tirto.id - Bukanlah kebetulan bila ilmuwan politik Australia, Liam Gammon, memberikan judul esainya “On the 2024 campaign trail with Sandi Uno” (Di Medan Kampanye Pemilu 2024 bersama Sandi Uno). Esai ini dengan cermat menggambarkan bagaimana Sandiaga Uno melakukan kampanye pada 2019, tetapi dengan mata di tahun 2024.
Saat ini, Sandiaga Uno hanyalah pasangan calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. Namun, kalau kita perhatikan, Sandi jauh lebih banyak berada di medan kampanye dibandingkan Prabowo. Sandi (49) memang jauh lebih muda dari Prabowo (68). Sandiaga Uno juga diduga membiayai sebagian besar kampanye Prabowo. Hingga saat ini, seperti dikabarkan Bloomberg, calon wakil presiden ini sudah menghabiskan sekitar Rp1,4 triliun (US$100 juta) untuk kampanye.
Liam Gammon mencatat bahwa saat berkampanye untuk menjadi wakil gubernur DKI, Sandiaga Uno harus meninggalkan gaya hidupnya yang sekuler dan liberal. Dia mulai mengadopsi penampilan sebagai politikus Muslim. Namun, tidak seperti Anies Baswedan, Sandi tidak pernah berusaha menemui Muhammad Rizieq Shihab, pemimpin FPI. Sandi juga berusaha menjauh dari acara-acara seperti Reuni 212, kelompok yang membantu melontarkannya ke kursi wakil gubernur DKI.
Di sisi yang lain, Sandiaga Uno berusaha menempatkan dirinya sebagai role model kaum muda Muslim. Dia sukses, kaya, berprestasi. Ini modal yang sangat baik untuk masa depan bila dia ingin serius menjadi presiden. Berkebalikan dengan Sandi, Prabowo menjadi figur di belakang layar dalam kampanye ini.
Benar bahwa Prabowo tetap memiliki pengaruh yang lebih besar daripada Sandi. Juga benar bahwa Prabowo-lah yang memegang kendali atas seluruh proses politik Pilpres 2019. Namun, dominannya Sandi dalam kampanye membuat kita bertanya-tanya: Di manakah Prabowo Subianto dalam kampanye ini?
Prabowo: Langkah Awal sebagai Populis
Pada Pilpres 2014, Prabowo maju dengan platform sebagai seorang populis. Dia berusaha menggambarkan diri sebagai pemimpin pro-rakyat. Dia pernah menjadi ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dia juga menggalang dukungan dari serikat-serikat buruh. Jargon-jargon politiknya pun sangat nasionalistik. Sisa-sisa dari jargon tersebut masih tampak dalam retoriknya saat ini.
Ketika debat calon presiden terakhir kemarin, terlihat bahwa Prabowo sangat konsisten dengan jargon ‘negara kuat.’ Alur pikir Prabowo kira-kira begini: Saat ini negara kita lemah. Saya berjanji jika saya menjadi presiden, kita akan menjadi negara kuat. Sehingga kita dihormati oleh negara-negara lain. Tidak seperti sekarang ini. Tidak ada satu negara pun yang memandang serius Indonesia.
Prabowo berusaha menampilkan diri sebagai pejuang yang sangat nasionalis, patriot yang mengorbankan segalanya untuk bangsanya. Dia membuat film yang lebih menyerupai film propaganda. Untuk memperkuat legitimasinya, dia bahkan mengurut keturunannya. Ternyata dia masih keturunan Tumenggung Banyakwide, seorang panglima Pangeran Diponegoro di wilayah Banyumas.
Tidak lupa, Prabowo juga mengutuki para elite yang dianggap membawa kesengsaraan bagi rakyat kecil. Sekalipun berasal dari keluarga yang sangat elite, Prabowo berusaha menjadi pahlawan kaum miskin. Persis seperti Donald J. Trump, yang bahkan tidak bisa membedakan antara mur dan baut, bisa menjadi pahlawan kelas buruh.
Kita semua tahu bahwa Prabowo kalah dari lawannya yang juga tidak kurang populisnya. Joko Widodo, yang ketika itu adalah Gubernur Jakarta, berhasil menangkap imajinasi orang Indonesia sebagai pemimpin yang merakyat, yang tidak berjarak dari rakyat kebanyakan.
Transformasi Menjadi Sektarian
Sekalipun kalah pada Pilpres 2014, Prabowo tidak berhenti menjadi salah satu pemain dalam politik Indonesia. Kebangkitan politiknya terjadi pada 2016, ketika dia mendudukkan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta dan Sandiaga Uno sebagai wakilnya.
Dalam Pilpres 2014, Prabowo didukung oleh koalisi partai-partai nasionalis-sekuler (Gerindra, Golkar, Demokrat) dan partai-partai Islam (PPP, PKS, PAN, dan PBB). Sementara itu, Jokowi didukung oleh hanya satu partai Islam (PKB) dan sebagian besar partai nasionalis-sekuler (PDIP, Hanura, Nasdem, dan PKPI).
Sektarianisme sesungguhnya sudah mulai muncul pada Pilpres 2014. Tidak mengherankan jika Prabowo mendapat dukungan kekuatan politik Islam. Sebaliknya, lawannya digambarkan sebagai Kristen dan Komunis. Sektarianisme memang tidak mampu menjatuhkan Jokowi. Dia memenangkan Pilpres 2014 dengan 53,15% suara, sementara Prabowo hanya memperoleh 46,85%.
Namun, apa yang sudah dimulai sejak Pilpres 2014 kemudian mengental di masa-masa berikutnya. Banyak yang berubah hanya dalam dua tahun pertama pemerintahan Jokowi. Pemilihan Gubernur DKI pada 2017 menunjukkan hal itu. Pemilihan ini berlangsung dalam suasana yang sangat sektarian. Pada putaran terakhir, berhadapan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Jarot Syaiful Hidayat dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Basuki Tjahaja Purnama adalah sekutu presiden Jokowi dan orang yang meneruskan kebijakan-kebijakan Jokowi sewaktu dia menjadi gubernur. Sementara itu, Anies Baswedan adalah mantan menteri Jokowi yang diberhentikan di tengah jalan. Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan pemilihan yang diwarnai dengan mobilisasi pemilih Muslim secara rapi dan besar-besaran ini.
Kemenangan itu membuka jalan Prabowo untuk meletakkan landasan kampanye Pilpres 2019. Elite-elite Islam yang dimobilisasi pada Pilgub DKI kemudian mencalonkan Prabowo sebagai presiden. Dukungan terhadap Prabowo sangat solid di kalangan kelas menengah Islam perkotaan. Namun, apa yang berhasil dilakukan di DKI Jakarta sulit diulang di pemilihan nasional. Pemilih di tingkat nasional jauh lebih bervariasi ketimbang pemilih Jakarta.
Tidak Ada Jalan Maju
Jalan Prabowo-Sandi untuk menang Pilpres 2019 rupanya cukup terjal. Hampir semua survei dari lembaga kredibel memenangkan Jokowi. Mobilisasi yang pernah dilakukan di Jakarta tidak mampu membendung dukungan untuk Jokowi, yang juga diuntungkan oleh posisinya sebagai petahana.
Jika exit poll yang disajikan oleh Indikator Indonesia pada Pilpres 2014 bisa dijadikan pijakan, terlihat bahwa penampilan Prabowo pada 2019 ini tidak banyak berubah.
Pada 2014, dia menang di wilayah perkotaan (42,0% lawan 39,5%) dan kalah cukup telah di pedesaan (37,8% lawan 46,8%). Namun, Prabowo menang di usia muda 22-25 tahun dengan 51,3% lawan 36,2%. Inilah golongan umur satu-satunya yang dimenangkan oleh Prabowo. Jokowi unggul di golongan umur di bawah 21 tahun, 26-40 tahun, 41-55 tahun, dan di atas 56 tahun.
Pemilih yang pendidikannya SD ke bawah sebagian besar mendukung Jokowi (47,3% lawan 38,8%). Sementara itu, Prabowo didukung oleh pemilih yang tamat universitas (41,7% lawan 38,8%). Hasil-hasil survei sekarang ini pun secara konsisten menunjukkan dukungan terhadap Prabowo datang dari segmen pemilih yang berpendidikan tinggi.
Prabowo dipilih oleh pemilih Muslim (43,7% lawan 39,9%), tetapi Jokowi menang mutlak di kalangan pemilih non-Muslim (69,7% lawan 15,7%). Tidak terlalu sulit untuk mengerti bahwa pemilih non-Muslim sesungguhnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi kemenangan Jokowi.
Adakah Prabowo tidak belajar dari kekalahannya pada 2014 yang lalu? Saya cenderung mengatakan demikian. Dia dan para penasihat yang mendampingi dirinya mungkin terlalu optimis memandang hasil Pilgub DKI 2017.
Masa Depan
Di medan kampanye, kita melihat Prabowo berkampanye dengan setengah hati. Bahkan, lawannya yang jauh lebih senior, cawapres Ma’ruf Amin, terlihat memiliki jadwal kampanye yang jauh lebih padat ketimbang Prabowo. Lalu, apa sebenarnya tujuan Prabowo dalam Pilpres 2019 ini?
Banyak orang menduga dia hanya ingin mengamankan partainya, Gerindra, untuk meraih suara signifikan di DPR dan di lembaga-lembaga legislatif di bawahnya. Jika Gerindra menjadi kekuatan parlemen yang cukup besar, Prabowo bisa memainkan perannya sebagai king-maker untuk pemilihan-pemilihan kepala daerah. Dia juga akan tetap memiliki kekuatan secara nasional.
Bukan tidak mungkin dia akan bergabung dengan pemerintahan Jokowi untuk membentuk pemerintahan persatuan dan menaruh beberapa politisi Gerindra sebagai anggota kabinet. Jika ini terjadi, akan menjadi bencana bagi partai-partai pendukung pencalonannya sebagai presiden. Artinya, dia akan meninggalkan partai-partai ini dan membiarkan mereka mati.
Lalu, bagaimana dengan Sandiaga Uno yang sudah berinvestasi yang sedemikian besar dalam Pilpres 2019 ini?
Saya kira, investasi itu tidak akan hangus begitu saja. Bersama Prabowo, Sandi juga akan berperan sebagai king maker. Jaringan-jaringan yang dia ciptakan sekarang akan sangat penting artinya secara ekonomi. Sandi tentu akan segera menjadi calon terkuat (front runner) capres 2024.
Semakin dekat hari pemungutan suara, tampaknya pemilu sudah selesai. Jokowi hampir bisa dipastikan akan memenangkan pemilihan ini. Persoalannya kemudian adalah seberapa besar kemenangan yang akan diraihnya?
Selesainya pemilu tidak berarti pertarungan politik akan selesai. Sebaliknya, ia baru saja dimulai. Para pendukung yang menang akan berebut siapa menguasai apa. Margin kemenangan yang tipis akan mengeraskan pertarungan, baik dengan partai-partai, relawan, ataupun dengan pihak Prabowo—jika dia berminat ikut kekuasaan.
Begitu pilpres ini selesai, para politikus ini sudah bersiap untuk menghadapi 2024.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.