Menuju konten utama

Plus Minus Pelican Crossing yang Ramai Karena Anies Baswedan

Pelican Crossing sebetulnya sudah diadopsi Indonesia sejak 1997, dan beberapa waktu terakhir kembali ramai dibicarakan karena Anies Baswedan.

Plus Minus Pelican Crossing yang Ramai Karena Anies Baswedan
Pengguna jalan melintas di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO) Bundaran HI di Jakarta, Selasa (24/7/2018). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Pada jam-jam sibuk, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang melintang di Jalan Jenderal Sudirman samping Bundaran Hotel Indonesia selalu disesaki orang. Namun pemandangan itu bakal tak ada lagi dalam waktu dekat.

Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan JPO itu akan dirobohkan sebagai bagian penataan kota menyambut Asian Games yang diselenggarakan pada 18 Agustus sampai 2 September nanti. Menurut Anies, tanpa JPO peserta Asian Games yang melintas dari arah Thamrin bisa melihat langsung kemegahan Patung Selamat Datang, sebagaimana yang terjadi kala Jakarta jadi tuan rumah ajang yang sama pada 1962.

"Patung selamat datang itu dulu dibangun untuk mengucapkan selamat datang kepada peserta Asian Games 1962. Sekarang dengan JPO diturunkan semua orang yang lewat dari Jalan Thamrin ke arah Sudirman akan bisa melihat patung itu seperti semula," katanya, Mingggu (22/7/2018), dikutip dari Kompas.

Sebagai ganti tempat orang menyeberang, Anies bakal membangun apa yang disebut pelican crossing dalam minggu ini. Ada dua pelican crosssing yang bakal dibangun, tepatnya di ujung utara dan ujung selatan Jalan Thamrin. Uang Rp100 juta sudah disiapkan untuk itu.

Rencana jangka panjang Pemprov adalah mengganti JPO dengan penyeberangan bawah tanah. Namun karena butuh cepat dan mengerjakan terowongan tak bisa kilat, maka pelican crossing yang disiapkan. Dengan kata lain: ini proyek sementara. Jika terowongan sudah rampung dibangun oleh pihak MRT, maka pelican crossing bakal dicopot lagi.

Apa itu Pelican Crossing?

Merriam-Webster mendefinisikanpelican crossing sebagai "tempat bagi seseorang dapat menghentikan lalu lintas untuk menyeberang jalan dengan menekan tombol yang mengontrol lampu lalu lintas".

Seperti rambu lalu lintas pada umumnya, pelican crossing — singkatan dari pedestrian light controlled crossing — dilengkapi beberapa lampu berbeda warna. Tombol pelican crossing yang berwarna hijau berarti tak ditekan pejalan kaki, dan kendaraan bebas lewat. Sebaliknya, ketika tombol pelican crossing ditekan, maka beberapa detik kemudian warna akan berganti merah. Sama seperti zebra cros, pelican crossing juga dilengkapi dengan tanda garis-garis putih di aspal.

Teorinya pejalan kaki bakal lebih bebas menyeberang karena kendaraan berhenti. Selain lampu, pelican crossing juga dilengkapi dengan speaker.

Muhammad M. Ishaque dan Robert B. Noland dalam artikel berjudul "Making roads safe for pedestrians or keeping them out of the way? An historical perspective on pedestrian policies in Britain" yang terbit di The Journal of Transport History menyebut pelican crossing adalah evolusi dari sinyal pejalan kaki.

Road Research Laboratory Inggris melakukan serangkaian eksperimen sepanjang 1950 sampai 1956. Kemudian, pada 1968 (beberapa sumber lain menyebut 1969), untuk pertama kalinya pelican crossing diperkenalkan dengan mengambil titik zebra cros. Jadi tinggal ditambah tiang, lampu, dan tombol.

Kata mereka, "salah satu alasan penting adalah membuat pengemudi memberi jalan kepada pejalan kaki tanpa perlu kehadiran polisi untuk memastikan kepatuhan." Pada akhirnya teknologi ini dapat menghemat sumber daya manusia.

Dari Inggris, pelican crossing menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Istilah pelican crossing diadopsi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat pertama kali pada 1997. Pun juga dengan rumusnya. Durasi nyala lampu hijau untuk pejalan kaki ditetapkan dengan rumus: L/1,2 + 1,7 (N/W-1). L adalah panjang penyeberangan (meter); N adalah volume pejalan kaki; dan W adalah lebar penyeberangan (dihitung dalam satuan meter).

Selain menghemat SDM, pelican crossing juga dinilai lebih berpihak bagi penyandang disabilitas, setidaknya jika dibandingkan JPO. Karena itu masyarakat mengkritik langkah Pemprov DKI yang hanya bakal memasang ini sementara.

Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki mengatakan "pelican cross harus tetap ada karena bisa digunakan semua golongan: orang tua, ibu hamil, hingga kaum difabel."

Faktor Keamanan

Dari segi biaya, pelican crossing lebih murah. Setidaknya Anies Baswedan pernah menyebut kalau pembangunan pelican buat mengganti JPO Bundaran HI hanya membutuhkan dana Rp100 juta. Tentu harganya bakal berkali-kali lipat jika membangun terowongan penyeberangan di dalam tanah.

Meski begitu pelican crossing bukan tanpa catatan sama sekali. Meski lebih ramah bagi penyandang disabilitas, namun faktor keamanan sangat ditentukan kepatuhan pengguna kendaraan. Dan di situlah masalahnya.

Sebagaimana dicatat Siti Malkhamah pada risetnya: "Pengguna hanya menaati aturan pada pelican apabila ada pengawasan yang terus menerus dari petugas, dan hal itu sulit dilakukan karena berbagai keterbatasan."

Di pelican crossing yang mengarah ke Stasiun Universitas Pancasila, masih banyak ditemukan pengendara yang menerobos meski lampu berwarna merah. Hal yang sama pernah saya rasakan ketika menyeberang di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara, beberapa bulan lalu. Pengendara begitu sulit bahkan untuk sekadar menurunkan kecepatannya ketika jalanan sedang lowong pada malam hari.

Contoh paling konkret terjadi pada Maret lalu. Seorang perempuan meninggal dunia setelah tertabrak motor di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, oleh sepeda motor yang menerobos pelican crossing.

Baca juga artikel terkait PEMBONGKARAN JPO BUNDARAN HI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Current issue
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS