tirto.id - Yeti Murniati (43) memilih menyekolahkan anaknya di SMA 1 Depok dengan alasan sederhana: sekolah itulah yang paling dekat dengan rumahnya, sebagaimana syarat zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
“Kebetulan cuma ada sekolah ini yang negeri [SMAN 1 Depok],” katanya kepada saya, Selasa (18/6/2019) pagi kemarin. “Jadi saya hanya mengikuti alurnya saja.”
Jika semisal anaknya tidak diterima, ia sudah punya opsi menyekolahkan anaknya di SMAN 3 Depok yang letaknya di Kelurahan Sukmajaya dan SMAN 5 Depok yang terletak di Kelurahan Bedahan. Keduanya cukup jauh dari rumahnya.
Beda lagi dengan cerita Edy Rusmana (50). Dia ngotot memilih SMAN 1 Depok yang lokasinya lumayan lebih jauh dari rumahnya di bilangan Jembatan Serong, Cipayung, Depok, sebagai calon sekolah anaknya. Padahal dia tahu persis ada SMAN 12 Depok yang letaknya lebih dekat; masih satu kelurahan dengan tempat tinggalnya.
Kesungguhan Edy untuk menyekolahkan putranya di sekolah ini tidak main-main. Dia rela mengantre dua hari berturut-turut agar data diri anaknya bisa terdaftar.
Senin (17/6/2019) lalu sebetulnya dia sudah datang pagi-pagi. Sayang dia gagal mendapatkan nomor pendaftaran karena membludaknya pendaftar.
Hari berikutnya dia coba lagi. Saat itu Edy berhasil dapat nomor pendaftaran PPDB, meski berkas-berkas yang dia bawa tak langsung diproses. Sekolah baru akan memasukkan data anaknya hari ini.
Apa sebab Edy rela memilih SMAN 1 Depok, alih-alih SMAN 12 Depok yang sebenarnya lebih dekat? Jawabannya sederhana: “SMAN 12 itu, kan, baru [berdiri] soalnya. Kalau di sini [SMAN 1 Depok] sudah ketahuanlah, favorit,” akunya.
“Sekolah favorit”, konsep yang sebetulnya ingin dihilangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kala menerapkan sistem zonasi--prioritas penerimaan untuk anak-anak yang tinggal dekat dengan sekolah. Sebelum ada sistem zonasi, para siswa dan orangtua memburu sekolah favorit sehingga anak-anak berprestasi akan berkumpul dalam satu sekolah. Sementara itu, siswa yang dianggap kurang pintar dan tidak mampu akan berkumpul di sekolah pinggiran atau non-favorit.
Edy tahu soal ini, tapi toh itu tak menghilangkan anggapannya bahwa ada sekolah favorit, ada pula yang tidak.
“Yang dinilai [agar bisa keterima] pertama itu jaraknya dulu, karena kalau jaraknya ada yang sama baru akan dicek lagi siapa yang duluan mendaftar. Jadi bukan karena yang duluan mendaftar terus diterima,” ujarnya.
Masalah
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menegaskan bahwa persepsi masyarakat memang belum bisa lepas dari label 'sekolah favorit' dan 'non-favorit' dalam skema PPDB berbasis zonasi.
Ubaid menilai, harusnya implementasi skema zonasi tersebut dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan daerah masing-masing. Bagi daerah yang sudah siap, skema zonasi bisa diberlakukan, begitu pula sebaliknya.
“Sekarang ini, kan, dipukul rata. Semua harus menerapkan zonasi 90 persen. Ini juga bisa dilakukan secara bertahap, misalnya 50 persen dulu dan seterusnya. Ini juga diberlakukan berdasarkan kesiapan sekolah-sekolah di daerah,” ujarnya.
Sekretaris Komisi D DPRD Depok, T. Farida Rachmayanti, mengatakan meski zonasi baik untuk alasan pemerataan, namun persoalannya tidak semua kabupaten kota, seperti halnya Kota Depok, memiliki cukup sekolah. Ini membuat cita-cita zonasi untuk memeratakan kualitas dan menghilangkan kasta antarsekolah terhambat.
Jumlah sekolah yang sedikit membuat zonasi di Depok hanya satu. Dengan 'warisan' cara pikir sekolah favorit-non favorit, maka akhirnya orangtua murid tetap berbondong-bondong datang ke sekolah yang dianggap lebih baik.
“Dari semua penjuru bisa ke SMAN 1 Depok. Alangkah baiknya dibuat dua zonasi minimal, barat dan timur. Sehingga bisa lebih terkonsolidasi,” ujar Farida saat saya temui ketika memantau proses PPDB di SMAN 1 Depok. “Harapan masyarakat menjadi besar [memasukkan anaknya ke sekolah tertentu]. Sebenarnya kalau dibagi dua atau tiga zonasi, lama-lama sekolah akan menjadi favorit semuanya.”
Apa yang diharapkan Farida juga dibenarkan oleh Dinas Pendidikan Jawa Barat. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Dewi Sartika mengatakan bahwa untuk saat ini memang “label sekolah-sekolah favorit itu tidak bisa dihindarkan.” Meski demikian dia berjanji akan meningkatkan kualitas satuan pendidikan, baik yang negeri maupun yang swasta, secara bertahap.
“Kami punya upaya-upaya dan target-target bahwa sekolah negeri dan swasta akan kami tingkatkan. Ke depannya semua punya mutu yang baik,” katanya.
Janji lain diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Ini terkait dengan salah satu faktor penentu yang membuat kualitas antara satu sekolah dan sekolah lainnya berbeda: kualitas guru. Dia bilang, guru-guru perlu dirotasi. Tak bisa hanya satu sekolah saja yang punya guru-guru berkualitas.
“Kita akan tahu juga, apakah sekolah favorit itu karena guru atau anak-anaknya. Ini juga bisa jadi bahan kajian,” ujarnya di Jakarta.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino