tirto.id - Desember 2016 lalu, Louis van Gaal, pelatih Manchester United, sadar betul bahwa ia sudah memberikan kado natal buruk untuk para penggemar Setan Merah. Pada malam natal, para penggemar klub itu tak seharusnya menyantap daging kalkun, iga bakar, ham, serta hidangan-hidangan natal yang membahagiakan lainnya diiringi penampilan ampas Setan Merah.
Ia, yang rambutnya semakin memutih karena tak kunjung mengangkat penampilan United, kemudian berkata pasrah kepada Ed Woodward, wakil ketua eksekutif Manchester United: "Jika kamu memecatku sekarang, aku bisa mengerti."
Desember itu United tak pernah menang. Mereka harus angkat kaki dari Liga Champions Eropa, serta kalah secara berturut-turut dari tim-tim gurem semacam Bounermouth, Norwich City, hingga Stoke City di liga. Media-media Inggris pun beramai-ramai membuat berita yang bikin telinga Louis van Gaal merah. Namun, Woodward justru memberikan jawaban menenangkan.
"Tidak, tidak akan. Aku tidak akan memecatmu. Percaya pada dirimu sendiri. Jangan pernah membaca koran," tutur Woodward.
Woodward memegang omongannya itu, tetapi hanya dalam kurun waktu enam bulan. Setelah penampilan United mulai membaik yang ditandai dengan gelar Piala FA 2016, secara mengejutkan, Louis van Gaal dipecat.
Sekitar tiga tahun setelah kejadian itu, tepatnya pada awal Juni 2019, pelatih asal Belanda tersebut bicara blak-blakan dengan Jamie Jackson, jurnalis Guardian, mengenai masalah yang dialami United hingga sekarang.
Masalah United, kata Van Gaal, "Tentu saja, dimulai saat mereka tidak pernah memperbaiki tim. Aku pikir, ketika Anda menjadi seorang manajer, Anda harus memperbaiki tim setiap tahun agar pengembangan tim bisa terus berjalan."
Kala menjabat sebagai pelatih, Van Gaal memang digelontori dana besar untuk merombak skuat United. Namun, sebagian besar pemain-pemain anyar yang didatangkan ternyata tidak sesuai dengan keinginan mantan pelatih Ajax tersebut.
"Itu adalah keputusan Woodward dan Matt Judge, tangan kanannya," tutur Van Gaal. Ia juga menjelaskan bahwa Angel di Maria, yang memaksa United merogoh kocek sebesar 75 juta euro, sebagai "pemain pilihanku, tetapi saat aku masih menjadi pelatih AZ [Alkmaar] dulu, sekitar tujuh tahun sebelum Di Maria menjadi pemain anyar United."
Van Gaal kemudian membeberkan rahasia mengejutkan lainnya. Ketika United menginginkan jasanya, mereka ternyata tak pernah menanyakan filosofi atau sistem permainan seperti apa yang akan ia terapkan di United.
Padahal, saat menjadi pelatih Ajax, Barcelona, AZ Alkmaar, hingga Bayern Munchen, hal itulah yang menjadi alasan utama mengapa tim-tim tersebut menginginkan jasa pelatih asal Belanda itu.
Dari sana Van Gaal kaget, dan dalam setiap penjelasannya tersebut, ia seakan menyimpulkan bahwa biang keladi dari setiap masalah United di atas lapangan hanya mengarah kepada satu nama: Ed Woodward.
Istimewa di Bisnis
Pada 2005, saat masih bekerja di J.P Morgan, Ed Woodward mengusulkan kepada keluarga Glazer untuk mengambil alih Manchester United. Dengan bantuan Woodward, menurut The Times, keluarga Glazer akhirnya dapat membeli United dengan hanya mengeluarkan dana pribadi sebesar 170 juta paun, sedangkan mayoritas dana pembelian menggunakan uang pinjaman.
Setelah itu, Woodward ikut diangkut keluarga Glazer ke Setan Merah, diperkerjakan di bagian komersial. Kinerjanya tampak mentereng, seolah ia merupakan pundi-pundi uang berjalan. Pada 2005, United hanya meraup dana 48 juta paun dari sponsor. Namun, berkat kinerja Woodward, pada 2012, pendapatan United dari sponsor meningkat hingga mencapai 117 juta paun.
Kesuksesan itu kemudian membuat Woodward naik jabatan. Pada 2013, ia didaulat menjadi wakil ketua eksekutif Manchester United, menggantikan posisi David Gill yang pindah ke FA. Sejak saat itulah "nilai jual" United semakin menjadi-jadi. Woodward pun sukses membuat keluarga Glazer meraih banyak keuntungan.
"Sekitar tiga belas tahun setelah pembelian itu, keluarga Glazer berhasil memperoleh kembali investasi awal mereka ditambah keuntungan dividen dan penjualan saham. Hutang mereka sudah jauh berkurang. Mereka kini menguasai 80 persen saham klub senilai tiga miliar paun," tulis Martyn Ziegler di The Times pada Desember 2018 lalu.
Pendapat Ziegler tersebut kemudian diperkuat data dari Deloitte Football Money League musim 2017-2018: United menjadi klub dengan pendapatan terbesar ketiga di dunia, yakni sebesar 666 juta euro, di bawah Real Madrid (674,6 juta euro) dan Bacelona (648,3 juta euro).
Medioker di Lapangan
Sayangnya, kinerja apik Woodward dari di luar lapangan itu ternyata tak berimbas pada penampilan United di lapangan. United belepotan, terutama pasca kepergian Sir Alex Ferguson.
David Moyes, suksesor Ferguson, tampak seperti pecundang, dan Louis van Gaal serta Jose Mourinho hanya mampu menghasilkan tiga piala - gelar Piala FA 2016, gelar Piala Carling 2017, dan gelar Liga Europa 2017 - sebelum dipecat.
Woodward lantas disalahkan. Alasannya: Ia dinilai gagap dalam dalam melakukan jual beli pemain.
Saat pertama kali menjadi sebagai wakil ketua eksekutif United, kepada United We Stand, Woodward pernah mengatakan bahwa ia tidak akan membeli pemain dengan "harga yang tidak wajar." Selain karena akan memunculkan dampak negatif terhadap pemain lain serta tim, pemain tersebut juga bisa tampil mengecewakan karena beban banderol harganya yang selangit.
Namun, hanya beberapa saat setelah pernyataannya itu, Woodward ternyata menjilat ludahnya sendiri. United rela merogoh kocek sebesar 27,5 juta paun untuk mendatangkan Marouane Fellaini dari Everton. Padahal, pemain asal Belgia tersebut mempunyai klausul pelepasan sebesar 23,5 juta paun.
Setelah Fellaini, Woodward kembali melakukan kebijakan yang mengerutkan dahi. Ia mendatangkan Juan Mata (44,3 juta euro), Angel Di Maria (75 juta euro), hingga memulangkan Paul Pogba dari Juventus. Untuk mendapatkan tanda tangan nama terakhir, United bahkan harus merogoh kocek sebesar 89 juta euro, menjadikan Pogba sebagai pemain termahal dunia pada tahun 2017.
Yang menarik, pemain-pemain yang didatangkan Woodward itu ternyata tak semuanya sesuai dengan keinginan pelatih Manchester United. Selain Angel Di Maria yang tak masuk hitung-hitungan Louis van Gaal, kedatangan Pogba ternyata juga tak masuk dalam rencana Mourinho.
Pogba malah pada akhirnya sering bersitegang dengan Mourinho. Karena Pogba dinilai lebih menguntungkan bagi klub dari segi komersial, Mourinho pun akhirnya didepak Woodward pada akhir Desember 2018 lalu.
"United tidak lagi peduli dengan aspek olahraga dan hanya peduli dengan aspek finansial. Hal yang paling penting tidak terjadi di lapangan, melainkan dari penjualan merchandise. Dan keberadaan Pogba jelas sangat menguntungkan penjualan jersey United," tutur Eladios Parames, sahabat Mourinho, setelah pelatih asal Portugal tersebut dipecat United.
Ketika Louis van Gaal juga menyebut United sebagai "klub komersial, bukan klub sepakbola" di bawah arahan Woodward, tak dinyana jebolan Universitas Bristol itu ternyata mengangguk setuju. Pada tahun 2013 lalu, dalam sebuah wawancara dengan Andy Mitten di Economia, Woodward mengatakan bahwa untuk menarik minat sponsor, sebuah klub tidak perlu menghasilkan tropi. Ia lantas mengambil contoh bagaimana kinerja Liverpool, rival utama United di Premier League.
"Lihatlah Liverpool," kata Woodward, "Mereka masih mampu menjual jersey secara luar biasa dan menyoal kesepakatan dengan apparel jersey, mereka mempunyai pendapatan terbesar kedua di Premier League. Padahal, mereka sudah tidak memenangkan liga sejak tahun 1990 silam."
Sekitar enam tahun setelah itu, ucapan Woodward tersebut ternyata menjadi senjata makan tuan. Kesuksesan Liverpool dari segi bisnis lantas menular pada kesuksesan di atas lapangan. Mereka menerapkan rencana jangka panjang, membangun tim sesuai kebutuhan, serta mendatangkan segala sumber daya yang bisa menghasilkan prestasi di atas lapangan.
Alhasil, saat Manchester United hanya bisa menjadi bahan tertawaan, anak asuh Juergen Klopp tersebut berhasil menjadi juara Liga Champions Eropa musim 2018-2019.
Dan, satu lagi: Penampilan Liverpool kini sudah berada satu-dua tingkat di atas Setan Merah.
Omong Kosong Direktur Olahraga?
Penampilan menanjak Liverpool dalam beberapa tahun terakhir tak lepas dari peran direktur sepak bola mereka, Michael Edwards, yang mulai bekerja di Liverpool pada tahun 2016 lalu. Edwards adalah bekas pemain yang terkenal jago dalam menilai kemampuan seorang pemain.
Melalui Edwards, seperti dikisahkan The Times, Liverpool kemudian mengatur kebijakan khusus menyoal transfer pemain. Edwards tak akan membeli pemain apabila pelatih Liverpool tidak menginginkannya. Namun, apabila pelatih menginginkan seorang pemain, tapi klub keberatan untuk membayarnya, keputusan untuk mendatangkan pemain itu ada ditangan Edwards.
Hitung-hitungan matang Edwards lantas membantu Liverpool dalam mendatangkan Virgil van Dijk dan Alisson yang berharga kelewat mahal. Berkat Edwards, Liverpool pun berhasil meraih dua keuntungan: Selain membantu penjualan jersey mereka, Virgil van Dijk dan Alisson adalah dua pemain penting di balik kesuksesan Liverpool di Eropa.
Dari sana, untuk mempermudah urusan transfer United, Woodward kemudian ingin mengikuti jejak Liverpool: Menggunakan jasa direktur sepak bola. Menurut Sky Sports, Darren Fletcher dan Rio Ferdinand, dua mantan pemain United, dikabarkan menjadi kandidat utama.
Masalahnya, Woodward ternyata kembali membikin lelucon. Direktur sepak bola United nantinya tidak akan berperan sebagaimana mestinya. Ia akan merekomendasikan pemain ke tim pelatih dan manajemen United, tetapi bisa tidaknya pemain tersebut didatangkan kemungkinan besar tetap tergantung terhadap keputusan Woodward.
Lantas, jika hal tersebut benar-benar diterapkan, apa tujuan United menggunakan jasa direktur sepak bola?
Barangkali hanya untuk pantas-pantas saja, sambil United terus-terusan mengeruk keuntungan dari segi komersial. Bagaimana pun, karena uang, keluarga Glazer akan terus mempercayai Woodward sepanjang kehidupan mereka. Dan bagi para penggemar Manchester United, tidak ada seorang pun yang lebih besar daripada klub, kecuali Ed Woodward.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara