tirto.id - Dalam beberapa bulan terakhir, Alexis Sanchez mendapatkan banyak tuduhan tak mengenakkan dari publik sepakbola Inggris. Penyerang asal Chile yang didatangkan Manchester United dari Arsenal itu dituding "pemalas", "racun di ruang ganti", hingga disebut "simbol kematian" Setan Merah selama Ed Woodward menjabat sebagai wakil kepala eksekutif Setan Merah.
Tuduhan tersebut nyatanya hanya punya satu dasar. Selama 18 bulan berkostum MU, Sanchez yang bergaji lebih dari 500 ribu paun per pekan (salah satu yang terbesar di Premier League), tampil jauh di bawah harapan.
Ia hanya tampil 31 kali, lima kali mencetak gol, dan gagal mengangkat penampilan Setan Merah. Selebihnya, pemain bernomor punggung 7 itu banyak menghabiskan waktu di bangku cadangan atau berkutat dengan cedera yang datang silih berganti.
Pada bursa transfer musim panas 2019, masa depan Sanchez lantas berada di persimpangan. Ole Gunnar Solskjaer, pelatih United, memang sempat menyebut Sanchez bakal jadi bagian penting MU untuk musim 2019-2020. Namun selang beberapa hari, Sanchez malah dikabarkan segera merapat ke Inter Milan dengan status pinjaman.
Alasannya: Sanchez sudah tak kerasan di Old Trafford. The Times menulis, "Manchester United memang sedang melakukan tahap pembicaraan awal dengan Inter, tetapi Sanchez diyakini ingin segera mengakhiri pengalaman buruknya selama 18 bulan berada di Old Trafford."
Korban Sistem Bertahan United
Sebelum berlabuh di Old Trafford pada Januari 2018, Sanchez punya reputasi yang mentereng. Ia, yang menurut Matthew Syed dari The Times selalu mendapatkan pujian dari pelatih serta rekan setimnya karena etos kerjanya itu, bisa dibilang sukses saat berseragam Udinese, Barcelona, serta Arsenal.
Bahkan, hanya beberapa saat setelah Sanchez bergabung dengan Arsenal pada 2014, Michael Cox, analis sepakbola Inggris, langsung merasa yakin penyerang kelahiran 19 Desember 1988 itu akan meraih kesuksesan bersama Meriam London.
Cox punya dua alasan soal ini. Pertama, gaya menyerang Arsenal amat cocok dengan Sanchez. Kedua, sebagai seorang penyerang, Sanchez bisa tampil sama bagusnya baik saat bermain di sisi kiri, depan, maupun sebagai penyerang tengah.
"Ia memulai karier sebagai pemain sayap sebelum bermain di posisi nomor 10 bersama Udinese. Di Barcelona, ia lantas terbiasa bermain sebagai inside-forward. Sementara itu, bersama timnas Chile ia terbiasa bermain sebagai penyerang tengah meskipun pada dasarnya timnya menggunakan sistem tanpa penyerang," tulis Cox.
Keyakinan Cox ini dibayar tuntas oleh Sanchez. Tampil sebanyak 166 pertandingan bersama Arsenal di semua kompetisi, Sanchez mampu bikin 80 gol dan mencatatkan 45 assist.
Namun, mengapa kini Sanchez memble saat bermain untuk Setan Merah?
Robin van Persie, mantan penyerang United, menganalis ada dua faktor penting di balik penampilan buruk Sanchez bersama Setan Merah. Selain karena ia jadi korban sistem defensif United di bawah Jose Mourinho, Sanchez datang ke Old Trafford pada saat yang tidak tepat.
Saat itu, menurut van Persie, Sanchez sebetulnya masih butuh waktu beradaptasi. Namun karena United sudah lama tak mengecap gelar, fans menuntut sesuatu yang instan dari bintang barunya itu dan tak mau berkompromi. Alhasil, Sanchez kerap menjadi sasaran tembak suporter United setiap kali Setan Merah tampil mengecewakan.
Dan, kata van Persie, "Saat segalanya tampak salah di United, sementara pada saat bersamaan Anda juga sedang mengalami periode yang buruk, itu akan jadi sesuatu yang menyulitkan karena media akan menelan Anda bulat-bulat."
Analisis van Persie tepat sasaran. Pada Desember 2018, sebelum Jose Mourinho dipecat, The Independent memberitakan Sanchez sebagai sosok yang menyedihkan di Old Trafford. Alasannya sepele: ia kalah adu sprint dengan Juan Mata dalam sebuah sesi latihan.
Sementara itu, La Tercera, media asal Chile, tak kalah pedas memberitakan Sanchez. Pada November 2018, mereka menuding Sanchez sudah menjadi orang yang berbeda di ruang ganti timnas Chile. Semula Sanchez adalah sosok yang riang dan meledak-ledak, tetapi setelah pindah ke Setan Merah, Sanchez dinilai jadi sosok yang tertutup dan tak banyak bicara.
Tak Dianggap
Asa Sanchez buat kembali ke performa terbaiknya sebenarnya sempat muncul saat Ole Gunnar Solskjaer didaulat menjadi pelatih anyar United, Desember 2018. Kala itu, The Babyface Assassin berjanji bikin United tampil lebih menyerang. Sayangnya, Solskjaer ternyata tak butuh waktu lama untuk bikin harapan Sanchez jadi puing.
Menurut Carl Anka, kolumnis The Athletic, Sanchez bukanlah bagian utama dari skema menyerang Solskjaer. Selain karena faktor cedera yang sering Sanchez alami, Solskjaer lebih puas membangun serangan timnya lewat dua poros: Paul Pogba-Martial dan Marcus Rashford-Jesse Lingard. Dan pada saat-saat tertentu, keempat pemain ini bisa berkombinasi menentukan arah serangan United.
Pendekatan ini bikin Sanchez tampak terisolasi ketika ia dimainkan. Ia tampak berjuang sendirian dan jarang mendapat umpan.
"Sanchez tampak diabaikan dari waktu ke waktu. Hal ini, pada gilirannya, telah menciptakan masalah majemuk karena Sanchez jadi bermain dengan gaya yang lebih konsevatif. Agar tidak terlihat bodoh, ia akhirnya sering bergerak tanpa disadari rekan-rekannya. Pada akhirnya, ia sering berada di posisi kurang menarik untuk diberi umpan," tulis Anka.
Contoh nyata efek buruk pendekatan taktik Solskjaer terhadap Sanchez bisa dilihat saat MU kalah 0-2 dari Paris Saint-Germain pada Februari 2019. Kala itu, MU kesulitan menyerang karena Paul Pogba, pusat serangan United, mendapatkan pengawalan ketat dari Marquinhos.
Sanchez kemudian masuk pada menit ke-48 untuk menyelamatkan keadaan. Namun, karena tak mendapatkan dukungan dari rekan-rekannya, Sanchez tak bisa berbuat apa-apa. L’Equipe kemudian menulis, Sanchez hanya "berlari ke sana ke mari seperti jiwa yang terluka."
Sementara itu, Whoscored mencatatkan Sanchez hanya menyentuh bola sebanyak 26 kali--salah satu yang terburuk di dalam pertandingan tersebut--, padahal Sanchez adalah tipe pemain yang selalu menginginkan bola.
Selama bermain di Arsenal, misalnya, ia mampu menciptakan banyak kejutan karena rekan-rekannya selalu menyuplai bola ke arahnya. Selain itu, dalam sebuah wawancara dengan BBC, Sanchez pun mengakui kebiasaanya itu.
"Jika aku jarang menyentuh menyentuh bola, aku tidak akan mampu menunjukkan permainan terbaikku," kata Sanchez.
Untuk semua itu, tak heran apabila Sanchez merasa tak betah berlama-lama di Old Trafford. Saat publik Inggris menuduhnya yang tidak-tidak, mereka lupa bahwa Sanchez sudah bermain dalam 550 pertandingan profesional sejak 2005 dan tidak pernah mengeluh meski harus membela Chile di sepanjang musim panas dari 2014 hingga 2019.
Sanchez bukan pemalas, racun di ruang ganti, serta bukan simbol kematian bagi Setan Merah. Dan Pep Guardiola, bekas pelatih Sanchez saat di Barcelona, punya sedikit pleidoi atas dakwaan buruk publik Inggris terhadap Sanchez.
"Sanchez mempunyai jiwa petarung, berkarakter, seorang pemenang, dan pemain yang sangat, sangat berkelas."
Editor: Mufti Sholih