Menuju konten utama

Polri Didesak Usut Kasus Rasisme di Asrama Papua Tanpa Pandang Bulu

Kepolisian didesak mengusut kasus pengepungan dan pelontaran ujaran kebencian rasial di asrama mahasiswa Papua secara transparan sekaligus tanpa pandang bulu.

Polri Didesak Usut Kasus Rasisme di Asrama Papua Tanpa Pandang Bulu
Sejumlah orang keluar dan mengangkat tangannya di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.

tirto.id - Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mendesak polisi mengusut pelaku persekusi dan ujaran kebencian rasial ke mahasiswa Papua di Surabaya tanpa pandang bulu.

Apalagi, di video yang beredar di media sosial, terlihat tak hanya massa ormas yang mengepung asrama mahasiswa Papua dan meneriakkan makian rasisme, melainkan juga aparat TNI.

Berdasarkan kesaksian salah satu mahasiswa penghuni asrama, justru aparat yang pertama kali datang dan melontarkan cacian.

"Artinya untuk orang-orang yang meneriakkan hal yang sama walau dia aparat negara harus tetap diproses hukum," ujar Anggara saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (23/8/2019).

Dia pun meminta pemerintah menunjukkan komitmen mendukung penyelesaian kasus ini, salah satunya dengan mendorong penegakan hukum yang transparan. Sebab, proses hukum yang tidak transparan berpotensi menjadi bensin yang membakar konflik di Papua dan Papua Barat.

Anggara mengapresiasi langkah polisi mendalami peran Tri Susanti dalam pengepungan asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Meskipun demikian, menurut dia, polisi seharusnya mengusut pengepungan yang disertai makian rasisme itu sejak awal.

Tri Susanti merupakan anggota Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia (FKPPI) yang menjadi koordinator lapangan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-17 Agustus lalu.

Namanya mencuat usai meminta maaf atas pengepungan asrama mahasiswa Papua. Permintaan maaf disampaikan setelah insiden di Surabaya menyulut kemarahan warga Papua dan Papua Barat hingga berujung pada unjuk rasa dan kerusuhan di sejumlah kota.

"Kami atas nama masyarakat Surabaya dan dari rekan-rekan ormas menyampaikan permohonan maaf apabila ada masyarakat atau pihak lain yang sempat meneriakkan itu," ujar Tri di Kantor Polda Jawa Timur, Surabaya pada Selasa (20/8/2019).

Kepala Divisi Advokasi KontraS Arif Nur Fikri juga mendesak polisi transparan dalam menangani kasus persekusi dan diskriminasi rasial ini.

Untuk memastikan transparansi, ia berharap kasus ini diselesaikan di pengadilan umum untuk semua pelaku, termasuk jika ada anggota TNI terlibat. Menurut Arif, aparat yang terlibat di kasus ini seharusnya tidak diadili di peradilan militer.

"Waktu pascareformasi, ada kewajiban TNI mereformasi peradilan militer tapi sampai saat ini itu belum dilakukan," kata Arif saat ditemui di kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Arif berpendapat kasus ini bukan delik yang menjadi kewenangan pengadilan militer. Selain itu, jika merujuk pada UU Peradilan Militer, mestinya ada penelitian yang dilakukan Kejaksaan agung dan Odituriat Militer untuk melihat siapa pihak yang menjadi korban dalam suatu tindak pidana.

"Di peristiwa soal ujaran rasialisme itu, ada gak kerugian paling besar yang diderita pihak TNI? Kalau tidak ada ya memang mekanismenya harus peradilan umum," ujar Fikri.

Presiden Joko Widodo sebenarnya telah menyampaikan perintah tegas agar pelaku ujaran rasisme ke mahasiswa Papua di Surabaya ditindak secara hukum.

"Saya sudah memerintahkan ke Kapolri menindak secara hukum tindakan diskriminasi ras dan etnis yang rasis secara tegas. Ini tolong digarisbawahi," kata Jokowi di Istana Bogor pada Kamis (22/8/2019) lalu.

Sementara Kepala Penerangan Kodam V/Brawijaya Imam Haryadi mengklaim ada 5 anggota TNI yang sudah dipanggil untuk dimintai keterangan terkait insiden di asrama mahasiswa Papua.

Saat ini, kata Imam, berkas perkara 5 anggota TNI terebut sudah dilimpahkan ke Pomdam untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Memang dari kemarin sudah dilimpahkan dari pendalaman intel masuk ke penyidikan pomdam," kata Imam saat dihubungi pada Jumat (23/8/2019).

Imam mengatakan Pomdam Brawijaya akan melakukan investigasi untuk mengusut dugaan bahwa lima tentara itu bersalah.

Jika ada bukti mereka bersalah, kata Imam, dilakukan penelitian untuk memutuskan kasus itu akan diadili dengan mekanisme peradilan umum atau peradilan militer.

Imam berjanji TNI akan tegas menindak anggotanya yang terbukti melanggar hukum.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom