Menuju konten utama
Hari Puisi Sedunia

Puisi, dari Dekat

Untuk ikut merayakan Hari Puisi Sedunia 2017 dari dekat, Tirto mewawancarai dua penyair muda Indonesia, Dwiputri Pertiwi dan Heru Joni Putra.

Puisi, dari Dekat
Dwiputri Pertiwi. Foto/doc.pribadi

tirto.id - Pada 1999, dalam satu Sidang Umum di Paris, UNESCO menetapkan 21 Maret sebagai hari puisi sedunia. Tanggal itu dipinjam bukan dari hari lahir seorang penyair besar atau penerbitan buku puisi penting, melainkan hari pertama musim semi di belahan utara Bumi. UNESCO tidak menerangkan pilihan itu lebih jauh.

Namun, untuk urusan itu, mereka mengaku telah melibatkan sekitar 50 organisasi nasional, regional, dan internasional yang mengurusi puisi (dalam survei) dan 15 penyair/perwakilan dari pusat-pusat perpuisian di pelbagai wilayah geokultural (dalam rapat di markas UNESCO, 29 Maret 1999).

Lewat Hari Puisi Sedunia dan kegiatan-kegiatan turunannya, UNESCO bermaksud “mendukung keragaman linguistik melalui ekspresi puitis”; “menawarkan kesempatan kepada bahasa-bahasa yang terancam punah buat didengarkan dalam komunitas masing-masing”; “menggalakkan tradisi pembacaan puisi lisan”; serta “menyebarkan pengajaran puisi, memulihkan dialog antara puisi dan bidang-bidang seni lain, menyokong penerbit-penerbit kecil, dan menciptakan citra puisi yang menarik di media—agar seni puisi tidak lagi dianggap kedaluwarsa.”

Menurut lembaga tersebut, dalam dua puluh tahun terakhir ada pertumbuhan minat yang besar terhadap puisi, “dalam bentuk penyebaran kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan puisi di pelbagai negara anggota serta peningkatan jumlah penyair.” Di sisi lain, mereka beranggapan bahwa di dunia masa kini ada “kebutuhan estetik yang belum terpenuhi”, dan “puisi dapat memenuhinya jika peran sosialnya sebagai cara komunikasi intrapersonal diakui.”

Penjelasan UNESCO yang simplistik, berjarak, dan birokratis itu tentu tak memadai. Ia tak dapat menjawab pertanyaan “Mengapa puisi penting?” Ia tak sanggup menjelaskan mengapa, misalnya, Yiannis Ritsos rela menghabiskan cadangan kertas rokoknya selama di penjara untuk ditulisi puisi? Atau, mengapa Luís de Camões memilih menyelamatkan naskah puisinya—bukan pacarnya—saat kapal yang mereka tumpangi karam di perairan Kamboja?

Mengapa membaca puisi? “Jika aku membaca buku dan ia membuat sekujur tubuhku menggigil sehingga tak ada api yang sanggup menghangatkanku, aku tahu itulah puisi,” tulis Emily Dickinson dalam satu suratnya. Dan Wallace Stevens menulis bahwa tugas para penyair ialah “membantu orang-orang menjalani hidup mereka” dengan cara, salah satunya, “memberi hidup segala rasa yang mungkin dikandungnya.”

“Sekali waktu, Paradise Lost (puisi epik karya John Milton) hanya dicetak 1.500 eksemplar dan ia membentuk ulang bahasa Inggris,” tulis Daniel Halpern, mengutip jawaban Robert Hass, dalam artikelnya “A Few Questions for Poetry” yang diterbitkan New York Times pada 30 Desember 2016. “Puisi memberi kita sebuah arsip. Arsip terbesar pikiran dan perasaan umat manusia yang diciptakan oleh orang-orang yang sanggup mengolah pengalaman secara utuh dan akurat ke dalam bahasa.”

Untuk ikut merayakan Hari Puisi Sedunia 2017 dari dekat, Dea Anugrah dari Tirto mengajak bicara dua penyair muda Indonesia, Dwiputri Pertiwi dan Heru Joni Putra, serta mencari tahu pandangan-pandangan mereka tentang puisi secara umum, kerja kepenyairan, dan situasi puisi di Indonesia masa kini.

Bagi pembaca karya-karya sastra Indonesia mutakhir, Heru Joni Putra bukanlah nama yang asing. Ia telah menerbitkan banyak puisi di Koran Tempo, Kompas, dan Horison dalam lebih dari lima tahun terakhir. Kini ia menyiapkan manuskrip buku kumpulan puisi berjudul Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa.

Dwiputri Pertiwi menulis buku kumpulan puisi Hiatus (2014) dan Visions of Mundane Madness (2015). Pada 2014, Jakarta Globe menyatakan bahwa puisi-puisi Dwiputri dalam Hiatus “Terasa ramah meskipun ia bergerak di antara emosi-emosi yang beragam, bermain-main dalam jukstaposisi antara kedekatan dan kesumiran”, dan “penuh referensi” tetapi “tidak membuat pembaca terasing, bahkan menerbitkan rasa akrab tertentu.”

WAWANCARA DENGAN DWIPUTRI PERTIWI

Menurutmu, sekarang apa hal paling penting untuk dibicarakan tentang puisi? Bentuk baru? Visi?

Kupikir bentuk mesti selalu mengikuti isi, tak peduli anggapan itu terkesan kuno. Jadi, visi seorang penyair—yang merupakan sumber apa-apa yang ia hendak sampaikan—harus didahulukan. Bentuk bakal menyusul dengan sendirinya.

Penekanan pada bentuk berbahaya karena kemungkinan besar ia akan membatasi hal-hal yang perlu disampaikan.

Aku tidak percaya ada yang benar-benar baru di dunia ini. Wajar jika puisi kembali ke bentuk-bentuk yang sudah ada. Maka, visi penting karena ia menentukan bagaimana penyair menangani hal-hal yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Selalu ada lebih dari satu cara untuk memandang segala sesuatu, bahkan hal sebiasa sebutir kerikil di trotoar.

Salah satu kerja terpenting bagi penyair, kukira, adalah mencari suara (termasuk bahasa) yang otentik. Apakah bagimu suara itu semata konsekuensi dari visi? Atau, kamu punya "strategi" yang spesifik untuk mencari suaramu?

Kupikir ada dua “suara” dalam karyaku. Suara puitis (yang secara sengaja kupisahkan dari cara bicaraku) dan suaraku “yang sebenarnya.” Penggunaannya tentu tergantung apa yang aku ingin sampaikan, atau dengan kata lain: ia berasal dari visi.

Tetapi aku tidak mau terlalu jauh dengan menyebutnya strategi. Perhitungan yang berlebihan bisa berbalik dan membuat puisi gagal menyampaikan pesannya.

Pada akhirnya, tugas penyair adalah jujur kepada dirinya sendiri. Saat kamu berusaha terlalu keras untuk membuat kesan tertentu, kamu malah akan mencederai puisi itu sendiri.

Kamu menyebut dua baris pertama "Howl" (karya Allen Ginsberg) sebagai "The first two lines of the rest of my life" dalam salah satu puisimu. Tentang visi, apakah kamu ingin meneruskan kerja Ginsberg (bicara tentang pembusukan dunia modern, misalnya)? Di titik apa kamu pikir kamu menyimpang dari apa-apa yang telah dia kerjakan dan membuat jalanmu sendiri?

Masalah Ginsberg adalah ia semakin lama semakin tenggelam dalam gelembungnya sendiri, dalam dirinya sendiri. Hasilnya adalah puisi-puisi yang nyaris tak terpahami tanpa memahami biografinya.

Aku mengagumi semangat Ginsberg, dan itulah yang aku coba sadap. Ia mengacungkan jari tengahnya kepada masyarakat yang ia benci dan aku ingin “meneruskan” itu, walaupun aku membayangkan cara yang sangat berbeda untuk melakukannya.

Kamu juga menulis "what is there to write about if we do not read our own lives?" Bagaimana kamu, sebagai penyair, membaca kehidupanmu sendiri? Bagaimana kamu mengolah kesadaran bahwa kamu adalah 1) bagian dari dunia pascakolonial, tetapi 2) mendapat privilese untuk memperoleh pendidikan barat dan 3) perempuan dan 4) menulis dalam bahasa Inggris?

1. Aku selalu sadar bahwa aku berasal dari dunia ketiga. Mendapat privilese dan keberuntungan untuk tinggal di negara-negara yang, mungkin, lebih maju membuat teman-temanku selalu mengingatkan hal itu. Aku tumbuh besar dengan banyak pengalaman diskriminatif, tetapi justru pengalaman-pengalaman itulah yang membentukku sebagai manusia. Aku tidak ingin dinilai berdasarkan “siapa aku” tetapi “apa yang bisa kulakukan.”

