tirto.id - Dalam sebuah wawancara belum lama ini, Brad Pitt, aktor kawakan Hollywood, mengatakan tentang gangguan yang dideritanya yang dikenal sebagai prosopagnosia. Kondisi ini membuatnya kesulitan untuk mengenali wajah seseorang. Sampai beberapa waktu, banyak orang tidak percaya akan kondisinya ini, dan hanya memberinya label sebagai pribadi sombong. Kini, informasi mengenai prosopagnosia mulai banyak diberitakan. Namun sayangnya, hingga kini gangguan neurologis ini masih belum menemukan solusi pengobatan terbaik. Penderita prosopagnosia, bukan hanya Brad Pitt, masih harus bergumul dengan dampaknya pada kehidupan sosial penderita.
Mengenal Prosopagnosia
Meskipun belum secara resmi didiagnosa prosopagnosia, Pitt yang berusia 58, belum lama ini mengatakan dengan yakin pada GQ tentang kondisi yang dimilikinya. "Namun, tidak ada yang percaya padaku!” Pitt sebenarnya sudah pernah bercerita tentang kondisi tersebut sembilan tahun lalu dalam wawancara dengan Esquire pada tahun 2013.
Banyak orang mungkin saja mengalami kesulitan mengenali orang dari waktu ke waktu. Namun seperti yang dialami Brad Pitt, prosopagnosia adalah gangguan yang lebih parah dan persisten, dan lebih dari sekedar lupa akan wajah seseorang karena sudah lama tidak bertemu. Gangguan prosopagnosia dapat dialami sehari-hari, dan dalam lingkungan terdekat.
Prosopagnosia merupakan gangguan neurologis yang dapat menyebabkan orang mengalami kesulitan mengenali wajah, bahkan untuk mengenali wajah anggota keluarga atau teman dekat. Demikian menurut National Institute of Health (NIH) yang menaungi National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), khusus menangani gangguan neurologis. NINDS mengatakan, prosopagnosia juga dikenal dengan nama kebutaan wajah atau agnosia wajah. Istilah prosopagnosia berasal dari kata Yunani untuk prósōpon atau wajah dan agnōsíaatau tidak adanya pengetahuan.
Pada level tertentu, gangguan prosopagnosia berkembang tidak hanya pada gangguan mengenali wajah orang lain maupun diri sendiri, namun juga pengenalan akan benda atau hewan. Banyak juga laporan mengenai gangguan pemrosesan wajah dalam hal pengenalan usia, jenis kelamin, ekspresi emosional tertentu, atau mengikuti arah tatapan mata seseorang.
Sebelumnya, penyebab prosopagnosia diduga hanya disebabkan karena adanya cedera di kepala atau stroke yang disebut acquired prosopagnosia. Ketika seseorang mengalami cedera, penderita akan segera menyadari bahwa mereka telah kehilangan kemampuan untuk mengenali orang yang mereka kenal. Namun, bila penderita mengalami cedera sejak kecil, bisa jadi ia tidak sadar telah mengalami gangguan ini.
Namun temuan selanjutnya menemukan bahwa prosopagnosia bisa disebabkan karena kelainan otak sejak lahir yang disebut developmental prosopagnosia atau prosopagnosia kongenital. Prosopagnosia kongenital disebabkan oleh faktor genetik yang diturunkan dalam keluarga.
Dengan penyebaran informasi yang semakin baik, banyak orang terbantukan dalam mengenali gejala prosopagnosia yang mungkin tidak disadari seumur hidupnya.
Namun prosopagnosia tidak terkait dengan masalah memori, kehilangan penglihatan atau ketidakmampuan belajar. Prosopagnosia kadang-kadang dikaitkan dengan gangguan perkembangan seperti gangguan autisme, sindrom Turner, dan sindrom Williams.
Dampak pada Kehidupan Sosial Penderita
Akhir Juni 2022 lalu, aktris dari India, Shenaz Treasurywala, mengunggah Instagram Stories tentang diagnosa prosopagnosia resmi yang ia terima, “Saya didiagnosis dengan prosopagnosia 2. Sekarang, saya mengerti mengapa saya tidak pernah bisa mengingat wajah. Ini adalah gangguan kognitif. Sebelumnya saya selalu merasa malu karena tidak bisa mengenali wajah dan hanya mengenali lewat suara.”
Shenaz yang saat ini bekerja sebagai blogger wisata juga menulis, “Anda bingung dengan karakter di film atau di televisi? Saya mengalaminya. Dengan gangguan ini, saya tidak bisa membedakan jika dua karakter di film memiliki tinggi dan bentuk tubuh serta gaya rambut yang sama.”
Bukan hanya mengalami kesulitan dalam menikmati film, prosopagnosia juga menyebabkan beberapa orang akhirnya menghindari interaksi sosial, mengalami masalah dengan hubungan interpersonal, merusak karir, dan bahkan menyebabkan depresi. Dalam kasus ekstrim, penderita prosopagnosia mengembangkan gangguan kecemasan sosial yang ditandai dengan ketakutan dan penghindaran situasi sosial yang menyebabkan rasa malu.
Jurnalis Sadie Dingfelder menuliskan perjalanannya dalam sebuah tulisan berjudul “My Life With Face Blindness” di Washington Post. Ada dua kejadian penting yang membuatnya mencari bantuan medis. Pertama, dia salah menyapa rekan kerjanya di kantor. Kedua, tanpa sengaja menegur orang asing yang disangka suaminya.
Setelah resmi didiagnosis, Dingfelder mengatakan, “Apa yang tidak saya sadari adalah bahwa diagnosis ini akan membuat saya mempertanyakan semua kisah yang pernah saya ceritakan serta struktur identitas saya.” Dingfelder bercerita, dia tumbuh tanpa teman ketika anak-anak. Dia berpikir hal tersebut terjadi karena teman-temannya yang jahat. Padahal, sebaliknya, teman-temannya justru yang merasa dilupakan olehnya.
Upaya Mencari Solusi Prosopagnosia
Dalam keseharian, penderita prosopagnosia mungkin saja dapat beradaptasi dengan melakukan beberapa trik. Salah satunya dengan mengenali orang dengan cara mempelajari suara, mengenali cara berjalan, atau atribut khas seseorang. Namun, cara-cara ini hanya upaya membantu penderita agar dapat berinteraksi dengan orang lain, bukan menyembuhkan.
Sejauh ini, tidak ada satu bentuk pengobatan khusus untuk prosopagnosia. Juga tidak ada obat yang diketahui untuk gangguan tersebut.
Beberapa tes dapat dilakukan sebagai upaya untuk mendiagnosa prosopagnosia, seperti tes mengidentifikasi wajah atau wajah orang terkenal; menghafalkan dan mengenali wajah yang telah dilihat sebelumnya; menemukan persamaan dan perbedaan antara wajah yang ditempatkan bersebelahan; dan menentukan jenis kelamin, usia, atau suasana hati seseorang berdasarkan serangkaian gambar wajah.
Penderita prosopagnosia yang disebabkan oleh stroke, bisa melakukan pemeriksaan seperti CT scan, MRI otak, dan pemeriksaan EEG. Namun, untuk gangguan prosopagnosia bawaan dari lahir, tes tersebut tidak berfungsi.
Sebuah program pelatihan dilakukan oleh ahli saraf Joseph DeGutis ketika menjadi mahasiswa pascasarjana di Berkeley. DeGutis yang sekarang menjadi peneliti utama studi kebutaan wajah di Harvard Medical School, mengajarkan penderita prosopagnosia untuk membuat penilaian cepat tentang jarak fitur wajah.
Program pelatihan yang berbasis komputer itu memiliki 30 sesi yang dirancang untuk membantu orang buta wajah meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengenalan wajah. Setiap sesi pelatihan dimulai dengan grid 10 wajah — dengan variasi pada wajah yang sama, pelatihan dilakukan dengan menggeser sedikit demi sedikit fitur wajah tersebut.
Setelah melakukan latihan tersebut selama beberapa bulan, sebuah keajaiban terjadi pada salah satu pesertanya. Ia yang sebelumnya mengalami kebutaan wajah, di suatu pagi, untuk pertama kalinya menyadari kehadiran tetangganya yang masuk ke kedai kopi tempat ia biasa menulis.
Penulis: Ros Aruna
Editor: Lilin Rosa Santi