tirto.id - Kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Jalan Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12/2016) malam dibubarkan karena mengapat protes dari organisasi Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dan Darud Da'wah Wal Irsyad (DDI).
Terkait dengan itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Kombes Pol Rikwanto mengatakan kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) itu dihentikan karena syarat administasi belum dipenuhi.
"Bukan dibubarkan tetapi dihentikan karena tidak penuhi syarat (administratif) dan dilanjutkan pada hari berikutnya," kata Rikwanto dikutip dari Antara, Rabu (7/12/2016).
Meski demikian, Rikwanto mengaku belum mendapatkan detil syarat-syarat apa yang belum terpenuhi.
"Saya belum dapat detilnya," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa memang pada Selasa, terdapat jadwal kebaktian di Sabuga Bandung.
"Itu dilakukan dua kali pada sore hari. Pertama, pada pukul 15.00-17.00 WIB tidak sampai 100 orang peserta. Pada kegiatan pertama berlangsung lancar dan damai tidak ada insiden. Kedua, dilakukan malamnya pukul 19.00 WIB di situ masalah mulai muncul," katanya.
Ia mengatakan massa dari organisasi Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dan Darud Da'wah Wal Irsyad (DDI) protes soal kegiatan malam hari di Sabuga tersebut.
"Massa hampir 300 orang tetapi sebelum terjadi insiden, Polres Bandung melakukan mediasi dengan pihak KKR dan ormas hasilnya disepakati kegiatan malam itu dihentikan karena syarat administatif. Tidak ada insiden, pukul-pukulan, sudah sepakat tidak ada masalah selanjutnya," ucap Rikwanto.
Sebelumnya dilaporkan, sejumlah ormas keagamaan meminta agar kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh Pendeta Stephen Tong di Sabuga Bandung, dihentikan pada Selasa. Akhirnya setelah melalui kesepakatan bersama, kegiatan KKR untuk Selasa malam-nya disepakati tidak jadi dilaksanakan.
Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan pembubaran kegiatan KKR itu merupakan pelanggaran atas kebebasan beribadah yang dilakukan oleh aktor negara dan aktor non negara.
"Peragaan pelanggaran HAM [Hak Asasi Manusia] semacam ini merupakan ancaman serius bagi kemajemukan Indonesia," kata Hendardi.
Hendardi menilai aktor negara yang harus bertanggung jawab penuh terhadap pelarangan ini adalah Kepolisian Resort Kota Bandung.
Polisi, kata dia, bukan hanya membiarkan aksi kelompok intoleran, tetapi juga berperan aktif serta memprakarsai aksi pembubaran dengan alasan yang tidak logis.
Hendardi juga menilai bahwa cara-cara kerja polisi dalam menangani kasus-kasus semacam ini tetap tidak berubah, dimana polisi selalu memaksa kelompok minoritas untuk mengikuti kehendak kelompok intoleran.
Untuk itu, dia meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberhentikan Kapolrestabes Bandung dan mengevaluasi Kapolda Jabar yang juga gagal melindungi warga negara.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto