tirto.id - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, menyatakan, masih terbuka peluang KPK untuk menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka.
"Hal itu telah dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan MA Nomor 4/2016. Sepanjang KPK masih memiliki paling sedikit dua alat bukti yang sah, KPK masih tetap dapat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka," kata Ginting, melalui keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.
Hal itu, kata dia, dikarenakan putusan praperadilan Novanto itu menyangkut aspek formil sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dia, bukan aspek substansi apakah dia bersalah atau tidak bersalah.
"Dugaan tindak pidana yang dilakukan Setya Novanto tidak secara otomatis gugur," kata dia.
Ia pun menjelaskan, praperadilan Novanto bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara tetapi hanya menguji apakah penetapan tersangka terhadap dia sah atau tidak.
Menurut dia, hakim --dalam konteks ini menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4/2016-- hanya menguji aspek formil dari minimal dua alat bukti yang sah yang dimiliki.
"Penentuan bersalah atau tidaknya Setya Novanto nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara. Artinya, putusan praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana," tuturnya, seperti diberitakan Antara.
Selain itu, kata dia, permohonan praperadilan Novanto jangan dikaitkan dengan Panitia Khusus Hak Angket di DPR.
Putusan praperadilan Hakim Tunggal Cepi Iskandar menyatakan penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP tidak sah, Jumat (28/9/2017) lalu.
Hakim Cepi yang mengadili perkara praperadilan Setya Novanto menyatakan bahwa alat bukti yang diperoleh KPK merupakan hasil penyidikan dan penyelidikan dalam perkara lain.
"Menimbang bahwa setelah diperiksa alat bukti yang diperoleh termohon seluruhnya hasil pengembangan dari perkara orang lain, yaitu Irman dan Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong," kata Cepi saat membacakan putusan praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).
"Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diperoleh termohon dengan memeriksa sejumlah saksi, membuka dokumen, dan setelah dipelajari seluruh bukti yang diperoleh pemohon sesungguhnya bukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017 sebelum dan sesaat pemohon ditetapkan sebagai tersangka," kata Cepi.
Artinya, kata Cepi, ketika pemohon ditetapkan sebagai tersangka, KPK belum melakukan penyidikan dalam perkara aquo, belum memeriksa calon tersangka, saksi-saksi serta alat-alat bukti.
"Karena secara logika hukum, termohon harus mempunyai waktu dan dalam waktu yang singkat Sprindik 17 Juli 2017 untuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh termohon," katanya.
Peneliti Anti Corruption Committee (ACC) Wiwin Suwandi menyatakan bahwa pertimbangan Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam putusan praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto cacat hukum.
"Pertama, hakim lupa bahwa kasus Irman dan Sugiharto serta Setya Novanto merupakan satu kesatuan perkara korupsi e-KTP sehingga memiliki benang merah atau keterkaitan satu sama lain," kata Wiwin melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (1/10/2017).
Menurut dia, penggunaan alat bukti terkait Setya Novanto terhadap tersangka lain dalam satu perkara yang sama adalah hal yang lazim.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri