tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kelebihan jumlah perwira menengah (Pamen). Kelebihan jumlah Pamen sudah terjadi sejak dua tahun. Dampaknya banyak Pamen diperbantukan ke lembaga lain di luar Polri.
Dari data di Divisi Humas Polri, ada 1.300 perwira dengan pangkat Komisaris Besar (Kombes) pada 2015. Mereka harus bersaing lewat jalur seleksi untuk menjadi 250 orang yang dipromosikan menjadi perwira tinggi. Kondisi ini sudah terjadi sejak lama dan membuat lembaga kepolisian berbenah.
“Saat ini, kami sedang lakukan pembenahan. Ada stuck di pangkat Kombes. Sudah setahun belakangan ini Polri berupaya untuk mengurangi terus,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Mohammad Iqbal, di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (26/3/2018).
Iqbal menjelaskan banyak perwira berpangkat Kombes yang saat ini diperbantukan menjadi bagian Analis Kebijakan (Anjak). Jabatan ini merupakan jabatan fungsional yang “tugas utamanya” hanya menunggu kesempatan mendapat penempatan baru.
Menurut Iqbal, jabatan Anjak ini akan dijadikan jabatan struktural. Caranya, Polri akan menambah pengiriman perwiranya ke kementerian/lembaga yang mempunyai perjanjian kerja sama.
Perjanjian ini akan membuat perwira yang non-job kembali punya pekerjaan utama. Sejauh ini, ada 10 Kementerian/Lembaga yang sudah menandatangani kerja sama dengan Polri. “Kami sudah finalisasi, mudah-mudahan disetujui Kementerian Aparatur Negara dan lain-lain. Itu effort Polri,” kata Iqbal.
Soal kebijakan mengirimkan para Pamen ke kementerian/lembaga karena Polri memang kelebihan SDM. Iqbal mengatakan kondisi ini membuat sejumlah kementerian/lembaga meminta Polri untuk menempatkan perwiranya.
“Karena banyak yang meminta, kami kirimkan bantuan ke sana, karena SDM di kami ada banyak,” kata Iqbal.
Penyebab Penumpukan Perwira
Menurut Iqbal penumpukan perwira menengah di lingkungan Polri muncul karena jumlah lulusan sekolah kepolisian dan penempatan tidak berimbang. Iqbal memang tak merinci angka persisnya, tapi ia menegaskan jumlah yang dibutuhkan Polri lebih sedikit daripada jumlah lulusan.
“Ini domino effect dari yang dulu-dulu. Ya 'kan sistem pendidikan [Polri] empat tahun. Demand dan supply itu mungkin tidak berimbang. Kemudian yang pensiun juga mungkin tidak berimbang," kata Iqbal.
Direktur Eksekutif Indonesian Police Watch Neta S. Pane mengatakan Polri seharusnya tak menerima calon anggota Polri yang ingin menempuh pendidikan.
“Perlu dikaji ulang [penerimaan di Akpol]. Kalau perlu dihentikan sementara kemudian yang petugas standar pelayanan minimal diperbanyak karena petugas polisi di lapangan yang kekurangan,” kata Neta saat dihubungi Tirto.
Mengenai solusi agar jumlah Pamen tidak menumpuk, Neta menyatakan perlu ada penawaran pensiun dini dari institusi Polri. Opsi ini seperti yang diambil Ronnie F. Sompie yang mundur dari Kepolisian guna mendaftar sebagai Direktur Jenderal Imigrasi.
“Daripada tidak ada kerjaan dan tidak jelas, lebih baik ditawari pensiun dini. Itu solusi paling realistis,” saran Neta.
Bisa Muncul Dwifungsi Polri
Selain untuk mengurangi jumlah SDM di internal Polri, Neta menyebut, perubahan sistem ini untuk meminimalisasi perbantuan yang lazim dilakukan polisi kepada kementerian/lembaga. Neta menyebut penempatan polisi di kementerian/lembaga yang terjadi saat ini bukan lagi perbantuan, tapi bentuk dwifungsi Polri di ranah sipil.
Misalnya Kombes Ipung Purnomo dan Brigjen Nurwindianto menjadi dua di antara sejumlah perwira Polri yang diperbantukan ke institusi lain. Ipung bertugas sebagai Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (INASGOC) dan Nurwidianto menjabat Direktur Pengamanan dan Pengawasan BNP2TKI. Selain itu, ada Brigjen Aris Budiman yang menjabat Direktur Penyidikan KPK.
Neta memberi contoh wacana penempatan jenderal polisi sebagai pelaksana tugas gubernur, beberapa waktu lalu. Wacana itu belakangan dibatalkan lantaran banyak penolakan dari masyarakat sipil. Menurut Neta, rencana menjadikan jenderal aktif sebagai Plt gubernur merupakan bentuk dwifungsi.
“Padahal dwifungsi sudah dilarang sejak lama,” kata Neta.
Neta menyebut Polri semestinya berkaca dari TNI yang sudah kembali ke barak lantaran dwifungsi ABRI sudah dilarang. Menurut Neta, Polri sebagai penegak hukum tak boleh menempati jabatan pegawai negeri sipil.
“Kalau katanya kementerian kekurangan sumber daya manusia, itu omong kosong,” kata Neta.
Perbantuan Hanya Solusi Sesaat
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menerangkan langkah perbantuan Polri tidak menyalahi aturan. Ia menyebut ada perjanjian kerja sama yang mengatur penugasan tersebut.
“Sama sekali tidak melanggar hukum serta tidak mewajibkan yang bersangkutan mundur terlebih dahulu,” kata Poengky.
Ia mengatakan penugasan ini tak bisa menjadi solusi atas penumpukan perwira menengah atau perwira tinggi yang non-job. Ia berpendapat penumpukan ini harus diatasi dengan penyesuaian kenaikan pangkat dan jabatan para anggotanya. Bila tidak ada prestasi dan hanya berbekal masa dinas yang lama, seharusnya anggota Polri tidak perlu diberi kenaikan pangkat.
“Harus faktor prestasi, profesionalitas yang dikedepankan, bukan faktor umur atau angkatan,” kata Poengky.
Namun, faktor ini kadang tak diperhatikan Polri. Poengky mengatakan, promosi pangkat terkadang masih mencampuradukkan beberapa faktor dalam promosi ini sehingga penumpukan Pamen terjadi.
“Ini yang harus dibenahi,” kata Poengky.
Menurut Poengky pembenahan ini memungkinkan penumpukan perwira menengah bisa ditekan. Selain penyesuaian kenaikan pangkat, Mabes Polri bisa menempatkan perwira menengah di kepolisian daerah yang membutuhkan sumber daya tambahan.
“Misalnya di Polda Kaltara dan Polda Sulbar,” ucap Poengky.
Poengky menyatakan Polri harus bisa bertindak tegas, ketika kebijakan ini dijalankan dan ada anggota yang menolak penugasan. Langkah tegas ini juga bisa menjadi jalan keluar atas penumpukan Pamen di tubuh Polri.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih