tirto.id - Danny Priambada, 35 tahun, merasa kurang puas dengan knalpot standar skuter matik miliknya. Ia memutuskan meminang knalpot free-flow aftermarket untuk dicangkok pada mesin skutik bongsornya.
“Pakai knalpot racing itu buat tampilannya lebih bagus, suaranya juga lebih enak,” ucap pemilik bengkel D2 Scooter Workshop, Beji, Depok ini.
Ada anggapan umum mengganti knalpot standar sepeda motor dengan knalpot racing model free-flow akanmendongkrak performa mesin. Suara yang dihasilkan juga lebih nyaring, yang menurut para pemuja kecepatan membuat mereka lebih bergairah saat berkendara.
Berbeda dengan knalpot orisinal pabrikan yang memiliki banyak sekat di silencer, membuat volume gas buang yang keluar menjadi minim. Namun, tentunya pabrikan menyesuaikan setelan mesin dengan ukuran knalpot standar. Knalpot free-flow mampu mengoptimalkan sirkulasi gas buang dari silender mesin. Artikel berjudul “What Are the Benefits of an Aftermarket Exhaust System?” pada laman Your Mechanic, menjelaskan ihwal tubuh knalpot free-flow yang memiliki lebih sedikit saringan atau sekat, sehingga aliran gas buang lebih lancar.
Saat pengendara menggunakan knalpot free-flow, setup mesin-terutama distribusi bahan bakar bisa ditingkatkan sehingga energi yang dihasilkan bertambah. Agar bisa bekerja dengan presisi, knalpot free-flow juga harus kawin dengan konstruksi mesin. Produsen knalpot sangat mengutamakan proses research and development (R&D). Dalam tahapan R&D, ukuran dan lekuk pipa knalpot, bentuk silencer, dan desain aliran udara dirancang untuk bisa meningkatkan performa mesin sekitar 15 persen.
“Ukuran pipa, panjangnya, dan model silencer itu menentukan proses sirkulasi gas buang dari silender. Makanya kita enggak bisa menghitung dengan tepat, bukan enak malah nahan power (mesin),” kata Rio Tan, Technical Support PT Enwan Multi Partindo—distributor knalpot Pro Liner kepada Tirto.
“Honda misalnya, karakternya smooth di putaran mesin bawah sampai tengah, di atas jerit (power besar) jadi kita bikin knalpotnya yang pipanya tidak begitu besar, belakangnya (silencer) baru ukurannya besar. Beda bentuk knalpot untuk Yamaha yang mengutamakan tenaga di putaran bawah sampai tengah. Kita rancang knalpot racing itu harus bisa menaikkan power mesin,” kata Rio.
Efek Buruk Knalpot Free-Flow
Knalpot minim hambatan tentu punya cela. Salah satu yang paling sering jadi pembahasan yakni mengenai suaranya yang nyaring membuat telinga tidak nyaman.
Riset yang dilakukan Jashanpreet Singh, S. P. Nigam, L. K. Bhagi berjudul “A Study of Effectiveness of Muffler on a Two-Wheeler Vehicle Noise” yang diterbitkan International Advanced Research Journal menjabarkan dimensi knalpot berpengaruh terhadap tingkat kebisingan. Melalui eksperimen menggunakan motor berkapasitas 350cc 4-silinder yang dipasang empat knalpot berbeda jenis dan ukuran, riset tersebut menjabarkan tingkat kebisingan tertinggi terjadi pada knalpot yang memiliki silencer pendek dengan diameter sedikit lebih besar dari ukuran standar pabrik. Hal itu dikarenakan pada knalpot dengan silencer pendek udara merambat keluar lebih cepat tanpa melalui banyak penyerapan.
Selain itu, tulisan Motorcyclenews menjelaskan knalpot free-flow yang mampu mengalirkan gas buang dalam jumlah besar perlu diimbangi dengan pasokan bahan bakar lebih banyak. Sebab, knalpot seperti itu memicu pengiriman volume udara lebih banyak ke ruang bakar. Jika tidak diimbangi dengan penambahan suplai bahan bakar, komposisi air fuel ratio (AFR) untuk proses pembakaran menjadi tidak proporsional.
Dalam kondisi jumlah udara lebih banyak ketimbang bensin, percikan api dari busi akan kesulitan melakukan pembakaran. Saat ada bensin dan udara segar yang kembali masuk melalui katup intake, barulah pembakaran terjadi. Namun, karena ledakan berlangsung sebelum katup intake tertutup, bunga api menyebar keluar ruang pembakaran yang menimbulkan efek bunyi tembakan dari mesin.
Masalahnya, ada sepeda motor tertentu yang menerapkan sistem injeksi bahan bakar dengan ECU tipe close loop. Jenis ECU seperti ini tidak bisa disetel secara manual dengan praktis. Kerjanya mengandalkan beberapa sensor, salah satunya sensor O2 di pipa knalpot untuk mengawasi kondisi pembakaran. Engine Control Unit (ECU) akan secara otomatis menyesuaikan AFR begitu terdeteksi ada perubahan volume gas buang.
Namun, penyesuaian AFR yang dilakukan ECU terbatas untuk kebutuhan knalpot standar. Umumnya, ECU close loop tidak akan memerintahkan injektor untuk menyuplai bahan bakar lebih banyak sesuai kebutuhan knalpot free-flow.
Buat mengatasi hal ini, pemilik motor perlu menaikkan budget tambahan buat memboyong fuel controller, seperti piggy back. Perangkat tersebut berfungsi memanipulasi informasi agar ECU memerintahkan suplai bahan bakar sesuai kebutuhan mesin.
Kerugian vital juga sangat mungkin terjadi jika pemilik motor meminang knalpot berkualitas rendah. Produk knalpot yang dibuat dengan material murahan tanpa pengukuran yang presisi hampir pasti bakal menimbulkan masalah di mesin.
Perhitungan ukuran dan bentuk knalpot yang kacau akan membuat aliran gas buang menjadi berantakan. Efeknya, back pressure justru menjadi lebih besar. Bukannya menambah power, knalpot seperti ini malah menggerogoti performa mesin.
“Knalpot yang bagus itu enggak membuat mesin kerja keras. Kalau enggak benar ukurannya, back pressure enggak benar-benar sempurna. Knalpot itu ada flow-nya. Kalau flow kacau enggak sesuai putaran mesin itu kadang harusnya membuang tapi terhambat. Gas buang belum habis, piston sudah narik lagi, atau (AFR) belum padat, (udara) sudah dibuang. Prinisipnya seperti air di selang, pipa terlalu sempit enggak bagus, terlalu loss juga enggak bagus,” papar Rio.
Menyoal dampak buruk knalpot free-flow untuk sepeda motor, Rio berdalih asalkan dibuat dengan presisi knalpot tidak akan merusak mesin. Menurutnya, perilaku berkendara menjadi penyebab utama kerusakan mesin.
“Walaupun bagus sekalipun kalau perilaku berkendaranya kasar ya cepat rusak,” katanya.
Editor: Suhendra