tirto.id - Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Departemen Politik, Pipin Sopian, menilai adanya Dewan Pengawas pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah terbukti menghambat kerja KPK dalam mengungkap kasus korupsi.
Hal yang terlihat jelas adalah dalam kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan melibatkan partai penguasa saat ini, PDIP.
Ia menyoroti bahwa revisi UU KPK yang dilakukan DPR periode 2014-2019 membuat kinerja KPK menjadi lebih birokratis sehingga tak leluasa melakukan penindakan.
"Ini bukti awal bahwa revisi UU KPK telah membuat pemberantasan korupsi di Indonesia jadi birokratis dan akhirnya memble," kata Pipin dalam keterangannya yang diterima wartawan Tirto, Senin (13/1/2020).
Menurut Pipin, dengan adanya kewajiban penyidik KPK untuk meminta izin penyadapan dan penggeledahan kepada Dewas KPK, maka potensi kebocoran informasi dan menghilangnya barang bukti semakin besar.
"Sangat ironis. Penggeledahan diumumkan sudah dapat izin dan akan dilaksanakan pekan depan. Jangankan hitungan pekan, hitungan menit kalau bocor ya hilang semua barang buktinya," katanya.
Presiden Joko Widodo saat akhir tahun lalu telah menunjuk lima orang sebagai Dewas KPK. Kelima orang itu adalah mantan Hakim Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, Peneliti LIPI Syamsuddin Haris, Mantan Wakil Ketua KPK Tumpak Hatarongan Panggabean, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang Albertina Ho, dan Mantan Hakim MK Harjono.
Namun, menurut Pipin persoalan Dewas KPK bukan terletak pada keanggotaannya, tapi masalah sistemnya yang membuat pemberantasan korupsinya justru mandul.
"Jika Perppu KPK tidak dikeluarkan Presiden dan atau revisi UU KPK dilakukan DPR maka pemberantasan korupsi di Indonesia hanya sekedar mitos. Pejabat negara bebas menerima suap dan uang negara gampang digarong koruptor," katanya.
Penggeledahan memang mesti seizin Dewan Pengawas merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [PDF] atau UU KPK baru.
"Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas," bunyi pasal 47 UU KPK.
Sebelum UU KPK berlaku, penggeledahan dilakukan tak lama setelah penangkapan. Misalnya saat rentetan OTT kepala daerah jelang berlakunya UU KPK yang baru: Bupati Lampung Utara dan Bupati Indramayu.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat berlakunya UU yang baru justru menghambat kinerja KPK. UU baru membuat penggeledahan sejumlah tempat dalam perkara suap komisioner KPU menjadi lambat.
"UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Ahad (12/1/2020).
Kurnia juga menyoroti terhambatnya penyegelan dan penggeledahan di kantor DPP PDIP.
"Padahal dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," imbuhnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto