Menuju konten utama

Postingan Media Sosial Bisa Bikin Susah Masuk Amerika

Bagi anda yang ingin pergi ke AS, jangan sembarang mengumbar konten yang bisa dianggap memperjelas "pandangan anda terhadap tindakan jahat". Kalau tetap ngeyel, permohonan visa anda ke negeri Paman Sam sangat mungkin ditolak.

Postingan Media Sosial Bisa Bikin Susah Masuk Amerika
Ilustrasi visa Amerika. FOTO/Istock

tirto.id - Jika selama ini kamu menganggap mendapat visa Amerika Serikat adalah hal sulit, maka bersiaplah mendapati kenyataan: kesulitan itu akan berlipat ganda. Terutama bagi kamu yang ingin pergi ke AS tapi terindikasi menyenangi segala hal berbau teror, menggemari tindakan orang-orang amoral pemenggal kepala atas nama agama, membagi berita-berita bohong, atau mengunggah apa pun yang berpotensi mengancam stabilitas dunia.

Sebab pada akhir Desember, sebelum almanak 2016 dibuang ke tempat sampah, pemerintah AS mulai menanyakan akun media sosial para orang asing yang akan pergi ke AS. Untuk sekarang, kebijakan ini ditujukan hanya untuk warga dari 38 negara yang menggunakan program visa waiver. Program ini berguna untuk melewati proses formal kala seseorang mengajukan visa kunjungan singkat (maksimal 90 hari) via daring.

Informasi tentang media sosial ini akan ditambahkan, baik pada Sistem Elektronik untuk Otorisasi Perjalanan (ESTA) dan formulir I-94. Bunyinya kurang lebih: mohon sertakan informasi terkait aktivitas online, provider/platform, dan akun media sosial.

Di situs resmi Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, ada banyak pilihan media sosial yang bisa dimasukkan sebagai provider/platform. Mulai dari ASKfm, Facebook, Flickr, Google+, Instagram, hingga yang bersifat lokal seperti VKontakte, alias Facebook ala Rusia.

Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menyatakan pemindaian akun media sosial ini untuk "memperdalam proses investigasi yang sudah ada, dan menyediakan kejelasan serta pandangan terhadap tindakan jahat yang akan dilakukan di masa depan. Hal ini juga bisa mempermudah kerja analis dan investigator." Tentu, kita semua tahu bahwa tindakan jahat yang mereka maksud adalah segala bentuk terorisme.

Memang penyertaan akun media sosial ini baru bersifat pilihan, serta baru diaplikasikan ke beberapa negara saja. Tapi inisiatif ini sudah mengundang banyak kritik. Baik dari pekerja teknologi informasi hingga kelompok pembela hak asasi. Inti kritik mereka: media sosial adalah hak privat. Dengan memaksa menengok akun tersebut, artinya hak asasi seseorang sudah dilanggar. Kalau sudah begitu, pemerintah AS pun tak bisa protes andai pemerintah negara lain menerapkan kebijakan serupa. Salah satu orang yang paling keras menentang kebijakan ini adalah Michael Macleod-Ball, staf Serikat Kebebasan Sipil Amerika.

"Anggap saja pemerintah memang punya hak untuk mengumpulkan informasi. Akan lebih bagus kalau mereka fokus ke masalah privasi seperti yang sudah diungkapkan berbagai grup advokasi sejak lama," kata Michael pada Politico.

Kebijakan ini sebenarnya sudah didengungkan sejak Desember 2015, dan mulai diterapkan pada Juni 2016. Sejak kejadian teror 11 September, AS memang lebih mengetatkan syarat visa. Selain mulai mengawasi orang berdasarkan nama dan ras tertentu, pelbagai pertanyaan aneh, dan cenderung mengundang geli, turut disertakan dalam formulir permohonan visa.

Misalkan: Pernahkah kamu terlibat, mendukung, atau mendorong kegiatan terorisme di negaramu? Atau: Apakah kamu berencana melakukan kegiatan mata-mata ketika ada di AS?

Infografik Visa AS

(Masih) Paranoia pasca-September

Nosa Normanda pernah mendapat pengalaman menghadapi pertanyaan konyol itu. Tahun lalu, Nosa pergi ke Washington untuk mengikuti istrinya yang melanjutkan studi di sana. Saat melamar visa, ia mendapati pertanyaan-pertanyaan yang tak urung bikin tersenyum simpul sekaligus membuat gatal kulit kepala.

"Masak ditanya, 'Apakah anda membawa bom atau senjata api?' Juga ada pertanyaan yang kira-kira bunyinya, 'Apakah anda bermaksud menggulingkan pemerintah Amerika?'" kata Nosa.

Sedangkan Rani Basyir, yang tahun lalu dua kali pergi ke Orlando, tak mengalami pertanyaan aneh. Yang diajukan hanya pertanyaan standar, seperti akan kerja di mana setibanya di AS; atau berapa lama akan menetap di AS. Namun ada satu pertanyaan sama yang ditanyakan dengan cara berbeda.

"Jadi pertanyaan pertama, 'Apakah pernah ke AS?' Kedua, 'Pernahkah kamu ke luar Indonesia?' Ketiga, 'Pernahkah kamu traveling ke negara lain?' Aku kan belum pernah ke luar negeri sama sekali. Pertama kali ya ke AS itu. Jadi jawaban pertama seharusnya menjelaskan semua. Tapi ya gitu, tetap ditanyain," kata Rani.

Namun ada hal agak kurang mengenakkan sempat dialami Rani. Nama belakangnya, Basyir, dianggap punya afiliasi dengan Abu Bakar Ba'asyir, pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki yang punya kaitan dengan pelbagai jaringan militan Islam. Saat memasuki pemeriksaan imigrasi, Rani sempat dipisahkan dari rombongan dan diberi beberapa pertanyaan tambahan.

Sebenarnya, kesadaran tentang pemindaian media sosial ini sudah dipahami oleh banyak orang. Setidaknya, sudah banyak orang tahu bahwa media sosial kini tak lagi sekadar medium bersenang-senang. Media sosial dipakai untuk mewakili penjelmaan seseorang, baik pemikiran, ideologi dan sikap politik, juga pola pikir. Ini disadari betul oleh Garna Raditya, pemuda Semarang yang sejak 9 bulan lalu migrasi ke kampung halaman istrinya di Oakland, California.

"Aku sempat parno selama setahun. Enggak bikin postingan subversif di media sosial selagi proses mengurus visa," kata Garna sembari tertawa. "Sejauh ini visaku yang imigran tak pernah mengalami pertanyaan yang sumir. Lancar. Karena memang mengikuti prosesnya, walau rumit." Menurut Garna, asal dokumen lengkap, maka semua akan baik-baik saja.

Menurut Nosa, kebijakan baru ini tak akan berjalan dengan efektif. Malah akan menambah daftar kekacauan.

"Ini cuma nambahin daftar entri enggak masuk akal saja. Dulu masalah nama. Terus racial profiling. Sekarang media sosial. Pemindaian itu sepertinya tak akan berpengaruh apa-apa," kata Nosa.

Amerika Serikat memang dianggap sebagai tanah yang dijanjikan. Karena itu banyak orang yang tergiur dengan Mimpi-Mimpi Amerika. Orang terus berdatangan, semakin banyak tiap tahun. Pada 2011, ada sekitar 7,5 juta visa non-imigran yang diterbitkan pemerintah AS. Pada 2015, jumlahnya sudah mencapai 10,8 juta visa.

Meski kebijakan baru ini sudah banyak dikritik, tampaknya ia tak akan digugurkan atau dihilangkan. Apalagi mengingat presiden baru AS, Donald Trump, adalah sosok yang dikenal keras—cenderung rasis—terhadap imigran. Kalau benar begitu, maka siap-siap saja media sosialmu akan dibongkar sedemikian rupa saat pergi ke AS.

Amerika Serikat. Rumah bagi kebebasan. Yeah.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam