tirto.id - “Otsus ini ko tulis lain, ko bikin lain. Ko janji lain, ko bikin lain. Ko tulis tapi ko tra buat”.
Pernyataan di atas diungkapkan Pastur Jhon Bunay dalam seminar “20 Tahun Implementasi Otonomi Khusus di Papua”, Senin (27/7/2020). Pada umumnya ungkapan kekecewaan terhadap Otsus muncul karena secara administratif di atas kertas ia tampak sempurna. Namun pemerintah pusat menyalahartikan Otsus sebagai arena pengaturan fiskal semata tanpa memberi wewenang dan hak politik rakyat Papua untuk mengatur diri mereka sendiri.
Dirjen Otonomi Daerah mencatat bahwa otonomi khusus untuk Papua telah mengucurkan dana kurang lebih Rp127 triliun ke dua provinsi. Papua mendapat kurang lebih Rp92 triliun dan Papua Barat kurang lebih Rp35 triliun. Fokus pada kepengaturan fiskal ini, di tingkatan bawah, menggiring munculnya nilai baru bagi orang Papua: uang menyebabkan ketergantungan dan membuat mereka menjadi lebih konsumeris. Limpahan uang inilah yang menyebabkan orang Papua lebih memilih membeli beras dan mi instan dibanding menokok sagu di lahan mereka.
Lebih Banyak Menguntungkan Migran
Kemajuan Otsus yang paling tampak hanya pada infrastruktur. Misalnya, jumlah sekolah sebelum Otsus di Papua Barat sekitar 3.287 dan saat ini mencapai 6.900. Namun demikian dalam salah satu seminar yang diadakan pada Senin (13/7/2020) bertajuk “Otsus, Pendidikan dan Masa Depan Papua”, Agus Sumule, dosen Universitas Papua Manokwari, menunjukkan ketercukupan bangunan sekolah ini tidak diiringi dengan ketersediaan jumlah guru.
Di Papua Barat, kekurangan guru SD negeri mencapai 1.297 dan swasta 962. Sementara di Papua tercatat angka 4.873 untuk negeri dan 2.448 untuk swasta. Belum lagi ketersediaan buku, perpustakaan, MCK, internet, dan kurikulum yang masih disamakan dengan kurikulum nasional. Permasalahan ini sama dengan tenaga kerja kesehatan. Tak heran, sangat umum ditemui tentara mengajar dan mengecek kesehatan warga.
Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah rata-rata Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Di Papua Barat, HLS anak berusia 7 tahun untuk mencapai perguruan tinggi hanya hanya 12,53%. Sedangkan RLS pada anak muda berusia 25 tahun hanya 7,27% yang berarti masih banyak anak muda dengan tingkat sekolah hanya sampai SMP. Rendahnya pembangunan manusia mengakibatkan mereka tidak siap mengakses pekerjaan di sektor industri manufaktur, jasa, dan teknologi yang mensyaratkan minimal diploma atau sarjana.
Di seminar yang lain, “20 Tahun Implementasi Otononi Khusus di Papua", pada Senin (27/7/2020), Agus Sumule menunjukkan bahwa Otsus membawa perubahan terkait kemiskinan. Sebelum Otsus, pada 1999, jumlah kemiskinan di Papua mencapai 52% dan pada 2018 jatuh hingga mencapai 27%. Namun demikian angka tersebut masih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata angka kemiskinan nasional yang mencapai 9%.
IPM di kota-kota besar seperti Sorong dan Jayapura cukup tinggi dan angka kemiskinan rendah. Ini karena tingginya jumlah migran yang masuk ke kota tersebut. Sebaliknya pada kabupaten dengan jumlah migran sedikit selain angka kemiskinannya lebih tinggi, IPM nya juga rendah, seperti di berbagai kabupaten di pegunungan Tengah. Bahkan IPM di Nduga setara dengan Nigeria dan angka harapan hidup rata-rata 54 tahun.
Karena itu tidak heran jika Markus Haluk, Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dalam Petisi Rakyat Papua yang ditayangkan Jubi menyatakan bahwa Otsus hanya menguntungkan bagi migran karena perputaran dana Otsus berhasil mengatraksi para migran berkeahlian untuk datang ke Papua. Bagi Markus, Otsus menjadi alat untuk melegalisasi pendudukan orang dari luar terhadap orang Papua. Sementara kualitas orang Papua asli jalan di tempat.
Diabaikannya Hak Hidup dan Berpolitik
Saya mencatat ada dua alasan utama mengapa orang Papua sakit hati dan menolak Otsus.
Pertama, Otonomi Khusus mengabaikan isu-isu identitas, misalnya permintaan pendirian partai lokal seperti di Aceh. Pemerintah juga mengabaikan beberapa pasal penting di Otsus seperti pasal 26 tentang revisi sejarah, penegakan Hak Asasi Manusia, dan pengusutan pelaku tindakan kekerasan melalui pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Padahal Amnesty Internasional dalam catatan berjudul “Sudah Kasi Tinggal Dia Mati” (2018) melaporkan setidaknya terdapat 95 orang meninggal akibat dibunuh polisi dan tentara secara illegal (unlawful killings) dari Januari 2010 hingga Februari 2018.
Pembangunan ala Otsus banyak memakan tumbal karena strateginya yang diiringi dengan pendekatan keamanan. Alasannya adalah kontra-pemberontakan dari OPM. Pada kenyataannya pembangunan dan keamanan tidak berhubungan bahkan saling menegasikan satu sama lain.
Kedua, data Forest Watch Indonesia (FWI), sebagaimana disampaikan Mufti Ode dalam diskusi “Hutan dan Manusia di Bioregion Papua” pada Kamis (25/6/2020), menunjukkan kecenderungan deforestasi besar-besaran selama Otsus. Dibanding Kalimantan dan Sumatra, deforestasi di Papua meningkat. Pada 2017 deforestasi hutan di Kalimantan mencapai 1.615.300 hektar dan menurun menjadi 783,685 di tahun 2020. Sedangkan di Papua deforestasi terjadi dari 1,379,860 hektar di tahun 2017 menjadi 1,390,120 di tahun 2020.
Selama Otsus, berbagai peraturan daerah tentang sumber daya hutan saling berkelindan. Banyak kawasan yang diberi status hutan lindung dan konsesi oleh pemerintah daerah, namun pemerintah pusat mengubahnya menjadi hutan produksi agar dapat dieksplorasi.
Jika diperhatikan dari perspektif antropologis, hutan berkaitan dengan identitas adat, ritual, dan mata pencaharian masyarakat. Yando Zakaria dalam seminar “Catatan 20 Tahun Otonomi Khusus terhadap Pengakuan Masyarakat Adat” pada Kamis (2/7/2020) mengungkapkan masyarakat di tingkatan bawah tidak mengetahui turunan Otsus dalam bentuk Perdasus yang dirilis pada 2008. Perdasus itu mengatur lima hal tentang pengelolaan hutan adat, yakni hak perorangan, perlindungan, pengelolaan berkelanjutan, kekayaan intelektual, dan pengadilan adat.
Dua Kubu
Otsus akan meninggalkan dua kubu. Pertama, mereka yang menerima Otsus tapi merasa aturannya harus diperbaiki dan, kedua, mereka yang menolak Otsus.
Yang beranggapan Otsus perlu dilanjutkan melihat dari sudut pandang gelas setengah terisi. Otsus perlu memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan, penurunan angka kemiskinan, dan perubahan struktur wewenang pemerintahan.
Sedangkan kubu yang menolak Otsus melihat bahwa Otsus tidak perlu dilanjutkan karena gagal membawa kesejahteraan (welfare) masyarakat. Pembangunan ala Otsus juga memisahkan masyarakat dari hutannya. Alasan-alasan lainnya adalah alasan non-fiskal seperti persoalan identitas, tuntutan kebenaran sejarah, meningkatnya kekerasan terhadap penduduk sipil, serta tidak diaktifkannya komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkap pelanggaran HAM dan pelaku kekerasan sipil.
Jika menilik sejarah modern Indonesia, sejak 1965, konflik Maluku, hingga Poso 1999, negara ini memang tidak pernah meminta maaf dan bersungguh-sungguh mengusut pelaku kekerasan. Karena, bagaimanapun juga, pihak yang mengawali konflik selalu dari aparat militer. Ironisnya, struktur pemerintahan Jokowi saat ini dikelilingi mantan tentara yang berperan mengambil keputusan politik.
Maka, di hari perayaan kemerdekaannya yang ke-75, Republik Indonesia masih punya PR besar dalam menghadapi persoalan Papua. Jika Otsus diperpanjang dengan apapun nama barunya, ia hanya akan mengulang sejarah yang sudah terjadi, dari deforestasi sampai genosida.
==========
Hatib Abdul Kadir adalah doktor antropologi, Fulbrighter Alumni, dan dosen Universitas Brawijaya.
Penulis: Hatib A Kadir
Editor: Ivan Aulia Ahsan