tirto.id - Meski diwarnai gelak tawa para pendukungnya, sindiran keras capres nomor urut 02, Prabowo Subianto soal pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cuma bertengger di kisaran 5 persen adalah pukulan telak bagi pemerintahan Joko Widodo --pesaingnya dalam palagan Pilpres 2019.
Di atas panggung, di hadapan massa yang menyesaki Stadion Gelora Bung Karno dalam kampanye akbar Ahad pekan lalu, mantan Danjen Kopassus itu bahkan menggunakan frasa "ndasmu" untuk membantah klaim pemerintah bahwa perekonomian dalam kondisi sedang baik-baik saja.
Merespons ucapan itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berujar bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini adalah capaian terbaik di tengah tekanan perekonomian global.
Luhut bahkan menyebut, mempertahankan pertumbuhan di angka 5 persen saja bukan hal yang mudah bagi pemerintah. Apalagi untuk mencapai target 7 persen yang dijanjikan Jokowi saat maju sebagai kandidat presiden untuk pertama kalinya pada Pilpres 2014.
"Kalau ada yang bilang economic growth kita bisa tumbuh 8 persen, ya saya perlu belajar juga sama dia tuh. Karena untuk mempertahankan saja bukan main [susahnya]," ujar Luhut dalam agenda coffe morning bersama wartawan di kantornya, Senin (8/4/2109).
Namun, benarkah "tekanan eksternal" adalah pangkal dari melempemnya pertumbuhan ekonomi empat tahun belakangan ini?
Ketidakpastian perdagangan global yang dipicu perang dagang Amerika Serikat dan Cina memang berimbas pada lambatnya laju pertumbuhan ekonomi dunia. UOB Global Economics & Market Research bahkan memproyeksikan kondisi itu akan kian memburuk pada kuartal II/2019.
Seperti diketahui, negeri tirai bambu telah memangkas target pertumbuhannya pada kisaran 6,0 hingga 6,5 persen pada 2019. Bersamaan dengan itu, Cina juga memfokuskan kebijakan fiskalnya untuk menstimulasi perekonomian dalam negeri.
Jika dilihat dari pertumbuhan PDB Cina sebesar 6,6 persen di 2018, maka UOB memperkirakan bahwa pertumbuhan Cina pada tahun ini akan melemah menjadi 6,3 persen. Ketika pertumbuhan dan aktivitas Cina melambat, kontraksi ekspor Asia meningkat.
Bagi beberapa negara Asia yang ekonominya berorientasi pada kegiatan ekspor, seperti Singapura dan Indonesia, kondisi ini amat menyusahkan. Tren perlambatan yang makin kentara itu juga membuat bank-bank sentral di Asia (kecuali PbOC/Cina) terpaksa mempertimbangkan ulang untuk menaikkan kembali suku bunganya.
"Ke depan, kami melihat Bangko Sentral ng Pilipinas [BSP], Bank Negara Malaysia [BNM], Bank Indonesia [BI], dan Reserve Bank of India [RBI] memangkas suku bunga di seluruh Asia. Otoritas Moneter Singapura [MAS] juga sekarang terlihat tetap ditahan pada April," tulis laporan UOB.
Meski demikian, ekonom dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai rendahnya capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak semata karena faktor eksternal. Justru, menurut dia, faktor "domestik" lebih dominan sebagai penyebab lambatnya laju perekonomian.
Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari rendahnya kontribusi belanja pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB). Data BPS menunjukkan, konsumsi pemerintah hanya tumbuh sebesar 4,56 persen pada 2018. Bahkan dalam struktur PDB, belanja pemerintah hanya berkontribusi sebesar 12,09 persen.
Padahal, belanja pemerintah memiliki peran cukup vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika dioptimalkan, menurut Bhima, maka belanja itu dapat memberikan dampak positif dalam menggerakkan daya beli dan investasi.
Di samping itu, Bhima juga berpandangan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah malah menjadi penghambat bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu contohnya, kata dia, adalah pembangunan infrastruktur yang didominasi oleh BUMN.
"Sehingga multiplier effect-nya yang harusnya bisa dirasakan oleh sektor usaha yang riil, itu malah tidak terjadi, karena pengerjaan proyek infrastruktur didominasi BUMN dan swasta tidak mendapatkan porsi yang layak," imbuhnya.
Crowding Out Effect
Kebijakan pemerintah yang dinilai salah arah juga dikritisi ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal. Salah satunya, kata dia, dalam hal penerbitan obligasi pemerintah yang terlalu berlebihan dan menimbulkan crowding out effect.
Crowding out effect, dalam hal ini adalah aktivitas fiskal pemerintah dalam penerbitan obligasi yang membuat aktivitas sektor swasta menjadi terkendala. “Pertama dari sisi likuiditas mengetat, DPK [dana pihak ketiga] terbatas, dan pada saat swasta mencari pendanaan, larinya ini modal ke pemerintah semua,” kata Fithra.
Penilaian Fithra tentu tak berlebihan. Sebab, proporsi obligasi pemerintah terhadap total keseluruhan obligasi per Desember 2018 sudah mencapai 85 persen. Angka ini belum termasuk dengan obligasi yang diterbitkan oleh BUMN.
Jika dibandingkan dengan awal 2014, maka penerbitan obligasi pemerintah telah tumbuh 60 persen, dengan rata-rata pertumbuhan 15 persen per tahun.
Angka ini juga terbilang tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asean, seperti Thailand yang proporsinya 72 persen, Singapura 62 persen, Malaysia 52 persen. "Bahkan masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata Asean yang 68 persen,” kata Fithra.
Namun, kata Fithra, jika mengacu pada upaya pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, maka penerbitan obligasi dengan jumlah besar itu bisa dimaklumi. Hal ini juga sejalan dengan strategi pemerintah untuk bisa mendorong kinerja ekspor melalui penguatan industri.
Sebab, untuk menumbuhkan kembali kinerja industri yang tengah mengalami gejala deindustrialisasi prematur, dibutuhkan dorongan dari sisi infrastruktur. Sayangnya, "niat baik" pemerintah itu malah memiliki ekses negatif. Alih-alih mendorong produksi, justru kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB malah makin melemah.
“Aktivitas para produsen tidak bisa berkembang karena mereka kesulitan mendapatkan dana, terutama dari pasar obligasi. Kalaupun bisa mendapatkan dana, bunga yang ditawarkan sangat tinggi karena memang dana sudah tersedot ke pemerintah,” kata dia.
Dalam hal ini, menurut Fithra, posisi pemerintah bak simalakama. Sebab, jika infrastruktur tak digenjot, maka tren deindustrialisasi pada tahun-tahun mendatang dikhawatirkan makin persisten atau berkelanjutan.
“Kita sudah kehilangan momentum dalam rantai jaring produksi global dan tertinggal dari negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia," kata Fithra menambahkan.
Belum lagi, kata Fithra, lesunya kinerja ekspor membuat defisit neraca perdagangan terus mengintai Indonesia. Berdasarkan data BPS, rata-rata pertumbuhan ekspor masih di kisaran 6 persen. Bahkan, pada Februari lalu, kinerja ekspor merosot karena penurunan harga komoditas.
"Padahal setidaknya dibutuhkan pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 8,8 persen hingga 2019 untuk bisa menopang pertumbuhan ekonomi dan meminimalisasi risiko nilai tukar," kata Fithra.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz