tirto.id - Fokus jamaah segera teralihkan saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hadir ke tengah-tengah acara Istigasah Kebangsaan Nahdhiyin di Jalan Talang, Jakarta Pusat, Minggu (5/2/2017) malam. Situasi jadi riuh. Ibu-ibu pengajian segera menyemut mendekati Ahok. Bahkan satu sampai dua ibu-ibu kedapatan menyalami tangan Ahok dengan gaya ala santri-kiai. Cium punggung tangan. Kondisi riuh ini baru terkendali saat Ahok sukses “dievakuasi” ke panggung.
Jangan menilai bahwa kehadiran Ahok ini menjadi sinyal bahwa Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta akan mendukung Ahok dalam Pilihan Gubernur (Pilgub) DKI nanti. Pada kenyataannya, tidak sampai 1x24 jam, muncul klarifikasi dari Mahfudz Asirun, selaku Rais Syuriah PWNU DKI, bahwa kehadiran Ahok sama sekali tak mencerminkan sikap politik Pengurus NU.
Dalam praktiknya, istigasah merupakan salah satu ritual yang sukses mengantarkan NU menjadi ormas yang bisa terus selamat mengarungi berbagai macam kondisi pemerintahan. Hal yang kembali digunakan untuk acara yang dihadiri Ahok.
Pada era Orde Baru (Orba), istigasah punya peran penting bagi NU. Sebagai organisasi masyarakat, bahkan institusi sosial yang besar dan menyebar, NU hampir tidak memiliki tempat di Pemerintahan Orde Baru. Pada akhirnya, pendekatan kultural seperti istigasah punya peran yang luar biasa untuk tetap menjaga NU menjadi ormas Islam terbesar di Indonesia.
Kendati tidak menjadi bagian lingkaran kekuasaan di zaman Orde Baru, bukan berarti NU tidak terlibat politik praktis sama sekali. Agenda kultural seperti istigasah ini seringkali dimanfaatkan untuk memberi pesan-pesan politik, baik oleh lingkaran kekuasaan maupun oleh kalangan NU itu sendiri. Satu sama lain saling memanfaatkan dalam proses negosiasi politik yang seringkali tak mudah dipahami.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahu itu. Dalam statusnya sebagai Ketua Umum NU sejak 1984 hingga 1998, dia sangat menentukan penempatan posisi NU dalam konstelasi dan kontestasti dengan kekuasaan. Ia memanfaatkan benar posisinya di NU, juga posisi kulturalnya yang "berdarah biru", untuk bermanuver guna menjadikan NU tetap relevan dengan perkembangan zaman dan situasi politik. Dari menentang pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang menandai pergeseran politik Soeharto yang lebih ramah pada Islam hingga mengundang Siti Hardiyanti Rukmana.
Mengundang Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, anak tertua Soeharto, ke acara Istigasah NU pada 31 Maret 1997 menjelang Pemilu 1997 adalah salah satu momen yang banyak diingat. Acara ini memang awalnya terkesan netral. Bahkan Gus Dur menyampaikan kepada warga NU untuk bebas memilih Partai Politik yang dirasa sejalan dengan cita-cita tiap jamaah. Artinya, tidak harus Partai Golkar. Masalahnya, akan naïf jika menilai kehadiran Tutut hadir murni hanya untuk ikut istigasah semata. Apalagi dalam sambutannya, Gus Dur menyebut Mbak Tutut sebagai “tokoh pemimpin masa depan Indonesia”.
Itulah momen penting yang membuat istigasah mulai muncul ke dalam nomenklatur politik Indonesia. Dan Gus Dur tak berhenti dengan istigasah pada 1997 itu saja. Pada bulan-bulan pertama pascareformasi, rangkaian istigasah digelar di berbagai tempat. Frekuensi istigasah semakin meningkat pada fase-fase genting menjelang pelengseran Gus Dur dari jabatan presiden pada 2001.
Istigasah inilah yang menjadi medium Gus Dur untuk "mengeluarkan" NU dari kepompong kebudayaan asal dan membawa NU memasuki tlatah kebudyaan yang lebih luas, dalam hal ini kancah nasional yang lebih terbuka dan beragam. Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas (2003, hal 97) menyebutnya sebagai “desakralisasi politik santri”. Mengubah sesuatu yang sakral menjadi tidak lagi sakral. Praktik yang kemudian membuat simbol agama digunakan untuk mengerahkan massa guna membenarkan, melegitimasi, atau menolak pilihan politik.
Desakralisasi yang sama juga terjadi dalam istigasah yang menghadirkan Ahok. Desakralisasi untuk mendorong penyelesaian berbagai masalah politik menggunakan pendekatan sosio-budaya yang bisa dinegosiasikan. Persoalannya, dalam konteks fikih, masalah kenegaraan dan politik punya bidang yang berbeda. Istigasah termasuk dalam ritual ibadah sehingga masuk sebagai fikih syariat sedangkan persoalan politik masuk dalam pembahasan fikih siyasah (politik).
Ini sama seperti ulama yang terbelah mengenai hukum memilih Ahok sebagai gubernur. Dalam Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010: hal. 109), bahwa perkara kenegaraan seharusnya dibaca menggunakan kacamata fikih siyasah, bukan dengan menggunakan fikih syariat. Mencampuradukkan semuanya, menurut Abdul Hasan Al-Mawardi dalam Abadud Dunya wad Din akan bermuara menjadi politisasi agama.
Itijhad politik Al-Muwardi ini didasarkan pada bagaimana hubungan agama-politik pada zaman Nabi Muhammad maupun Khulafaurasyidin. Artinya, meskipun memiliki legitimasi secara agama maupun politik, dalam persoalan politik Nabi tetap menggunakan mekanisme syura (musyawarah) dan bay’at (pengangkatan dari rakyat). Pada titik ini persoalan fikih syariat seperti kewajiban syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji adalah perkara mutlak. Sedangkan masalah politik adalah hal-hal yang bisa dinegosiasikan, bergerak dinamis dan fleksibel.
Istigasah adalah medium kultural dalam khasanah kehidupan NU yang menjembatani yang-syariat dan yang-siyasah.
Istigasah sendiri berasal dari kata “al-ghouts” yang berarti "pertolongan". Dengan mengikuti pola “istaf’ala” atau “istif’al” yang berarti "permintaan" atau "permohonan", istigasah kemudian diartikan sebagai usaha meminta pertolongan. Sama halnya dengan “ghufron” yang bermakna ampunan dengan pola “istif’al” yang kemudian diucapkan “istighfar”, yang berarti "memohon ampun".
Pada ritualnya, istigasah berisi zikir bersama dengan bacaan-bacaan yang sudah ditentukan. Zikir diawali dengan surat Al-Fatihah, bacaan istigfar, kalimat tauhid, bacaan selawat, kemudian bacaan zikir dilanjutkan dengan pembacaan Surat Yasiin. Baru kemudian dipungkasi dengan doa meminta pertolongan kepada Tuhan.
Prosesi ini biasanya berlangsung tak lebih dari satu jam. Baru setelahnya akan dilanjutkan dengan tausiyah dari ulama-ulama yang hadir. Sampai tahap inilah istigasah bisa dimasuki pembahasan-pembahasan umum. Dari persoalan ekonomi, sosial, sampai politik. Artinya, sekalipun istigasah digunakan sebagai nama acara, prosesi ini bisa hanya mukadimah dari acara yang “sebenarnya diagendakan”.
Kelenturan sesi tausiyah inilah yang memungkinkan istigasah menjadi terbuka untuk digunakan mengirimkan pesan-pesan siyasah, termasuk di antaranya urusan-urusan sekuler macam politik. Ini hal yang jamak dalam penyelenggaraan istigasah, terutama setelah "dirumuskan ulang" oleh Gus Dur.
Sebagai istigasah politik, acara yang menghadirkan Ahok kemarin tentu mesti dipandang secara politik. Klarifikasi dari PWNU Jakarta juga mesti dibaca dengan cara yang demikian. Sebuah peristiwa politik direspons secara politik juga.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS