tirto.id - Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana menyebutkan selama Januari 2019 hingga penghujung Februari 2019 ini, perbincangan mengenai politik identitas dalam laku kampanye pemilu Indonesia tidak terlalu banyak.
Namun menurutnya, politik identitas menyeruak kembali ketika Neno Warisman membacakan puisi doanya dalam acara Munajat 212 di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, pada Jumat (21/2/2019) malam.
"Kemudian jadi bahan debat, 'apakah momentum Munajat 212 itu kampanye atau bukan?' [acaranya] menjadi rusak," ujarnya kepada Tirto, Minggu (24/2/2019).
Aditya menilai momentum Munajat 212 yang digadang sebagai kegiatan keagamaan, menjadi membingungkan karena dihadiri oleh tokoh-tokoh seperti Neno Warisman yang diketahui sebagai Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga.
"Ketika dikatakan forum itu bukan forum kampanyenya 02, tapi Neno adalah wakil ketua BPN dan di forum itu banyak petinggi BPN. Bahkan ada pose dengan atribut meski tidak ada bendera. Hanya secara verbal. Bawaslu lah yang bertindak," tuturnya.
Sehingga, menurutnya, tak bisa juga disalahkan apabila persepsi masyarakat memandang Munajat 212 bukan semata-mata demi kepentingan keagamaan saja.
Aditya menambahkan dampak yang timbul dari puisi doa yang disampaikan Neno kian mengobarkan api di antara dua pendukung pasangan calon presiden.
Ditambahkan oleh sirkulasi informasi yang sengaja dibiarkan berputar-putar di kalangan mereka saja.
"Informasi politik identitas itu hanya berputar di lingkungan mereka. Misalnya, ada satu meme dan itu berputar di mereka saja, entah di whatsapp grup mereka. Itu makin menguatkan identitasnya mereka. Ketika dilempar ke lawannya akan muncul resistensi," ujarnya.
Ia menambahkan, "Bagaimana cara mengkomunikasikanya ini, kalau setiap waktu dicekokin informasi dan berita-berita tentang pihak dia yang paling benar. Itu bahaya."
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari