tirto.id - Lee Jae Myung pemimpin oposisi utama di Korea Selatan, yang menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat, telah lama menjadi sosok kontroversial dalam politik Korea, dengan reputasi sebagai orator ulung dan pembela kebijakan populis yang berpihak pada rakyat biasa.
Sebelum memasuki panggung politik nasional, Lee menjabat sebagai Walikota Seongnam dari 2010 hingga 2018, di mana ia dikenal atas kebijakan progresif seperti pemberian makan siang gratis di sekolah dan program kesejahteraan yang diperluas.
Lee menjadi tokoh sentral dalam politik Korea Selatan sejak pemilu presiden 2022, di mana ia kalah tipis dari Yoon Suk-yeol. Kekalahan ini tidak menghentikan kiprahnya, karena Partai Demokrat yang dipimpinnya berhasil meraih kemenangan besar dalam pemilu legislatif 2023.
Meskipun demikian, karier politiknya diguncang oleh berbagai tuduhan hukum, termasuk kasus terkait pengembangan lahan yang kontroversial di Seongnam. Baru-baru ini, ia dinyatakan bersalah melanggar hukum pemilu karena memberikan informasi yang salah selama kampanye presiden 2021, meskipun ia berencana untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Sebagai tokoh yang sangat polar, Lee didukung oleh banyak kalangan progresif yang melihatnya sebagai reformis yang berani melawan kepentingan-kepentingan besar. Di sisi lain, para kritikus menganggapnya sebagai pemimpin yang divisif, dengan tuduhan bahwa gaya kepemimpinannya dipenuhi skandal dan kurang transparan.
Dengan berbagai tantangan hukum yang dihadapinya, masa depan politik Lee dapat memengaruhi dinamika pemilu presiden Korea Selatan 2027.
Selain perjuangannya di dalam negeri, Lee juga aktif mengadvokasi kebijakan yang lebih humanis di tingkat nasional, menantang pemerintahan Yoon Suk-yeol yang dituduh menggunakan pendekatan otoriter. Dengan perseteruan politik yang semakin tajam, perannya sebagai pemimpin oposisi menjadi semakin penting bagi dinamika demokrasi di Korea Selatan.
Alasan Pemakzulan Presiden
Usulan pemakzulan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol diajukan oleh fraksi oposisi di parlemen, yang dipimpin oleh Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Lee Jae-myung. Alasan utama yang dikemukakan adalah tuduhan bahwa Yoon merencanakan pemberlakuan darurat militer sebagai cara menangani protes besar-besaran.
Demonstrasi yang dimaksud melibatkan pekerja dan kelompok sipil yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah. Langkah ini dianggap oposisi sebagai tindakan otoriter yang bertentangan dengan nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Keputusan mengajukan usulan ini diperkuat oleh adanya laporan internal yang bocor, yang menunjukkan bahwa pemerintahan Yoon sedang mempertimbangkan langkah darurat militer untuk mengendalikan protes.
Dokumen tersebut mengklaim bahwa langkah tersebut bertujuan menjaga stabilitas di tengah ancaman terhadap ketertiban umum. Namun, oposisi melihatnya sebagai pelanggaran berat terhadap kebebasan sipil dan hak berkumpul yang dilindungi oleh konstitusi. Tuduhan ini menambah daftar kritik terhadap Yoon yang dinilai mengedepankan pendekatan kepemimpinan otoriter.
Dalam tanggapannya, Yoon Suk-yeol membantah tuduhan tersebut dan menuduh oposisi menggunakan isu ini sebagai taktik politik untuk menjatuhkan pemerintahannya. Yoon menegaskan bahwa semua langkah keamanan yang direncanakan hanya bersifat preventif dan tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan publik.
Meski demikian, kontroversi ini memicu debat sengit di kalangan masyarakat dan pemerintahan. Oposisi terus mendorong penyelidikan lebih mendalam terhadap dugaan pelanggaran konstitusi ini.
Proses pemakzulan Presiden di Korea Selatan memerlukan persetujuan mayoritas dari parlemen, yang saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat. Namun, persetujuan parlemen tidak menjamin keberhasilan pemakzulan, karena keputusan akhir ada di tangan Mahkamah Konstitusi.
Jika pemakzulan Yoon berhasil, ini akan menjadi momen penting dalam sejarah politik Korea Selatan setelah pemakzulan mantan Presiden Park Geun-hye pada 2017. Langkah ini dapat memberikan dampak besar pada stabilitas politik dan arah kepemimpinan negara.
Penulis: Hafizhah Melania
Editor: Dipna Videlia Putsanra