2. Hal itu memungkinkanku untuk membuat perbandingan. Aku bisa melihat kelebihan dan kekurangan pada lebih dari satu masyarakat, dan itu jelas pengalaman yang “membukakan mata.” Aku bersyukur telah mengalaminya betapapun kadang-kadang ia terasa berat.

3. Aku tidak mau sibuk menggarisbawahi identitasku sebagai perempuan. Tentu aku menyadari identitasku sebagai perempuan, tapi aku tidak mau menjadikannya, katakanlah, faktor yang kuunggulkan. Impian dan tujuanku adalah menulis puisi-puisi yang terkesan dapat ditulis baik oleh laki-laki maupun perempuan. Poetically androgynous begitulah. Haha.

4. Bahasa Inggris adalah bahasa yang membentukku. Aku dididik terutama dalam bahasa Inggris. Aku tidak menganggapnya mempunyai efek tertentu yang memperkuat [puisiku]. Aku menulis dalam bahasa Inggris karena 1) aku ingin menulis dalam bahasa yang benar-benar kukuasai sehingga aku sanggup mengutarakan gagasan-gagasanku dengannya dan 2) aku mencoba memandang hidupku di Indonesia saat ini dari perspektif linguistik yang berbeda, dengan harapan ia bakal menyingkapkan sesuatu yang baru atau unik tentang sekitarku.

"Perspektif linguistik yang berbeda" ini menarik. Kamu merasa punya kedekatan dengan Derek Walcott dan penyair-penyair seperti dia (yang berasal dari dunia ketiga tetapi menulis dalam bahasa dunia pertama)?

Aku belum membaca karya-karya Walcott. Agak sulit menunjuk nama-nama penyair yang kuanggap mempengaruhiku karena moodku gampang berubah. Hahaha. Tetapi aku selalu menyukai penyair yang menulis tanpa dramatisasi berlebihan. Sekali lagi, menurutku, penyair-penyair terbaik berbicara tentang hal-hal paling biasa dengan cara-cara yang paling menghentak pikiran.

Waktu baca bukumu, aku teringat, salah satunya, Wislawa Szymborska. Dan, di bagian-bagian tertentu, Octavio Paz.

Paz memang penting buatku. Hehe. Aku senang kamu menyebutnya!

Kamu baca karya-karya penyair seumuran/segenerasimu (tidak harus yang menulis dalam bahasa Indonesia)? Kalau iya, menurutmu bagaimana situasi umum puisi hari ini?

Sejujurnya aku tidak begitu banyak membaca penulis seumuranku, tetapi dari yang kutahu, sepertinya ada dua kecenderungan: 1) pengungkapan perasaan yang berlebihan dan 2) isi yang politis. Aku tidak bisa mengatakan mana yang lebih baik. Bagiku, yang menarik adalah bagaimana tiap-tiap penyair punya pendekatan tersendiri.

Kita hidup pada masa yang membikin putus asa dan wajar saja orang-orang menjadi sangat vokal tentang masyarakat atau sangat vokal tentang apa-apa yang mereka rasakan—yang pada dasarnya adalah konsekuensi dari [keadaan] masyarakat tersebut.

Hal terbaik dari menjadi penyair muda adalah kita masih punya ruang untuk berkembang. Aku penasaran bagaimana langkah kita yang berikutnya sebagai sebuah generasi.

WAWANCARA DENGAN HERU JONI PUTRA

Heru Joni Putra

Menurutmu, sekarang apa hal paling penting untuk dibicarakan tentang puisi? Bentuk baru? Visi? Suara?

Menurutku bentuk dan isi tetap penting. Banyak puisi (dan prosa) yang membawa isu besar, tetapi lemah pada bentuk, entah itu soal pemanfaatan piranti sastrawi atau terkena jebakan untuk "meniru" atau menyederhanakan bentuk-bentuk yg sudah dimapankan oleh para pendahulu.

Namun, terjebak pada usaha eksperimen bentuk saja juga melelahkan. Sama melelahkannya dengan karya-karya yang hanya mengandalkan isu-isu. Bicara soal kepaduan bentuk dan isi memang bukan wacana baru, tetapi, bagaimanapun juga, keduanya penting bagiku.

Menurutku, yang penting dibicarakan tentang puisi adalah (1) soal pemisahannya dengan prosa.

Memang ada usaha dari banyak sastrawan untuk meleburkan keduanya dengan prosa-puisi atau puisi-prosa, tetapi itu tetap berada di atas pemisahan keduanya. Bagaimana kalau kita tak bicara puisi atau prosa lagi? Apa mungkin kita cukup merangkum keduanya dengan sebutan karya sastra saja, dan dengan begitu kita bisa memaksimalkan kekuatan keduanya dalam "label" sastra saja tanpa harus disibukkan oleh perdebatan mana yang puisi dan yang prosa dalam karya itu?

(2) Soal kecenderungan kebanyakan penyair yang ingin mengabadikan apa pun yang kita anggap menarik (termasuk kesedihan yang dilebih-lebihkan!) ke dalam puisi, terutama dalam bentuk puisi lirik.

Persoalannya ada dalam pengabadian atau melodrama? Misalkan si penyair menulis soal peristiwa penting dalam sejarah dengan tafsir baru dan suara puitik yang segar, apa itu tetap kamu anggap masalah?

Maksudku tentu bukan berarti kita tak boleh "mengabadikan" apapun, hanya seringkali "pengabadian" itu lebih banyak dilakukan lewat cara-cara melodrama belaka. Atau sebut saja melodrama-isasi apa pun.

Dari puisi-puisimu yang pernah kubaca, kamu sering bermain-main dengan teks lama (pantun, hikayat, pepatah, dan sebagainya) atau karya-karya penyair lain dan memberinya muatan baru. Apa yang kamu bayangkan ketika kamu memilih cara penciptaan seperti itu?

Tidak sekedar main-main, sebenarnya. Aku malah berusaha menjauhi sekedar bermain bahasa. Pada tataran tertentu, aku sengaja merusak bentuk-bentuk teks lama tersebut dengan berbagai alasan.

Merusak atau mengapropriasi?

Aku melakukannya dengan niat merusak. Karena teks lama tersebut telanjur "kuat" sehingga mesti dirusak untuk menunjukkan keterbatasannya. Walaupun di saat yang sama aku menggunakan atau memanfaatkan "kelebihan" teks lama itu sendiri.

Kamu sedang baca apa?

Beberapa tahun belakangan aku lebih banyak membaca sastra Arab dan sastra Minang.

Seleksi bacaan tentu tidak pernah kebetulan, kenapa kamu memilih teks-teks itu?

Aku memilih itu dengan sengaja karena berhubungan dengan penciptaan puisi yang sedang kulakukan untuk melawan Islam fundamentalis. Aku dibesarkan di Sumatera Barat—di mana pernah terjadi Perang Paderi, pada abad ke-19—dan sekarang di abad ke-21, dalam arena yang lebih luas, praktik-praktik seperti itu masih terus terjadi dalam berbagai bentuk.

Kapan kamu memutuskan suatu gagasan akan kamu tulis sebagai puisi dan di titik apa kamu memutuskan akan menuliskannya sebagai esai (atau pamflet)? Apa yang menjadikan puisi "khas"?

Puisi kugunakan untuk memberikan gambaran atas suatu kondisi. Kalau dalam esai, aku menuangkan pikiran-pikiran tegas terhadap kondisi tersebut. Misal, dalam esai aku akan berusaha menunjukkan alasan mengapa suatu pemuka agama perlu dikritik praktik-praktiknya, sementara dalam puisi aku merekonstruksi praktik-praktik itu dalam tokoh rekaan. Tentu dalam rekonstruksi tersebut ada tambahan unsur-unsur lain.

Kamu merasa meneruskan kerja siapa? Katakanlah, penyair yang kamu jadikan pijakan utama.

Secara umum, aku mencoba meneruskan kerja yang pernah dilakukan banyak penyair sebelumnya: Puisi—dengan segala piranti yang dipunyainya—sebagai alat perjuangan, meski tentu ada keterbatasan.

Aku pernah ingin bisa menulis puisi seprovokatif karya-karya Wiji Thukul, tetapi pengalaman hidupku tak bisa sampai seperti dia. Kalaupun aku bisa bikin puisi "mirip" puisi Wiji Thukul, aku merasa sedang membohongi diri sendiri, walaupun aku suka puisi Wiji.

Pada akhirnya, aku menulis dengan kondisi-kondisi (konflik, tradisi sastra, perkembangan pikiran, dan lain-lain) yang "tersedia" di sekitarku.

Terakhir, selain soal melodrama tadi, menurutmu, secara umum bagaimana situasi perpuisian Indonesia hari ini?

Saya tidak tahu sepenuhnya. Saya sering menemukan puisi-puisi yang menjual kesedihan.

Infografik Hari Puisi Sedunia

Baca juga artikel terkait PUISI atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani