Menuju konten utama

Politik Rasa Takut dan Jilbab yang Dilepas Karena Trump

Kemenangan Donald Trumpd dalam Pilpres Amerika bukan hanya mengguncang pendukung Hillary Clinton, tapi juga penduduk muslim. Banyak yang menguatirkan soal keamanan, bahkan ada perempuan yang bersedia berkompromi melepas jilbabnya.

Politik Rasa Takut dan Jilbab yang Dilepas Karena Trump
Muslim AS dalam sebuah pertemuan di Pusat Studi Islam, Washington DC. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Kurang dari satu jam usai Donald Trump diumumkan memenangi Pemilu AS, Rony K. Pratama menyampaikan kegelisahannya di Facebook dengan sebaris pertanyaan. “Donald Trump menang. Bagaimana dengan nasib pelajar Indonesia yang hendak studi ke US? Apakah masih aman?”

Rony adalah satu di antara sejumlah akademisi Indonesia yang sedang menunggu diberangkatkan ke Negeri Paman Sam untuk studi. Ia akan berangkat Januari mendatang. Lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY itu mendapat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan S2 di Michigan State University jurusan Literacy Instruction. Ia seorang muslim yang taat.

Sejumlah teman menganggap kegelisahan Rony agak berlebihan. Tapi bagi Rony, terpilihnya Trump sebagai orang nomor satu di Amerika sedikit banyak akan berpengaruh mengingat identitasnya sebagai seorang pendatang muslim. Ia masih ingat betapa diskriminatifnya calon dari Partai Republik itu kepada orang-orang muslim selama berkampanye. Ia jelas tak menginginkan retorika yang keluar dari mulut Trump benar-benar terjadi padanya atau muslim di AS lainnya.

“Khawatir kalau calon mahasiswa muslim yang akan ke sana ‘dipersulit’ dalam pengurusan VISA. Aku lebih melihat ke kebijakan secara administratif-nya: mencurigai orang luar, baik pelajar maupun imigran, melalui jalur VISA,” ungkapnya.

Ia memang tak terlalu mengkhawatirkan tindak diskriminasi karena akan lebih banyak menghabiskan waktu bergaul dengan akademisi kampus—lingkaran sosial yang menurutnya lebih dewasa dan rasional. Terlebih, Rony adalah laki-laki. Di ruang publik, potensi diskriminasi masih jauh lebih kecil ketimbang perempuan muslim. Mereka yang paling mudah diidentifikasi dari penampilan luar, lebih spesifik lagi melalui jilbab yang menutupi kepala.

Naiknya Trump di tampuk kepresidenan memang terbukti menaikkan tingkat kekhawatiran sejumlah golongan muslim di AS, terutama kaum perempuan. Ketakutan akan diskriminasi para pengikut Trump yang sukses disiram api “anti-muslim” membuat sejumlah perempuan muslim AS merencanakan hal yang segera menjadi perhatian publik: melepas jilbab yang sehari-hari mereka pakai saat keluar rumah untuk menghindari intimidasi.

Ketakutan itu menyebar dengan cepat di media sosial. Di Twitter, tak lama setelah pengumuman kemenangan Trump yang secara tak terduga mampu meraih suara elektoral lebih banyak ketimbang Hillary, kekhawatiran terbaca jelas.

Seorang pemilik akun bernama @harryonmen misalnya, pada 9 November atau sehari setelah pemilu mencuit: “Ibuku baru saja mengirimkan pesan singkat 'aku mohon tak usah pakai jilbabmu', dan percaya atau tidak, dia adalah orang paling religius di keluarga kami.”

Saking ketakutannya, ibu si pemilik akun merasa perlu berkompromi dengan kepercayaannya yang termanifestasikan dalam pakaian itu. Tujuannya apa lagi jika bukan keamanan anaknya tercinta. Lebih lanjut, si pemilik akun bercerita betapa ia ingin menangisi hasil pemilu kemarin. Ia paham mengapa ibunya siap berkompromi demi keselamatan dirinya. Tak berapa lama kemudian, lebih dari 85 ribu akun memberikan simpati serta 68 ribu lainnya me-retweet cuitan tersebut.

Akun lain bernama @lxmyaa di hari yang sama mencuit: “Adik perempuanku yang berusia 8 tahun bilang padaku jika ia takut menjadi seorang muslim. Oh, kata-katanya sungguh menghancurkan hatiku. Aku pun menangis. Jangan sekali-kali kau bilang kata-katanya tak bermakna apa-apa, ya.”

Ekspresi atas rasa takut yang serupa juga diungkapkan oleh akun @Humairabear yang mencuit: “Hari ini untuk pertama kalinya aku benar-benar takut menjadi perempuan muslim di AS.” Atau dari akun @_ItsFatimah yang berkata: “Aku bangga menjadi muslim. Aku bangga memakai jilbab. Barangkali aku takut, tapi demi keamanan, aku tak akan membiarkan diriku juga merasakan ketakutan yang sama (terhadap Trump).”

Howida Tarabzooni, seorang mahasiswa The New York Istitute of Technology, bahkan tak sekadar berwacana. Beberapa jam usai pengumuman kemenangan Trump, perempuan asal Arab Saudi yang pindah ke AS sejak awal tahun 2015 lalu segera memutuskan untuk mengganti jilbabnya dengan memakai topi. Ia menanggalkan selembar kain yang membentuk identitasnya sejak usia 13 tahun.

“Aku tidak takut dengan Trump. Aku takut dengan para pendukung fanatiknya,” katanya kepada New York Daily News. “Trump telah menebarkan begitu banyak ketakutan, begitu banyak kebencian, dan begitu banyak diskriminasi terhadap kaum minoritas. Pada dasarnya ia adalah seorang rasis dan dikalikan dengan 10.”

Sehari usai pemilu, Tarabzooni duduk diam di apartemennya, dan dilanda kebingungan untuk memutuskan apakah hari itu ia mesti mengikuti perkuliahan atau tidak. Akhirnya, jilbab ia tinggalkan, topi ia kenakan, dan ia pun berangkat ke kampus. Sesampainya di kelas, ia melihat tiga dari empat teman perempuannya yang terbiasa mengenakan jilbab telah menggantinya dengan penutup kepala yang lain, sama seperti dirinya.

“Bukan aku saja yang muslim, tapi aku juga punya penyakit gelisah. Dan jika kegelisahan itu berada di titik maksimal setiap waktu, bagaimana aku bisa melakukan aktivitas dengan normal?” ujar Tarabzooni. Meski demikian, ia tetap mendorong teman-temannya untuk menolak takut. Ia tak ingin tindakannya melepas jilbab diikuti oleh perempuan muslim di AS lainnya.

Infografik Muslim di Bawah Rezim Trump

Politik Rasa Takut

Trump sadar jika orang-orang AS terutama kulit putih dari kalangan konservatif dan kelas bawah yang sedang dalam tekanan ekonomi bisa digerakkan untuk memilihnya lewat politik rasa takut. Ia tiba-tiba memoles diri sebagai “ratu adil” dengan retorika yang mampu menjadi katarsis dari tekanan yang dirasakan orang-orang selama ini.

Trump menyadarkan fakta bahwa mereka itu mayoritas yang memiliki kekuatan lebih ketimbang golongan muslim yang menurut catatan Pew Research hanya berjumlah 3,3 juta jiwa atau hanya 1 persen dari total populasi warga AS (322 juta). Golongan minoritas ini, dalam pandangan Trump, setara dengan minoritas lain yang rata-rata adalah pendatang. Contohnya ialah warga keturunan Hispanik atau warga keturunan Cina.

Para imigran, termasuk banyak warga muslim, bagi Trump adalah sumber masalah. Maka saat kampanye dengan entengnya ia berencana “menutup seluruh akses masuk untuk orang-orang muslim ke teritori AS”. Dalam sebuah kesempatan, ia bahkan melecehkan keluarga Gold Star Khan dengan mengatakan bahwa Ghazala Khan seharusnya tak usah banyak omong di konvensi Partai Demokrat sebab ia seorang muslim.

Ia juga menganggap warga muslim AS adalah sekumpulan teroris yang serupa dengan ISIS. Sebuah generalisasi yang, sayangnya, dipercayai sebagian besar pendukungnya. Trump diuntungkan dengan makin mengganasnya ISIS dalam menyebarkan teror di banyak wilayah, terutama di Eropa. Hasilnya isu atas kemanan nasional seperti terjadi pasca tragedi 9/11 kembali menyeruak.

Juru bicara The Council of American-Islamic Relations di Washington membenarkan penyebaran rasa takut dan gelisah ini. Kepada The Independent, ia terus bertanya-tanya apa sekiranya yang akan terjadi usai Trump dilantik mengingat politisi sekaligus pebisnis asal New York itu telah jauh-jauh hari menyebarkan rasa takut itu sejak masa kampanye.

“Sekarang kita hanya bisa menunggu apakah yang ia sampaikan di atas podium itu hanyalah retorika saja atau benar-benar akan ia realisasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan fanatik. Yang jelas kita akan terus berjuang untuk mempertahankan hak sipil untuk seluruh warga AS terlepas siapapun yang berkuasa di Gedung Putih,” lanjut sang jubir.

Nihad Awad, selaku direktur eksekutif organisasi tersebut, menambahkan bahwa “Komunitas muslim AS akan terus melanjutkan mobilisasi menantang sikap fanatik demi menjunjung tinggi keadilan dan melindungi hak atas kebebasan yang sejatinya melekat pada semua warga AS.”

“Warga muslim AS tak akan pindah kemana pun, dan mereka tak akan diintimidasi ataupun dimarjinalisasi,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS