk purnawirawan yang sebelumnya dianggap dekat dengan PS. Sama seperti PS, LBP juga berasal dari Baret Merah yang sama-sama merintis pembentukan Detasemen 81. Namun, dalam konfigurasi politik purnawirawan hari ini, LBP lebih dicitrakan sebagai antitesis figur PS.
Dari narasi ini kita pun paham bahwa sejatinya tidak ada “ideologi” yang permanen bagi purnawirawan ketika mendukung salah satu kandidat. Semuanya berdasarkan pragmatisme menuju kekuasaan. Untuk figur sekelas LBP atau Djoko Santoso (Akmil 1975, Koordinator Nasional tim sukses PS), kompensasi yang bakal didapat jelas sebanding dan bersifat langsung, bila kandidat yang didukungnya meraih kemenangan. Mereka akan langsung masuk kabinet, dengan posisi menteri yang kemungkinan besar bisa mereka pilih sendiri, seperti almarhum M. Maruf dan Syamsir Siregar (Akmil 1965) dulu.
Antara Petarung dan Relawan
Mengikuti pilpres atau pilkada hanyalah
salah satu cara untuk memenuhi aspirasi kekuasaan, meski hasilnya tidak selalu sesuai harapan, mengingat berdasar catatan selama ini, purnawirawan lebih sering menuai kekalahan. Bahkan purnawirawan sekelas Agum Gumelar (Akmil 1968) saja, bisa mengalami kekalahan, baik dalam pilpres (2004) maupun pilkada (Jabar, 2008).
Cara lain yang bisa ditempuh adalah bergabung dengan partai, yang biasanya memberikan kemudahan pada purnawirawan pati untuk masuk jajaran elite, seperti Letjen TNI (Purn) Lodewijk F Paulus (Akmil 1981) yang demikian mulusnya saat ditetapkan sebagai Sekjen Partai Golkar. Para purnawirawan (khususnya strata pati) tetap memperoleh posisi khusus dalam masyarakat kita—sebuah tradisi yang sudah berlangsung lama. Mereka seakan memiliki privilese yang tidak diperoleh kelompok pensiunan kelembagaan sipil.
Terkait pemilu dan pilpres, secara singkat ada dua peran yang biasa dijalankan oleh kaum purnawirawan, yakni maju langsung dalam kontestasi atau sekadar sebagai tim sukses. Pilihan peran ini memiliki konsekuensi yang berlainan pula, salah satunya soal resiko yang ditanggung, bahwa menjadi tim sukses relatif lebih mudah dibanding figur yang terjun langsung dalam kontestasi.
Terjun ke kontestasi politik membutuhkan sumber daya yang lebih besar, khususnya dana. Hanya purnawirawan sekelas Prabowo, yang berlatar belakang keluarga kaya-raya (keluarga besar Sumitro Djojohadikusumo), yang sanggup maju secara rutin sejak Pilpres 2004. Sementara purnawirawan jenderal lain, terlebih dengan sumber daya lebih terbatas, akan lebih nyaman masuk tim sukses.
Pertanyaan berikut yang bisa diajukan, mana yang lebih bermakna bagi seorang purnawirawan: maju sebagai petarung (seperti PS), atau sekadar jadi relawan? Jika dihubungkan dengan latar belakang para purnawirawan tersebut yang rata-rata berasal dari kecabangan infanteri, sebenarnya mereka memang lebih teruji ketika mereka maju langsung, sesuai kebiasaan pasukan infanteri yang selalu berada di garis depan dalam medan tempur.
Namun, semuanya kembali ke pilihan masing-masing. Bisa jadi pola pikir memang sudah berubah setelah purnawirawan. Pada titik ini pilihan Prabowo menjadi penting, dia tetap maju ke palagan, meski tidak ada jaminan bakal menuju kejayaan.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.